PERNYATAAN
Pendidikan IPS adalah pendidikan yang amat penting
dalam mengembangkan perilaku sosial, kemampuan komunikasi dan kemampuan sosial,
serta peduli dengan masyarakat sekitar, bangsa, dan ummat manusia. Melalui
pendidikan IPS anak didik memahami dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan
menjadi warganegara yang produktif dan kreatif. Sayangnya, keadaan pendidikan
IPS masa kini masih belum mampu mengembangkan tujuan dan perannya yang sangat
penting tersebut. Pendidikan IPS belum menarik, masih dianggap beban, dan belum
memberikan manfaat yang sesungguhnya. Oleh karena itu penyempurnaan pendidikan IPS
adalah sesuatu yang perlu dilakukan segera. Kajian terhadap diri sendiri dan
negara lain perlu dilakukan untuk mengetahui apa yang perlu dikembangkan terus
dari apa yang pernah dilakukan di negara sendiri dan negara lainnya.
________________________________________________________________________
PERTANYAAN
1.
Jelaskan landasan filosofis kurikulum IPS
yang sesuai dengan pernyataan di atas!
Jawab:
Pengembangan
suatu kurikulum harus memiliki landasan filosofis. Hal ini perlu dilakukan agar
memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implementasinya. Secara teoritis,
terdapat beberapa pandangan filosofi kurikulum IPS yaitu esensialisme,
perenialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
Ø Esensialisme
adalah aliran yang menekankan bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan
ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan
keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah
kurikulum disiplin ilmu. Tujuan utama implementasi kurikulum menurut aliran ini
adalah intelektualisme (S. Hamid Hasan, 1996 : 57-58). Proses belajar mengajar
yang dikembangkan adalah peserta didik harus memiliki kemampuan terhadap
penguasaan disiplin ilmu. Implementasi pembelajaran seperti ini akan lebih
banyak menekankan pada dominasi guru yang berperan daripada peserta didik.
Dengan adanya dominasi guru dalam pembelajaran, maka akan menekankan pembelajaran
yang academic exellence and cultivation
of intelect, daripada kemampuan untuk mengembangkan proses inquiry guna
memproduksi pengetahuan baru (Nana Supriatna, 2007 : 31-32). Sekolah yang baik
dalam pandangan aliran filsafat esensialis adalah sekolah yang mampu
mengembangkan intelektualisme peserta didik. Implementasi mata pelajaran IPS
menurut aliran esensialis akan lebih menekankan pada aspek kognitif belaka
daripada aspek afektif. Peserta didikbelajar akan lebih berorientasi pada
pemahaman konsep-konsep daripada penerapan materi yang ada pada IPS bagi
kehidupan sehari-hari.
Ø Perenialisme
memadang bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan
atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta
tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan ini, kurikulum akan menjadi
sangat ideologis karena dengan pandangan perernialisme menjadikan peserta didik
sebagai warga negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diinginkan oleh negara. Pandangan perenialis lebih menekankan pada transfer of culture, seperti dalam
kurikulum IPS yang bertujuan pada pembangunan jati diri bangsa pada peserta
didik, yang menuju tercapainya integrasi bangsa (Nana Supriatna, 2007 : 31).
Ø Progresivisme
memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yaitu meningkatkan kecerdasan praktis
dan membuat peserta didik lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang
disajikan. Masalah tersebut ditemukan berdasarkan pengalaman peserta didik. Pembelajaran
yang harus dikembangkan menurut aliran filsafat progresivisme adalah
memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial
budaya dan mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif sebagai warga negara
dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan memiliki kemampuan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari (Nana Supriatna, 2007: 32). Implementasi
dalam pandangan filsafat progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS
mampu membekali kepada peserta didik agar dapat memecahkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya.
Masalah-masalah tersebut misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan,
ketertinggalan, kenakalan remaja, narkoba, dan lain-lain. Jadi pembelajaran
yang ditekankan dalam aliran progresivisme lebih bersifat implementatif.
