Jawab:
Cartesian-Newtonian merupakan cara pandang yang
menjadikan kehendak manusia sebagai penguasa atas alam (Antroposentris). Pada saat yang sama kekuasaan tersebut
memperlakukannya sebagai objek pemenuh nafsu manusia-manusia modern dengan
dalih meraih kemanunggalan teknologi serta kemajuan di bidang industri.
Kemajuan anti-ekologis yang mengeruk sekaligus merusak bumi tanpa berupaya
memikirkan keselamatan manusia yang hidup di masa setelahnya. Menjelang
pertengahan abad ke-20, banyak unsur pendekatan Cartesian ditanamkan pada tataran terdalam, hampir pada tataran
yang tidak disadari sebagai asumsi-asumsi mendasar yang membentuk suatu budaya
global dalam pengambilan keputusan di birokrasi dan institusi-institusi modern.
Dalam budaya birokratis global, dunia ini tampak seperti peluasan ruang,
sedangkan beragam ekosistem dan masyarakat manusia di bumi hanya diabstraksikan
sebagai ruang yang menunggu perencanaan, masukan, dan infrastruktur, untuk
disusun kembali sesuka hati sesuai dengan
keadaan dan perhitungan.
Di lapangan ilmu sosial, pengaruh scientisme mula-mula
tampak dalam pemikiran Saint Simon di Perancis pada awal abad ke-19. Dia
menyusun kerangka sistematis kajian ilmu kemanusiaan (humaniora) berdasar
metode fisika Newtonian. Dua postulat
penting yang dia ajukan ialah: (1) Ilmu pengetahuan itu netral sebab didasarkan
atas obyektivitas; (2) Ilmu sosial yang mantap didasarkan atas reduksionisme
analitik. Saint Simon menguraikan aktivitas manusia di bidang politik dan
ekonomi berdasarkan teori geometri. Melalui cara demikian kesadaran manusia dan
fakta kerohanian dari hidupnya dilenyapkan (Matson 1966:13).
Pengaruh scientisme di lapangan ilmu sosial mulai
mencapai bentuknya yang muktamad dalam positivisme August Comte pada abad
ke-19. Dalam pandangannya, kemajuan yang dicapai masyarakat industrial, bukan
disebabkan oleh berperannya individu-individu, melainkan karena bergeraknya
hukum-hukum mekanis yang mengendalikan semua kejadian di dunia ini. Kebebasan
tidak lain adalah ketundukan masyarakat kepada hukum alam. Dalam kaitannya
dengan pandangan Comte itu, Martineau (1993:61) menulis, bahwa, di dalam
sosiologi Comtian, individu dianggap memperoleh tingkat nalar yang tinggi
dengan cara tunduk kepada proses rasional masyarakat. Konsepsi kaum
demokrat liberal tentang kebebasan individu sejalan dengan pemikiran Comte.
Comte menekankan pentingnya otoritas dan tertib sosial, atau tepatnya
menetapkan pentingnya efisiensi dan rasionalisasi dalam membuat rekayasa
sosial Pengikut positivisme Comte bercita-cita dapat membantu manusia melakukan
emansipasi dan memperoleh pencerahan. Tetapi hasilnya adalah sebaliknya.
Gagasan mereka tentang ‘Tirani Kemajuan” membuat kemajuan benar-benar menjadi
tirani yang tidak terkalahkan (Salomon 1955:101).
Sosiologi yang dibangun oleh Vilfredo Pareto, seorang
ilmuwan Italia yang dipandang dekat dengan Fascisme, tidak lebih baik. Dalam
bukunya The Mind and Society, yang
menganalisis bentuk dan substansi lembaga hukum, agama, politik dan
kemasyarakatan, dia sampai pada kesimpulan bahwa lembaga-lembaga inilah yang
berperan sebagai pencetak kesadaran masyarakat dan penggerak perputaran kelas.
Dalam kenyataan teorinya tentang sirkulasi kelas itu, yang mendahului munculnya
pertarungan kelas, didasarkan pada mekanika klasik Newtonian.
Di dalam ilmu ekonomi pengaruh scientisme tampak dalam
gagasan Adam Smith, dan David Ricardo, kemudian Robert Malthus, Karl Menger dan
lain-lain. Adam Smith misalnya melihat fenomena ekonomi sebagai bagian dari
politik, yakni pengawasan dan pengendalian tingkah laku dan aktivitas
manusia. Penerapan prinsip mekanika Newtonian
tampak dalam teorinya tentang mekanisme pasar, yang kemudian dijadikan asas
ekonomi modern dan sistem kapitalisme (Matson 1966:19).
