Tuesday 5 November 2019

Terjadi Pergeseran Paradigma Dalam Filsafah Barat, Terutama Dalam Mengkaji “Diri” Manusia, Sejak Rasionalisme (Renee Descartes) Sampai Dengan Aliran Rasionalisme Kritis.


Terjadi pergeseran paradigma dalam filsafah Barat, terutama dalam mengkaji “diri” manusia, sejak rasionalisme (Renee Descartes) sampai dengan aliran rasionalisme kritis.
1.       Apa yang anda pahami tentang rasionalisme Descartes?
Jawab:
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M).  Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.  Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.

Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu "saya ragu-ragu".  Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu".  Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya.  Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku berpikir (= menyadari) maka aku ada.  Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.  -- Mengapa kebenaran itu pasti?  Sebab aku mengerti itu dengan "jelas, dan terpilah-pilah" -- "clearly and distinctly", "clara et distincta".  Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.

Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, "extention") atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu).  Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil.  Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon (2000) dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”.

Referensi
J W M Verhaar, SJ. 1989.  Identitas Manusia. Kanisius: halaman 137
Solomon, Robert C. [et.al.]. 2000.  Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Bentang Budaya

2.   Bagaimana hal (akal) ini dikembangkan oleh Immanuel Kant? Cobalah Anda jelaskan juga konsepnya mengenai “das Ding an Sich”!
Jawab:
Immanuel Kant (1724-1804)  mendapat inspirasi dari ”Copernican Revolution“, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan tempat sentral pada manusia sebagai subyek berfikir. Maka dalam filsafatnya, Kant tidak mulai dari penyelidikan atas benda-benda sebagai obyek, melainkan menyelidiki struktur-struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Upaya Kant ini dikenal dengan Kritisisme atau filsafat Kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Langkah Kant (Frederick Copleston, Vol. 6: 180-185) ini dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.
1. Kritik Atas Rasio Murni
Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia membedakan adanya tiga putusan; pertama, putusan analitis apriori adalah putusan yang predikatnya terkandung dalam subjek sehingga predikatnya hanya merupakan analisis atas subjek saja. Misalnya dalam putusan setiap benda menempati ruang, konsep menempati ruang hanyalah keterangan atas konsep benda. Kedua, putusan sintesis aposteriori (Immanuel Kant, 1781: 26-30) adalah putusan yang predikatnya tidak terkandung dalam subjek sehingga predikatnya merupakan sebuah informasi baru. Misalnya dalam putusan meja itu berat konsep berat tidak termuat dalam konsep meja sehingga bukan keterangan atasnya. Ketiga putusan sintesis apriori; dipakai sebagai suatu yang kendati bersifat sintesis namun bersifat aposteriori juga. Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku mutlak (apriori) namun putusan ini juga bersifat sintesis dan aposteriori. Sebab didalam pengertian kejadian belum dengan sendirinya tersirat pengertian sebab. Maka dari itu di sini baik akal maupun pengalaman dibutuhkan serentak. Pada proses tersebut menurut kant terjadi dalam tiga tingkatan manusia;
a   Tingkatan pencerapan indrawi : Pada tahapan ini sintesis antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori sudah terjadi. Unsur apriori pada tahap ini disebut kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat objek pencerapan menjadi meruang dan mewaktu.
b      Tingkat akal budi bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi (verstand) secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menhubungkan data-data indrawi sehingga menhasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan daya fantasinya. Pengetahuan akalbudi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman indrawi dengan benuk-bentuk apriori yang dinamai kant dengan kategori yakni ide-ide bawaan yang mempunyaii fungsi epistemologis dalam diri manusia.
c       Tingkat intelek /rasio (versnunft): kemampuan asasi yang mencipta pengertian-pengertian murni dan mutlak, karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat khusus. Dimana manusia di dalamnya dapat bergerak lebih jauh sampai menyentuh asas-asas yang tidak lagi dapat dirunut. Dengan demikian sampailah pada sesuatu yang mulak tanpa syarat. Yang mutlak itu adalah idea. Kant menyebutnya idea transcendental yaitu yang mengusai segenap pemikiran sebagai idaman.

2. Kritik Atas Rasio Praktis
Dalam ini kant ingin menjelaskan tentang syarat-syarat umum dan mutlak terhadap suatu tindakan. Pengetahuan moral menurutnya tidak menyangkut kenyataan yang ada (das sein) melainkan kenyataan yang seharusnya ada. Dari itu kant berusaha bagaimana pengetahuan itu terjadi yaitu bagaimana asas-asas tindakan itu dihasilkan oleh rasio praktis kita. Dengan istilah lain kant ingin memaksudkan sebagai rasio dalam kegunaan praktisnya. Rasio praktis membuat objek menjadi nyata lewat penentuan kehendak. Dengan berusah menemukan asas-asas itu kant ingin kant memisahkan antara etika dan teologi. Baginya, etika tidak tergantung pada teologi melainkan pada kesadaran subjek yang rasional.

