| |
1.
Menurut
Kuntowijoyo (1995: 90-92) menyarankan,
sebaiknya topik atau objek kajian dipilih berdasarkan: (1) kedekatan
emosional, dan (2) kedekatan intelektual. Hal ini penting karena orang akan
bekerja dengan baik bila senang dan mampu. Bila Anda dilahirkan di sebuah
kota tertentu dan ingin berbakti pada kota di mana anda dilahirkan, menulis
tentang kota sendiri adalah paling strategis. Perlu diyakini bahwa tulisan
itu berharga. Dalam sebuah kota banyak masalah yang bisa diangkat, seperti
pertanahan, ekonomi, politik, demografi, mobilitas sosial, kriminalitas, dan
lain-lain.
Kedekatan emosional biasanya
akan diikuti atau berjalan bersamaan dengan kedekatan intelektual, bahkan
tidak jarang kedekatan intelektual mendahului kedekatan emosional. Kalau
tertarik terhadap permasalahan tertentu, seseorang akan memper-kaya khasanah
intelektualnya dengan hal-hal yang terkait dengan permasalahan tersebut. Perlu diperhatikan, bahaya
yang akan muncul bila seseorang terlibat secara emosional ialah pertimbangan
intelektualnya akan dipengaruhi emosi, sehingga sejarah berubah menjadi
pengadilan. Padahal, sejarah adalah ilmu empiris yang harus menghindari
penilaian yang subjektif.
2. 4 langkah dalam melakukan penelitian sejarah
yaitu
a. Heuristik, yaitu pencarian
dan pengumpul-an sumber
b. Kritik,adalah menilai, menguji atau
menyeleksi sumber-sumber tersebut sebagai usaha untuk mendapatkan sumber yang
benar, dalam arti benar-benar diperlukan, benar-benar asli serta benar-benar
mengandung informasi yang relevan dengan cerita sejarah yang disusun. Ini
menyangkut kredibilitas dari sumber-sumber tersebut.
c. Interpretasi, adalah kegiatan mensintesakan
fakta-fakta yang diperoleh dari analisis sumber.
d. Historiografi. Adalah
usaha rekonstruksi hari lampau untuk menjawab pertanyaan pokok yang terlebih
dahulu dirumuskan.
3. Peranan kritik sejarah yaitu menilai, menguji atau menyeleksi sumber-sumber
tersebut sebagai usaha untuk mendapatkan sumber yang benar, dalam arti
benar-benar diperlukan, benar-benar asli serta benar-benar mengandung
informasi yang relevan dengan cerita sejarah yang disusun. Ini menyangkut
kredibilitas dari sumber-sumber tersebut. kritik
sejarah bisa dibedakan menjadi kritik intern dan kritik ekstern.
Kritik ekstern bertugas mempermasalahkan kesejatian bahan atau mempersoalkan
apakah sumber itu merupakan sumber sejati yang dibutuhkan. Kritik intern
bertugas mem-permasalahkan kesejatian isi atau bertalian dengan persoalan:
apakah sumber itu dapat memberikan informasi yang dibutuhkan.
Kritik
ekstern terutama bertujuan menjawab tiga pertanyaan pokok yang menyangkut
sumber.
1. Apakah
sumber itu memang sumber yang kita kehendaki, di mana sejarawan ingin
mengetahui /meyakinkan diri apakah sumber itu asli atau palsu.
2. Apakah
sumber itu sesuai dengan aslinya atau tiruan, yang mana terutama menyangkut
sumber-sumber kuno di mana satu-satunya cara untuk memper-banyak atau
mengabadikan naskah adalah dengan menyalin. Dalam menyalin inilah ada
kemungkinan terjadi perubahan dari dokumen aslinya.
3. Apakah
sumber itu utuh atau telah diubah-ubah. Ini menyangkut utuh atau tidaknya
sumber, artinya mempertanyakan kondisi fisik sumber (rusak, retak, robek,
dll.) (Notosusanto, 1971: 20; Widja, 1988: 21-22).
Dengan
kata lain, kritik ekstern harus menegakkan kesaksian, bahwa: (1) kesaksian
itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini; (2) kesaksian
yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan, tanpa ada
penambahan-penambahan atau penghilangan-penghilangan (Sjamsuddin, 1996: 105).
Kritik
intern mulai bekerja setelah kritik ekstern selesai menentukan, bahwa dokumen
yang kita hadapi memang dokumen yang kita cari. Kritik intern harus
membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber memang dapat
dipercaya. Buktinya diperoleh dengan cara: (1) penilaian intrinsik daripada
sumber-sumber; (2) membanding-bandingkan kesaksian daripada berbagai sumber
(Notosusanto, 1971).