Di lapangan psikologi pengaruh scientisme tampak pada
berbagai teori tingkah laku dan memuncak dalam teori Pavlov pada awal abad
ke-20. Behaviourisme menjadikan
psikologi sebagai cabang dari biologi. Jejak aliran ini bisa dilacak melalui
buku Judson Herrick Brain of Rats and Man
dan The Thinking Machine. Manusia dipandang sebagai mesin yang
berpikir. Walaupun pemuka teori psikologi modern tahu bahwa hubungan otak
dengan kesadaran merupakan sebuah fakta yang tidak diragukan, akan tetapi
karena yang dijadikan dasar penelitian ialah bagian paling rendah dari otak,
yaitu cortex, maka mudah sekali membandingkan
otak manusia dengan hewan. Berdasarkan inilah psikolog seperti Arnold Bennet
memandang otak sebagai pelayan jasmani bagi kekuatan sentral ego (Muller
1964:136).
Karl Mannheim (1950:57) misalnya berpendapat bahwa
Marx dan para pengikutnya hanya berhasil meramalkan sebab-sebab dari
perkembangan ekonomi seperti perkembangan teknologi, penguasaan sarana
produksi; meningkatnya pemusatan modal, intensifnya persaingan merebut pasar,
persekongkolan antara pemerintah dan pemilik industri. Namun dia gagal
menganalisis mengapa tehnologi modern dapat digunakan secara efektif untuk
kepentingan politik, misalnya sebagai mesin propaganda. Kegagalannya yang lain
ialah dalam melihat keseluruhan problem dan masalah kekuasaan politik. Marx
misalnya percaya bahwa apabila kaum buruh dan proletar menang dalam pertarungannya dengan kaum kapitalis, akan
muncul pemerintahan rakyat dalam arti yang sebenarnya. Namun perkiraan itu
ternyata meleset, ketika Revolusi Bolsyewik pada tahun 1918 memperoleh
kemenangan di Rusia dan mengakhiri pemerintahan otokratik Tsar. Lenin yang
berhasil menjadi penguasa pertama dalam sistem kediktatoran proletar Rusia, ternyata tidak kalah
otoriternya dari Tzar. Liberalisme adalah sebuah
doktrin politik yang berpendapat bahwa tujuan negara, sebagi asosiasi dari
individu-individu yang independen, adalah memfasilitasi proyek (atau
“kebahagiaan”) anggotanya. Negara tidak boleh memaksakan proyeknya sendiri.
Seperti doktrin conservatism. Istilah Liberal pertama kali masuk ke
khazanah politik Inggris, Spanyol, dan Prancis pada 1830-an, pada dekade di
mana banyak istilah politik modern berkembang biak. Istilah ini
mendeskiripsikan partai Whig lama yang akarnya telah ada sejak republikanisme klasik
pada abad ke-17. Kelenturan ide politik ini dapat diilustrasikan dari pendapat
Burke, pada tahun 1790-an (William Outhwaite, 2008: 456). Liberalisme merupakan suatu
ideologi pragmatis. Masyarakat Eropa pada saat itu secara garis besar terbagi
atas dua, yakni kaum aristokrat dan para petani. Kaum aristokrat diperkenankan
untuk memiliki tanah, golongan feodal ini pula yang menguasai proses politik
dan ekonomi, sedangkan para petani berkedudukan sebagai penggarap tanah yang
dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan menyumbangkan tenaga
bagi sang patron. Bahkan di beberapa tempat di Eropa, para petani tidak
diperkenankan pindah ke tempat lain yang dikehendaki tanpa persetujuan sang
patron (bangsawan). Akibatnya, mereka tidak lebih sebagai milik pribadi sang
patron. Sebaliknya, kesejahteraan para penggarap itu seharusnya ditanggung oleh
sang patron.