Ø Rekonstruksionisme
berpendapat bahwa sekolah harus diarahkan kepada pencapaian tatanan demokratis
yang mendunia. Aliran ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok tanpa
mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan pengetahuan, teori, atau
pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka melalui
pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksi
pengetahuan baru (Nana Supriatna, 2007 : 32). Aliran filsafat ini lebih
menekankan agar peserta didik dalam pembelajaran mampu menemukan (inquri). Penemuan ini bersifat informasi
baru bagi peserta didik berdasarkan bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih
ditekankan pada proses bukan hanya hasil. Aktivitas peserta didik menjadi
prioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran. Dengan cara seperti ini
diharapkan peserta didik mampu menemukan (inquiri)
suatu informasi baru yang berguna bagi dirinya. Dalam implementasi pembelajaran
IPS, misalnya peserta didik mempelajari fakta-fakta yang ada di sekelilingnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut akhirnya peserta didik menemukan definisi
mengenai sesuatu, tanpa harus didefinisikan lebih dahulu oleh guru. Misalnya
diperkenalkan adanya fakta orang-orang yang melakukan kegiatan jual-beli.
Setelah melihat aktivitas orang-orang tersebut akhirnya peserta didik menemukan
definisi mengenai penjualan, pembelian, penawaran, pasar, uang, dan lain-lain.
Agar proses inquri dalam pembelajaran
ini dapat terjadi kepada peserta didik, maka guru tidak memberikan definisi
tersendiri, biarkan peserta didik mencarinya berdasarkan fakta yang ia temukan.
Landasan filosofis yang digunakan sebaiknya landasan
progresivisme dan rekonstruksionisme. Kedua landasan filosofis ini
penting, mengingat kurikulum IPS masa depan haruslah memiliki muatan materi
yang senantiasa dapat menangkap kecenderungan-kecenderungan perubahan yang akan
terjadi di masa depan. Hal ini perlu dilakukan mengingat perubahan yang terjadi
di luar sekolah begitu cepatnya yang terkadang tidak beriringan atau tidak
dikejar oleh perubahan yang dilakukan oleh sekolah. Terjadi suatu kondisi yang
berbanding terbalik, di luar sekolah begitu cepat sedangkan di sekolah
perubahan terjadi lambat. Perubahan di luar sekolah banyak memberikan pengaruh
terhadap kehidupan peserta didik. Saluran yang menjadi sarana bagi perubahan di
luar sekolah khususnya media informasi. Berbagai informasi yang datang melalui
media mempengaruhi terhadap perilaku kehidupan peserta didik. Bahkan pengaruh
media di luar akan jauh lebih besar daripada perubahan yang diinginkan oleh peserta
didik. Kondisi seperti ini harus disikapi dengan penyajian materi pelajaran
yang bersifat kontekstual. Apa yang terjadi dan dilihat oleh peserta didik
sebagai pengalaman hidupnya sehari-hari, harus menjadi sumber belajar utama.
Model pembelajaran yang terlalu berorientasi pada buku ajar semata harus
dihindari. Buku ajar hanya salah satu sumber belajar yang dipakai.
Pembelajaran
IPS yang bersifat verbalisme dan lebih menekankan pada pemahaman yang bersifat
teoritis belaka harus dikurangi. Cara pembelajaran ini lebih banyak dipengaruhi
aliran filsafat esensialisme. Penerapan model pembelajaran yang demikian akan
menyebabkan materi pelajaran yang diterima oleh peserta didik akan menjauh dari
lingkungan sosial dimana dia berada. Peserta didik tidak mampu memecahkan
masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Sedangkan dampak akselerasi perubahan
yang dihadapi oleh peserta didik dapat menimbulkan permasalahan kehidupan yang
begitu kompleks. Oleh sebab itu, pembelajaran yang dilakukan haruslah model
pembelajaran yang dapat memberikan pembekalan kepada peserta didik untuk dapat
memecahkan masalah yang ia hadapi. Landasan filsafat kurikulum yang harus
dipegang adalah filsafat yang mengajarkan kecerdasan praktis dan mampu
memecahkan masalah yang dihadapi sendiri oleh peserta didik. Konsep-konsep atau
teori yang diterima oleh peserta didik haruslah menjadi alat bagi peserta didik
dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam memecahkan masalah tersebut
terjadi proses menemukan (inquiri)
informasi baru. Informasi baru ini diharapkan dapat menjadi bahan pengetahuan peserta
didik dalam mensikapi perubahan-perubahan yang terjadi baik saat sekarang