4. Menurut Walsh (1970) mengungkapkan, bahwa ada empat faktor
yang melatar-belakangi perbedaan interpretasi sejarawan. Pertama, kecenderungan
pribadi (personal bias), yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap
pelaku sejarah. Tentu banyak hal yang menyebabkan sejarawan atau siapa saja
yang terlatih melakukan studi sejarah untuk menyukai atau tidak suka terhadap
pelaku sejarah. Baik secara individu maupun kelompok. Idealnya sejarawan
bebas dari kecenderungan pribadi, sehingga ia mampu menempatkan diri untuk
mengambil jarak yang dapat membawanya pada sikap netral. Sikap yang tidak
menyukai pelaku sejarah menyebabkan
sejarawan mempunyai pertimbangan yang tidak memuaskan pada pelaku sejarah
atau pada konstelasi zaman pada waktu itu. Kalau ini terjadi berarti
sejarawan tidak bisa mengendalikan perasaan dan sikap semacam itu seharusnya
tidak perlu dimasukkan dalam karya sejarahnya.
Apabila
seorang sejarawan telah terjebak pada rasa kagum pada pelaku sejarah
tertentu, akibatnya ia akan membuat kisah sejarah terpusat pada ide-ide dan
tindakan tokoh pujaannya, yang ia gambarkan sebagai faktor yang menentukan
bagi konstelasi zaman pada waktu itu. Sebaliknya ahli sejarah yang lain
kebetulan mempunyai perasaan anti pati yang kuat pada pelaku sejarah yang
sama, maka dalam kisah sejarah yang kedua ini pelaku sejarah dilukiskan
negatif, penuh ketidaksetiaan atau jahat atau tidak efektif.
Kedua, prasangka kelompok (group prejudice),
yaitu anggapan-anggapan yang berkaitan dengan masuknya seorang ahli sejarah
menjadi anggota dari suatu golongan atau kelompok tertentu. Perlu
diperhatikan dalam hal ini adalah pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat
oleh sejarawan yang menjadi anggota atau simpatisan kelompok tertentu sulit
dideteksi, karena pandangan-pandangan kelompok itu telah diusahakan untuk
diberi landasan-landasan rasional, sehingga menampilkan prasangka kelompok
tertentu pada suatu karya sejarah dianggap sama saja dengan menampilkan
keyakinan rasional.
Pada
beberapa hal prasangka kelompok mempunyai persamaan dengan kecenderungan
pribadi, tetapi ada perbedaan. Kecenderungan pribadi banyak bergantung pada
selera individu, tetapi prasangka kelompok dapat berasal dari
watak/karakter/ideologi kelompok. Jadi di sini bukan masalah kecenderungan
lagi melainkan masalah prinsip.
Ketiga, teori teori yang saling bertentangan atas dasar
penafsiran sejarah atau penafsiran berlainan tentang fakta sejarah (conflicting
theories of historical interpretation), yaitu tafsiran yang berlainan
mengenai apa yang sesungguhnya yang paling besar pengaruhnya terhadap
terjadinya suatu peristiwa, dalam hal ini patut diperhatikan bahwa ada teori
yang telah diterima secara universal, karena teori penafsiran telah mendapat
pengakuan di antara para ahli, di mana teori tersebut dianggap konklusi
empiris yang tersusun di atas dasar yang kokoh dan didahului oleh
penelitian-penelitian mendalam terhadap fakta-fakta dalam perkembangan sejarah. Namun demikian, masih saja
terdapat kemungkinan bagi melihatnya unsur subjektivitas pada teori
penafsiran ini, karena pada kenyataan tidak jarang suatu teori diberi
kepercayaan yang berlebih-lebihan oleh seorang sejararawan, sampai-sampai cenderung
untuk mempertahankan walaupun ia berhadapan dengan bahan bukti yang menolak
teorinya.
|
Thursday, 14 November 2019
KAJIAN PENELITIAN SEJARAH
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Keunggulan Geostrategis Indonesia
letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...
-
No. Instrumen Tes Kelebihan Kekurangan 1 Pilihan Ganda 1. D...
-
1. Apa yang membedakan semiotika Ferdinand de Saussure (1857-1913) dengan semiotika Charles Sanders Peirce (1839-1914)? Apa nilai g...
-
FILTRASI SEDERHANA DAN PENETRALAN pH AIR LIMBAH RUMAH TANGGA DENGAN MEDIA DAUN PEPAYA (Penelitian di Perum Asabri Bumi Kiara Indah De...
No comments:
Post a Comment