3. Kritik Atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari kritik atas rasio murni dan kritik atas rasio praktis menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri yaitu kawasan keperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Kritik atas daya pertimbangan dimaksudkan oleh kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal iu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bias bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Sementara finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Konsep das Ding an Sich
Dalam pandangan Kant, objek itu nampak hanya dalam kategori subjek, jadi tidak ada cara lain kecuali mengetahuinya dengan struktur kategori akal budi manusia. Sebenarnya pemikiran Kant, ini berangkat dari pemahamanya tentang hakikat realitas atau neumena itu tidak pernah diketahui , yang kita ketahui itu gejalahnya. Sejauh objek itu saya lihat lantas segala yang dilihat itu masuk dalam akal budi menjadi pengetahuan. Kant menolak klaim metafisika atas pengetahuan tentang realitas fundamental (das ding an sich). Oleh karena ketika kita berhadapan dengan realitas kita selalau mengalami realitas itu dalam kategori-kategori yang sudah tertanam dalam benak kita. Jadi pengetahuan dan pengenalan tentang segala yang ada itu ditentukan oleh hukum-hukum atau prinsip-prinsip pengetahuan yang secara konstitutif ada dalam akal budi mansusia
Implikasi dari pemikiran kant tersebut adalah bahwa memang ada realitas yang terlepas dari subjek. Menurut kant memang ada benda pada dirinya sendiri (das ding an sich), tetapi realitas tidak bias diamati atau diselidiki. Yang bias diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penamakan nya saja. Yang tak lain merupakan sintesis antara unsure yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia. Kant mengandaikan bahwa pikiran atau subyek dan obyek yang hendak diketahui adalah dua hal yang terpisah, dan pengetahuan berfungsi menjadi semacam jembatan yang menghubungkan pikiran dan obyek tersebut. Tapi karena kategori-kategori itu apriori dan berdasarkan spontanitas, pikiran langsung bekerja setiap berhadapan dengan obyek apa saja, maka obyek yang kita tangkap melalui kategori-kategori tersebut, bukan lagi obyek sebagaimana pada dirinya sendiri,melainkan obyek yang telah “dipermak” atau dibentuk” (geformt) oleh kategori-kategori tersebut. Dengan demikian, kita tak pernah mampu mengetahui “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an sich, noumena), yang selalu kita ketahui adalah “benda untuk diriku” (das Ding fuer mich, fenomena). Dalam artian kita tidak akan mampu mempersepsikan noumena, yakni sesuatu yang merupakan realitas sebenarnya yang mendukung atau membuat munculnya fenomena.
Menurut kant, kita tidak dapat membuktikan tuhan itu ada atau tidak melalui ilmu pengetahuan. Satu-satunya jalan adalah melalui akal budi praktis atau moralitas. Dalam artian kant menganggap bahwa tuhan bukanlah masalah ilmu pengetahuan yang bisa dibuktikan secara toritis, melainkan masalah iman yang bisa dibuktikan melalui akal budi praktis murni. Disini tuhan bukan lagi sebagaimana dalam akal budi teoritis, melainkan sebagai postulat atau pengandaian hipotesis.Kant merumuskan etikanya murni secara apriori, artinya tidak didasarkan dari pengalaman atau kenyataan empiris, melainkan dari hukum –hukum akal budi itu sendiri.Kewajiban dalam akal budi itu bersifat imperativ, artinya mutlak. Kewajiban untuk selalu berusaha merealisasikan “kebaikan tertinggi” itu mengandaikan atau mempostulatkan tiga hal, yakni kebebasan, immortalitas jiwa dan keberadaan Tuhan.

Referensi:                                                                                                                                                                 Frederick Copleston. 1960.  A History of Philosophy. Vol. 6, hlm. 180-185
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bertens, K. 2005.Panorama Filsafat Modern. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Mizan republika
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jakarta: Kanisius
Kant, Immanuel. 1781. Kritik Akal Budi Murni  (Kritik Der Reinen Vernuft).

3.   Dalam teori Husserl, manusia sebagai subjek dapat tergolong “fenomena” atau “Noema”, cobalah anda jelaskan. Anda jelaskan juga konsepnya “Nach dem Selbst’ melalui filsafah fenomenologinya!
Jawab:
Bagi Edmund Husserl (1859-1938) fenomenologi adalah ilmu yang fundamental dalam berfilsafat. Fenomenologi adalah tentang hakikat dan bersifat a priori. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa subjek hanya mengenal fenomena bukan noumena, namun bagi Husserl fenomena menyangkut noumena (pengembangan dari pemikiran Kant).

Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya (Hamersma, 1983) mengartikan fenomenologi sebagai “fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri” (Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang dicari. Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia. Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”

Husserl mengatakan bahwa pada mulanya ada dua point yang harus digaris bawahi untuk mencapai kebenaran yang hakiki tentang suatu pengetahuan. Point ini ialah noesis dan noema. Noesis ialah suatu tindak kesadaran. Memandang, memikirkan dan membayangkan adalah contoh Noesis. Adapun Noema ialah benda atau sesuatu yang disadari. Jadi noesis dan noema ini tidak dapat dipisahkan. Dan hakikat fenomenologi itu ialah cara memandang bagaimana noema menampakkan diri pada noesis. Atau bagaimana sesuatu yang disadari itu muncul pada kesadaran. Untuk lebih memahami proses ini, berikut dipaparkan sebuah contoh, yaitu: Ketika memasuki sebuah toko pakaian, seseorang memilih sebuah baju. Ia pun mengamati, memandang bagimana ukuran, warna serta model baju tersebut. Kemudian seseorang itu memiliki persepsi, betapa indahnya andai baju itu telah dikenakannya, akan hendak dikenakan pada situasi seperti apa baju itu, telah tergambar semuanya dalam benak seseorang tersebut.

Selanjutnya seorang tersebut kembali lagi kepada kesadaran dirinya setelah melihat penampakan adanya baju itu. Ia pun mengembalikan posisi kesadarannya terhadap kenyataan, yaitu pada kenyataan mengenai seberapa banyak uang yang ia miliki untuk membeli baju itu, atau mengenai sebearapa besarnyakah kebutuhannya atas baju itu. Hingga pada akhirnya ia pun memutuskan untuk membelinya atau tidak. 
Bahkan sesungguhnya jika seorang tersebut dapat lebih lagi menyadari bahwa hakikat baju itu adalah penutup tubuh, tidak peduli seberapa besar harganya, seberapa terbaru modelnya. Pada contoh di atas, noesis adalah pandangan seorang itu. Dan noema ialah baju yang diamati. Sedangkan prosesi reduksi yang terjadi ialah berbagai macam tindakan penyaringan seorang tersebut antara penampakan baju yang ada, dengan kebutuhannya akan baju tersebut dan dengan hakikat dari baju tersebut.

Noesis merupakan bahan dasar pikiran dan roh (mind and spirit) manusia. Noesis juga yang menyadarkan kita akan makna, ketika kita mempersepsi, mengingat, menilai, merasa dan berpikir. Noesis adalah sisi ideal objek dalam pikiran kita, bukan objek yang sebenarnya. Dengan noesis, suatu objek dibawa dalam kesadaran, muncul dalam kesadaran, dan secara rasional ditentukan. Sedangkan noema adalah sesuatu yang diterima oleh panca indera manusia. Menurut Husserl, noema itu faithfully and in the light of perfect self-evidence. Dalam arti kata noema itu tetap dan disertai bukti-bukti yang akurat deskripsi noema adalah deskripsi objektif, berdasarkan pada bagaiman objek tersebut nampak dalam panca indera kita.\

Konsep Nach dem Selbst
Seluruh pembahasan Husserl (Hamersma, 1983) tantang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini, Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam kesadaran kita. Apa yang tampil kepada kita dalam kesadaran kita, itulah yang disebut fenomena.
Dengan keyakianan bahwa kita dapat melihat realitas yang sebenarnya, Husserl mengajak kita untuk menghilangkan kabut yakni ”gejala yang tampak kepada kita dari realitas” agar dapat sampai pada realitas yang semurni-murninya. Bagi Husserl, kabut inilah yang menghalangi manusia untuk sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang realitas. Untuk cita-cita luhur ini, Husserl berteriak kepada kita “nach den sachen selbst”(kembalilah kepada benda-bandanya sendiri).
Bagaimanakah Husserl menjelaskan pemikirannya ini? Dalam hidup kita, kita selalu mengerti realitas bukan sebagaimana adanya realitas itu mesti kita bawa dalam perspektif kita melainkan realitas yang telah dipengaruhi oleh perspektif orang lain, agama, adat, atau perspektif ilmu pengetahuan. Misalnya kita mau mengerti tentang apa itu seksualitas. Bagaimanapun juga kita seringkali melihat seksualitas itu sebagai sesuatu yang tabu, terlarang dan tak pantas dibicarakan oleh karena memang kita telah dibesarkan dalam perspektif umum bahwa seksualitas itu tabu dan terlarang. Bagi Husserl, inilah kabut yang menghalangi kita untuk sampai pada realitas yang murni, untuk mengerti seksualitas itu semurni-murninya. Untuk hal ini, Husserl mengajak kita untuk melepaskan diri dari segala pandangan baik agama, adat, maupun ilmu pengetahuan, dan kalau kita berhasil kita akan mengerti apa adanya realitas itu. Bagi Husserl, segala gejala yang nampak keluar dari realitas, bukanlah inti dari realitas itu, dan semua yang bukan inti harus diletakan dalam tanda kurung. Setelah semuanya itu, Husserl mengajak kita untuk sampai pada hakikat realitas itu sendiri. Inilah pengertian yang murni.
Referensi:                                                                                                                                                       
Bagus, Lorenz. 2005.Kamus Filsafat. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bell, David. Husserl. London Delfgaauw, Bernard, DR..1988. filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara wacana                                                                                                                                  
Hamersma, Harry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...