maupun di masa yang akan datang. Dengan demikian konsep atau teori yang
dipelajari dalam IPS haruslah memiliki muatan nilai praktis.Mengingat latar
belakang
Pendidikan IPS
harus mampu mengatasi masalah-masalah sosial kontemporer pada masyarakat
seperti rendahnya etos kerja dan menurunnya jiwa kewirausahaan. Hal tersebut
sesuai dengan hakikat IPS yaitu bidang studi tentang tingkah laku kelompok umat
manusia (the study of the group behavior
of human beings) (Calhoun (1971:42). yang sumber-sumbernya digali dari
kehidupan nyata di masyarakat. Untuk itu pembelajaran IPS yang diramu dalam
kurikulum harus memiliki peran penting dalam menyiapkan peserta didik
mengembangkan nilai-nilai kerja keras, hemat, jujur, disiplin, kecintaan pada
diri dan lingkungannya serta memiliki semangat kewirausahaan (Nana Supriatna,
2007:2). Hal itu senada dengan pendapat Nursid Sumaatmaja yang menyatakan bahwa
mata pelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental
positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil
mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya
sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat (1980:20). Sesuai dengan UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan pemerintah
yang mengatur tingkat satuan pendidikan (dasar sampai menengah), maka batasan
ruang lingkup materi (scope) IPS yang harus dikaji peserta didik perlu
diperhatikan. Dari pokok kajian yang ada, mana yang harus dipelajari peserta
didik dan mana yang tidak perlu mereka pelajari. Hal pokok tersebut adalah
sesuatu yang mau tidak mau merupakan bagian dasar dari mereka yang akan belajar
disiplin ilmu itu (Hamid Hasan, 1996).
IPS sebagai mata pelajaran yang mengkaji berbagai
perilaku dan interaksi manusia dalam kehidupan sosial, memiliki aspek keruangan
atau spasial. Aspek spasial tersebut adalah lokal, nasional dan global atau
internasional. Visi mata pelajaran IPS dalam Aspek lokalitas dapat berfungsi
untuk membangun jati diri. Perubahan-perubahan global yang menembus berbagai
sektor kehidupan peserta didik tidak akan mencerabut nilai-nilai lokal yang
sudah lama hidup dalam lingkungan sosial dimana peserta didik tinggal. Pemaknaan
lokal bukan disikapi dengan sikap pelestarian, akan tetapi lebih pada
pengembangan. Nilai-nilai lokal perlu dikembangan dan menjadi materi IPS yang
ditempatkan pada kedudukan sejajar dengan nilai-nilai global. Aspek nasional
dalam visi kurikulum IPS ke depan yaitu mata pelajaran IPS tetap harus
menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Nasionalisme merupakan konsep politik yang
terbentuk karena adanya latar belakang sejarah yang sama. Kesamaan latar
belakang sejarah yang sama harus dapat menanamkan rasa memiliki terhadap negara
Republik Indonesia. Kecintaan terhadap bangsa bukanlah merupakan doktrin
ideologi negara yang bersifat pasif dan dogmatis, akan tetapi merupakan doktrin
yang bersifat dinamis, artinya doktrin yang senantiasa menghadapi perubahan-perubahan
yang sedang dan akan terjadi. Hal ini perlu ditanamkan dengan harapan agar
ketahanan diri sebagai warga negara dapat terjaga ketika meghadapi gelombang
perubahan. Perubahan yang menembus berbagai sendi kehidupan peserta didik
jangan sampai mencerabut rasa kebangsaannya. Seorang peserta didik dapat
bergaul dalam komunitas global tetapi dia tetap sebagai warga negara bangsa.
Kurikulum IPS sebagai mata pelajaran yang mempelajari
berbagai kehidupan masyarakat yang kompleks haruslah dapat mengadopsi keragaman
yang ada pada masyarakat bangsa Indonesia. Pengakuan terhadap eksistensi
keragaman haruslah ditanamkan kepada diri peserta didik. Keragaman harus diakui
sebagai realitas obyektif yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam
hal ini perlu dikembangkannya konsep multikultur dalam melihat realitas
masyarakat Indonesia yang beragam. Hal yang harus dilakukan dalam melihat
keragamanan ini adalah perlu dicari relasi di antara keragaman. Keragaman
jangan disikapi dengan sikap dikotomi, yang membedakan secara tajam antara satu
budaya dengan budaya yang lain, apalagi sampai menafikan terhadap eksistensi
budaya yang lainnya. Sikap dikhotomi tersebut dapat menimbulkan masalah sosial
yaitu terciptanya konflik sosial secara horizontal. Eklusivisme budaya harus
dihindari, tetapi harus dibangun inklusivisme.