Profesor Thomas Meyer (2003) menyatakan bahwa terdapat
tiga kekuatan ideologi yang berpengaruh besar dalam pembentukan tatanan politik
baik nasional ataupun internasional. Ketiga ideologi tersebut antara lain:
fundamentalisme, libertarianisme dan demokrasi sosial. Fundamentalisme adalah sebuah ide yang berangkat
dari penggunaan keyakinan religius untuk menciptakan tujuan politik tertentu
yang sifatnya tertutup secara politik, sosial dan ideologi. Biasanya sifatnya
radikal dan seringkali menghalalkan penggunaan kekerasan. Bagaimanapun juga,
fundamentalisme melekat dalam setiap peradaban manusia. Fundamentalisme ini
dapat diredam melalui instrumen demokrasi yang menjamin partisipasi seluruh
kelompok masyarakat. Berbeda dengan fundamentalisme, libertarianisme dan
demokrasi sosial sama-sama berakar pada tradisi liberalisme.Pasar bebas merupakan
perwujudan dari sistem ekonomi yang menekankan pada kebebasan individu untuk
menciptakan kekayaan. Bila diharuskan untuk menyebutkan kriteria public goods,
maka libertarianisme hanya mengakui aspek-aspek yang berada di bawah kontrol
pemerintah sebagai wujud public goods, yaitu pertahanan nasional, serta
hukum dan perangkat regulasi yang berfungsi melindungi hak-hak asasi manusia.
Ide libertarianisme ini ditolak oleh demokrasi sosial. Demokrasi sosial
berpendapat bahwa perlindungan hak asasi manusia dan sistem demokrasi yang
menjamin keterwakilan saja tidak cukup. Pasar yang bebas harus berada di bawah visible
hand, yaitu kontrol pemerintah. Kontrol pemerintah ini diperlukan untuk
menjamin adanya pemerataan distribusi kebutuhan manusia yang adil. Libertarianisme sangat antipati terhadap konsep
power yang terkonsentrasi karena mengacu pada pernyataan Lord Acton bahwa .power tends
to corrupt and absolute power corrupts
absolutely. Pembatasan kekuasaan
negara ini juga ditujukan untuk perlindungan hak-hak individu dan warga negara
dari tekanan represi pemerintah. Mengenai dasar filosofi pasar bebas, Boaz
menyatakan bahwa untuk bertahan dan berkembang individu membutuhkan
aktivitas ekonomi. Pasar bebas merupakan perwujudan dari
sistem ekonomi yang menekankan pada kebebasan
individu untuk menciptakan kekayaan. Bila diharuskan untuk
menyebutkan kriteria public goods, maka libertarianisme hanya
mengakui aspek-aspek yang berada di bawah kontrol
pemerintah sebagai wujud public goods, yaitu
pertahanan nasional, serta hukum dan perangkat regulasi yang berfungsi
melindungi hak-hak asasi manusia. Ide libertarianisme ini
ditolak oleh demokrasi sosial. Demokrasi sosial berpendapat
bahwa perlindungan hak asasi manusia dan sistem
demokrasi yang menjamin keterwakilan saja tidak cukup. Pasar yang
tidak terkontrol. dikhawatirkan justru hanya semakin
memperkaya individu yang kaya, dan semakin memurukkan kalangan miskin.
Berangkat dari pembahasan yang telah dibeberkan,
dapatlah ditarik kesimpulan betapa pentingnya disiplin-disiplin seperti
falsafah, ilmu sosial dan humaniora atau ilmu-ilmu kebudayaan, termasuk yang berasal dari
khazanah intelektual Timur dan Islam; dikaji dan diajarkan lebih
bersungguh-sungguh di lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi kita. Melalui
kajian yang mendalam terhadap disiplin-disiplin ini bangsa kita dapat membekali
dirinya secara lebih baik dalam perjalanannya menuju masa depan yang kian tidak
menentu. Sebab untuk dapat menentukan arahnya ke depan yang lebih baik dan
cerah, tidak mungkin suatu bangsa dapat melakukannya tanpa terlebih
dahulu merubah pandangan dunia (weltanschauung)
dan falsafah hidupnya, pola pikir dan orientasi budayanya.
Referensi:
Mannheim, Karl. (1950). Man and Society in an Age of Reconstruction. New
York: Harcourt, Brace.
Matson, Floyd (1966). The
Broken Image: Man, Science and Society. Garden City new York: Double Day
& Company Inc.
Mertineau,
Harriet .(1943). The Positive Philosopy of August Comte. London: University
Press
Meyer ,Thomas. 2003.
Sosialisme-Demokrasi Dalam Teori dan Praktek. Jogjakarta:CSDS
Muller, Herbet J.
(1964). Science and Criticism: The Humanistic Tradition in Contemporary Thought.
New Haven and London: Yale University Press.
Meyer, Thomas. (2003). Sosialisme-Demokrasi
Dalam Teori dan Praktek. Jogjakarta:CSDS
Salomon, Albert . (1955).
The Tiranny of Progress: Reflections on the Origin of Sociology. New York:
Noonday Press.
William Outhwaite [ed].
2008. The Blackwell Dictionary of Modern Social Though. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
No comments:
Post a Comment