Aspek visi dalam konteks global (dalam, http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-kurikulum-ips) adalah kurikulum IPS harus bisa membaca kecenderungan-kecenderungan yang
terjadi pada era globaliasi. Ciri dari globalilsasi ini adalah terjadinya
akselerasi perubahan yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi.
Teknologi informasi telah menghilangkan batas-batas geografis antar wilayah
atau belahan dunia. Selain itu, globalisasi telah menciptakan masyarakat yang
semakin kompetitif. Oleh sebab itu kurikulum IPS harus mampu menciptakan peserta
didik menjadi warga dunia yang memiliki keunggulan kompetitif. Dengan adanya
kecenderungan globalisasi dan keinginan untuk menyesuaikan tuntutan kebutuhan
serta aspirasi bangsa Indonesia di masa depan akan membawa implikasi terhadap
perubahan-perubahan kebijakan, khususnya dalam bidang pendidikan. Misi
pendidikan nasional adalah menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif
yang adaptable terhadap perubahan dan
kebutuhan stakeholders. Disamping
itu, dapat menjawab fenomena empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do learning to be, and learning to live
together).
2. Jelaskan mengenai pendekatan pengembangan
kurikulum IPS masa kini dengan pendekatan kompetensi dibandingkan dengan
pendekatan pada pengembangan kurikulum IPS kurikulum tahun 1975, 1984, dan 1994
(pilih salah satu kurikulum dan jenjang pendidikan)!
Jawab:
Ø Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Kurikulum 1975
Pengembangan Kurikulum Tahun 1975 merupakan awal baru
dalam sejarah pengembangan kurikulum di Indonesia. Kurikulum ini tidak
dikembangkan oleh Kementerian/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tetapi oleh
suatulembaga di bawah kementerian tersebut yang dinamakan Pusat Pengembangan
Kurikulum. Model pengembangan Kurikulum Tahun 1975 menjadi lebih jelas, baik
dari segi pendekatan maupun tujuannya. Model pendekatan tujuan ini dikenal pula
dengan nama model Tyler dan mempunyai pengaruh yang besar di Amerika Serikat.
Pada fase ini pengaruh pendidikan Amerika Serikat mulai menguat di Indonesia
terutama melalui para sarjana yang pulang dari belajar di negara tersebut. Selain
model pengembangan, dalam kurikulum baru digunakan pula pendekatan pengembangan
materi kurikulum yang berbeda dari kurikulum sebelumnya. Jika dalam kurikulum
sebelumnya disebutkan nama disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai nama mata
pelajaran dalam kurikulum 1975 digunakan nama Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Kurikulum pendidikan 1975
menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :
a
Berorientasi pada tujuan
b
Menganut pendekatan integrative
c
Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya
dan waktu.
d
Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan
Prosedur
e
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
f
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada
stimulus respon dan latihan.
Konsep
pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang
menampilkan empat profil, yaitu :
a Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara
sebagai bentuk pendidikan IPS khusus.
b
Pendidikan IPS terpadu untuk SD
c
Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS
sebagai konsep peyung untuk sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
d
Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG,
dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA /SMK..
Jadi, orientasi pendidikan IPS pada pendidikan
disiplin ilmu jelas tergambarkan dalam dokumen kurikulum. Artinya, integrasi
yang dimaksudkan adalah integrasi materi dari berbagai disiplin ilmu tersebut.
Ø Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Kurikulum 1984
Kurikulum Tahun 1984 merupakan penyempurnaan Kurikulum
Tahun 1975. Dalam kurikulum 1984, nama IPS hanya digunakan untuk menyebutkan
nama mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar MI/SD dan MTs/SMP, sama seperti
dalam Kurikulum 1975. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial
khusus yang wajib diikuti semua peserta didik di SD, SMP dan SMU. Sedangkan
mata pelajaran IPS diwujudkan dalam :
a Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
b Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi,
sejarah dan ekonomi koperasi.
c Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional
dan Sejarah Umum di kelas I-II; Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah
Budaya di kelas III program IPS.
Dimensi konseptual
mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan
ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum Komunikasi
Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang
tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi
yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam
pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI menegaskan
adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta,
yaitu :
a Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah
penyederhanaan, adaptasi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta
kegiatan dasar manusia yang duorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b
Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah
seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora serta kegiatan dasar
manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk
tujuan pendidikan PIPS untuk
tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP,
STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga
menjadi Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan
Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi,
Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk
keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang
memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai
program pendidikan di tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan
ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun karena
tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah, maka
kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau interdisipliner ke
dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk program pendidikan
ilmu-ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah harus sudah
mulai di ajarkan. Program pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara
terpadu penuh, sementara itu untuk pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA
penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah antar cabang ilmu-ilmu sosial,
tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu dengan
ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan juga di SMEA.
Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial
disajikan secara terpisah atau fakultatif, seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun
untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang mempersiapkan calon guru atau
mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka pendidikan IPS di berikan secara
interdisipliner dan juga secara disipliner. Secara interdisipliner karena ilmu
yang diperoleh nantinya untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan
secara disipliner karena sebagai guru juga harus menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak
dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat
diidentifikasi objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
a
Karakteristik potensi dan perilaku belajar peserta didik SD,
SLTP dan SMU.
b
Karakteristik potensi dan perilaku belajar peserta didik FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.
c
Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
d
Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang
relevan.
e
Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran
IPS.
f
Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang
berdampak sosial.
g
Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Ø Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Kurikulum 1994
Kurikulum
IPS Tahun 1994 adalah kurikulum yang akan digunakan pada tahun 1994. Seperti
kurikulum sebelumnya, nama tahun digunakan bagi suatu kurikulum untuk
menyatakan waktu mulai berlakunya. Sesuai dengan namanya, kurikulum ini mulai
digunakan pada tahun 1994, yaitu pada tahun ajaran 1994/1995. Dalam
Keputusan Mendikbud Nomor 060/U/1993 disebutkan bahwa pada jenjang pendidikan
dasar terdapat mata pelajaran yang disebut ilmu pengetahuan sosial (IPS) yang
mencakup ilmu bumi, sejarah (nasional dan umum), dan ekonomi. Walaupun kalangan
iImuwan geografi tidak sependapat dengan istilah ilmu bumi dan keduanya
dianggap tidak sama, dalam kurikulum ini yang dimaksudkan dengan ilmu bumi
adalah geografi yang dikenal dalam kurikulum sebelumnya. Selanjutnya, keputusan
yang sama menunjukkan bahwa mata pelajaran IPS memperhatikan pengertian dasar
dari konsep-konsep pendidikan disiplin ilmu sosial yang menjadi anggota IPS.
Keputusan
tersebut menunjukkan bahwa IPS sebagai suatu nama mata pelajaran pada jenjang
pendidikan dasar memiliki anggota disiplin ilmu yang sama dengan kurikulum
sebelumnya. Demikian juga kajian terhadap rancangan GBPP memperlihatkan bahwa
pendekatan pengajaran yang integratif hanya berlaku untuk jenjang pendidikan
dasar di MI/SD, sedangkan untuk jenjang pendidikan dasar di tingkat MTs/SMP
pendekatan disiplin ilmu terpisah (separated
disciplinary approach) merupakan sesuatu yang tetap dominan. Bahkan, dalam
rancangan GBPP tersebut dinyatakan bahwa geografi, sejarah, dan ekonomi
masing-masing mendapatkan jatah 2 jam pelajaran per minggu. Artinya, GBPP IPS
MTs/SMP menyatakan bahwa tiap anggota kurikulum IPS itu bersifat mandiri dengan
tujuan, materi, dan juga jam pelajaran yang terpisah. Bentuk pengajaran yang
terpisah dan berdasarkan pendekatan disiplin ilmu itu terlihat secara jelas
dalam setiap komponen GBPP (tujuan, pengalaman belajar, dan materi). Tampak di
setiap kelas dan setiap catur wulan (sistem semester yang dianut Kurikulum 1984
diganti dengan satuan lama yaitu catur wulan, berlaku untuk pendidikan dasar,
MI/SD dan MTs/SMP, serta pendidikan menengah MA/SMA). Komponen-komponen
kurikulum untuk ketiga disiplin itu dijejerkan sehingga secara fisik terlihat
dekat. Secara konseptual antara ketiganya tidak berhubungan. Dalam
GBPP disebutkan bahwa kondisi ideal mengajarkan IPS di MTs/SMP dan MA/SMA
adalah setiap disiplin ilmu dalam IPS diajarkan oleh guru yang berbeda. Hanya
dalam kondisi yang tidak memungkinkan ketiga disiplin tersebut diajarkan oleh
guru yang sama. Anjuran yang demikian tidak saja memperkuat kemandirian
(ketiadaan hubungan antara ketiga disiplin itu dalam satu kurikulum yang sama),
tetapi juga menunjukkan bentuk pendidikan ilmu-ilmu sosial yang diinginkan.
Kiranya penggabungan ketiganya dalam satu kurikulum dengan nama IPS pada
jenjang pendidikan MTs/SMP hanya untuk menghilangkan kesan padatnya materi
kurikulum MTs/SMP dan untuk memperlihatkan keberhubungan semu dengan kurikulum
IPS di MI/ SD. Posisi kurikulum semacam ini kurang menguntungkan, bila
pendidikan ilmu-ilmu sosial di MTs/SMP diajarkan dalam bentuk terpisah, karena
akan menampilkan ketidak seimbangan antara apa yang didefinisikan sebagai IPS
pada bagian awal GBPP dengan kenyataan materi kurikulum. Pengertian IPS dalam
kalimat pertama jelas memperlihatkan adanya upaya untuk menggunakan bentuk
pendidikan IPS yang korelatif, tetapi apa yang dikemukakan dalam kalimat
berikutnya menunjukkan pendekatan yang digunakan dalam kurikulum IPS didasarkan
pada pendekatan disiplin terpisah.
Ø Pengembangan kurikulum IPS masa kini
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan
perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial
untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi
program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Di samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan
Pendidikan kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan
pengetahuan sosial (PKnPS), namun akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn
dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli
pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu
perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun
tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu
membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata
pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau mata pelajaran
PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic education .
IPS (social studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia
terus melakukan beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS
sebagai program pendidikan ilmu sosial di tingkat sekolah melalui seminar dan
lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya, terutama oleh kelompok
pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial Indonesia) dalam
kongresnya di beberapa tempat di Indonesia.
Mempelajari Konsep dasar IPS berisi
tentang konsep, hakikat, dan karakteristik pendidikan IPS. Dengan mempelajari
materi Konsep dasar IPS ini, diharapkan dapat menjelaskan konsep-konsep IPS
yang berpengaruh terhadap kehidupan masa kini dan masa yang akan datang secara
kritis dan kreatif. Pembahasan materi ini menerapkan pendekatan antar disiplin
yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Adapun media yang
digunakan adalah bahan ajar cetak dan non cetak (web). Pengembangan kurikulum IPS jenjang pendidikan dasar perubahan
dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2006 yang disebut sebagai kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP), telah merubah struktur kurikulum mata
pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik. Perubahan penyajian mata
pelajaran disiplin ilmu-ilmu sosial ke dalam satu mata pelajaran IPS, tentunya
berimplikasi pada berubahnya model pembelajaran yang harus dilakukan oleh para
guru. Perubahan yang dimaksud mencakup berubahnya cara-cara dalam merencanakan,
melaksanakan dan menilai hasil pembelajaran mata pelajaran IPS. Dengan
demikian, penguasaan terhadap konsep, sikap dan ketramprilan dalam menerapkan
pembelajaran IPS terpadu menjadi sangat penting bagi guru mata pelajaran IPS.
Sebab, dengan kompetensi yang baik dalam bidang pembelajaran IPS terpadu
diharapkan prestasi belajar mata pelajaran IPS peserta didik dapat
ditingkatkan.
Pembelajaran Mata
Pelajaran IPS di Sekolah/Madrasah Saat Ini
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai
SMP/MTs/SMPLB, bahkan sampai pada jenjang SMK. IPS mengkaji seperangkat
peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial.
Pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat
materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS,
peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang
demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Menurut lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006, tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, butir Struktur Kurikulum Pendidikan
Umum pada struktur kurikulum
SD/MI point b, dinyatakan bahwa “substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada
SD/MI merupakan ‘IPA terpadu’ dan ‘IPS terpadu’ (2006:7). Demikian halnya untuk substansi mata
pelajaran IPA dan IPS pada SMP/MTs juga merupakan ‘IPA terpadu’ dan ‘IPS
terpadu’ (2006:9). Bahkan untuk jenjang pendidikan menengah, khususnya pada
SMK/MAK, substansi mata pelajaran IPS juga disajikan sebagai ‘IPS terpadu’ (2006:17). Secara terperinci
penyajian mata pelajaran IPS terpadu pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel
1. Penyajian Mata Pelajaran IPS Terpadu
Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
No.
|
Tingkat
Pendidikan
|
Kelas dan
Alokasi Waktu
|
|||||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
|
XI
|
XII
|
||
1.
|
SD/MI
|
TEMATIK
|
3
|
3
|
3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
||
2.
|
SMP/MTs
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
4
|
4
|
4
|
-
|
-
|
-
|
3.
|
SMA/MA
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
4.
|
SMK/MAK
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
128 Jam*
|
Keterangan: Untuk mata pelajaran IPS di SMK durasi waktu 128 jam
merupakan jumlah jam minimal yang digunakan oleh setiap program keahlian.
Mata pelajaran IPS disusun secara
sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju
kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan
tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan
mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan. Disiplin ilmu sosial yang termasuk
dalam mata pelajaran IPS adalah (1) ilmu Geografi (aspek yang dipelajari
mencakup manusia, tempat, dan lingkunga), (2) ilmu Sejarah (aspek yang
dipelajari mencakup waktu, keberlanjutan, dan perubahan), (3) ilmu Sosiologi
(aspek yang dipelajari mencakup sistem sosial dan budaya), dan (4) ilmu Ekonomi
(aspek yang dipelajari mencakup perilaku ekonomi dan kesejahteraan).
Dengan demikian ada perbedaan
mendasar pada tujuan mempelajari disiplin ilmu sosial dengan mempelajari IPS.
Tujuan mempelajari disiplin ilmu sosial secara tersendiri adalah untuk menjadi
ilmuan disiplin ilmu sosial yang dipilih (misalnya Ekonom, Sosiolog,
Sejarahwan, dan sebagainya); sedangkan mempelajari mata pelajaran IPS
sebagaimana dikemukakan oleh Banks (dalam Asmi, 2002:243) bertujuan untuk
“membantu peserta didik mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai dan kecakapan
untuk menghadapi isu dan maslah sosial secara reflektif”.
Oleh
karena pembelajaran IPS dalam kurikulum 2006 merupakan IPS Terpadu yang
merupakan gabungan antara berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, yang terdiri atas
beberapa bagian disiplin ilmu terseleksi seperti Geografi, Sosiologi, Ekonomi,
dan Sejarah, maka dalam pelaksanaannya tidak lagi terpisah-pisah melainkan
menjadi satu kesatuan. Hal ini memberikan implikasi terhadap guru yang mengajar
di kelas. Seyogianya (idealnya) guru dalam pembelajaran IPS dilakukan oleh
seorang guru mata pelajaran, yakni Guru Mata Pelajaran IPS. Hal demikian
juga ditunjukan oleh temuan penelitian Wahidmurni (2006: 60) yang
menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kurikulum pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah, dari kurikulum 1994 ke kurikulum 2004 dan bahkan telah
diterbitkan kurikulum 2006 yang pada saat ini sedang disosialisasikan pada
lembaga-lembaga pendidikan di seluruh Indonesia. Lebih khusus kurikulum untuk
mata pelajaran IPS di SD/MI, SMP/MTs, dan di SMK/MAK, yang dahulu mata
pelajaran yang tergabung dalam IPS disajikan secara mandiri dan sekarang
disajikan secara terintegrasi. Implikasinya sebagai lembaga atau program
studi yang menghasilkan calon guru, direkomendasikan kepada UPI khususnya program studi Pendidikan IPS untuk segera menyesuaikan
kurikulumnya guna memenuhi kebutuhan calon guru IPS di masa yang akan datang. Sesuai dengan perkembangan dan ilmu pengetahuan
sebaiknya kurikulum disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kurikulum perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi
di masyarakat. Perubahan kurikulum harus mengacu pada sumber hukum yaitu pancasila dan
Undang-undang dasar 1945.
3.
Bandingkan tujuan IPS di Indonesia dengan
di Malaysia untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah? Berikan kritik anda!
Jawab:
Ø Tujuan IPS di Indonesia
Adapun tujuan mempelajari mata
pelajaran IPS sebagaimana dinyatakan dalam kurikulum IPS 2006 pada satuan
pendidikan SD/MI dan satuan pendidikan SMP/MTs adalah bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut; (a) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dan lingkungannya,
(b) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin
tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan
dalam kehidupan sosial, (c) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap
nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan (d) memiliki kemampuan berkomunikasi,
bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global. Sedangkan tujuan mempelajari mata pelajaran IPS.
Menurut Hasan (1996; 107), tujuan pendidikan IPS dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori, yaitu
a
Pengembangan
kemampuan intelektual siswa
Tujuan pertama berorientasi pada pengembangan kemampuan intelektual yang
berhubungan dengan diri siswa dan kepentingan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu-ilmu sosial.
b
Pengembangan
kemampuan dan rasa tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa serta
c
Pengembangan diri
siswa sebagai pribadi
Sistem pendidikan formal terdiri dari
beberapa jenjang pendidian, yaitu sekolah dasar, sekolah menengah dan
pendidikan tinggi. Pendidikan pra sekolah juga termasuk didalam sistem
pendidikan nasional Indonesia.
Jenjang
SD/MI
Pengorganisasian materi pelajaran IPS di jenjang SD/MI menganut pendekatan
terpadu (integrated), yaitu materi
pelajaran dikembangkan dan disusun tidak mengacu disiplin ilmu yang terpisah,
melainkan mengacu pada pada aspek kehidupan nyata (Factual/real). Dalam Permendiknas (2006) di kemukakan bahwa IPS
mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan
dengan isu sosial, serta memuat materi geografi, sejarah, sosiologi, dan
ekonomi.
IPS di Sekolah
Dasar disampaikan secara terpadu yang kemudian di sebut IPS Terpadu. Pendidikan
IPS di SD telah mengintegrasikan bahan pelajaran dalam satu bidang studi.
Hingga sekarang, bahwa buku-buku IPS untuk SD telah memasukkan setidaknya lima
sub bidang studi, yakni Sejarah, Geografi, Politik, Hukum, dan Ekonomi.
Guru-guru mata pelajaran di SD-pun telah disiapkan secara khusus, seperti SPG,
dan PGSD. Pengembangan kurikulum PIPS untuk sekolah dasar telah cukup lama
dikembangkan. Format sistemnya lebih matang dibandingkan kurikulum PIPS untuk
tingkat SMP. Ada beberapa tujuan pembelajaran IPS di SD (Saucier, 1951:
325-327) sebagai berikut.
a Mengembangkan intelegensi sosial.
Untuk
mengembangkan kecerdasan sosial anak, cara dalam memperoleh suatu informasi
lebih penting daripada jumlah informasi yang bisa mereka peroleh. IPS seharusnya
melengkapi anak dengan berbagai macam pengalaman penting yang akan meningkatkan
dan memperkaya bekal pemahaman mereka dan mengembangkan kebiasaan mereka untuk
berpikir.
b Mengembangkan sikap sosial.
Ketika anak
mulai bersekolah, masing-masing anak memiliki sikap yang membedakan dirinya
dengan orang lain. Sikap ini mengakar kuat sebagai karakternya, yang terbentuk
oleh kehidupannya dalam keluarga dan masyarakatnya. Akan tetapi, tanpa
menyadari hal ini, guru IPS seringkali mengorbankan sikap peserta didik hanya
sekedar untuk menyampaikan informasi.
Jenjang
SMP/MTs
Untuk jenjang SMP/MTs, pengorganisasian mater pelajaran IPS menggunakan
pendekatan korelasi (correlated), artinya materi pelajaran dikembangkan dan
disusun mengacu pada beberapa disiplin ilmu secara terbatas kemudian dikaitkan
dengan aspek kehidupan nyata (factual/real). Melalui pembelajaran IPS peserta
didik diarahkan menjadi warga negara yang demokratis dan bertangguang jawab,
serta warga dunia yang cinta damai.
Jenjang
SMA/MA/SMK
Pada jenjang SMA/MA/SMK, pengorganisasian materi pembelajaran IPS
menggunakan pendekatan terpisah (Separated), yaitu materi pembelajaran
dikembangkan dan disusun mengacu pada beberapa disiplin ilmu sosial secara
terpisah. Pembelajaran IPS di SMA/MA menjadi suatu rumpun dengan nama disiplin
ilmu sosial “tradisional“, yaitu Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi dan
Antropologi. Hal tersebut berbeda dengan pembelajaran IPS di SMK dan
SMALB, nama IPS adalah nama mata
pelajaran seperti di SD/Mi dan SMP/MTs.
Jenis pendidikan menengah adalah
sekolah menengah umum, sekolah menengah kejuruan, sekolah menengah agama,
sekolah menegha kedinasan. Sekolah menengah umum memberikan prioritas untuk
memperluas pengetahuan dan mengembangkan keterampilan peserta didik dan
mempersiapkan mereka untuk melanjutkan untuk melanjutkan dtusi mereka ke
pendidikan tinggi. Pendidikan sekolah menengah kejuruan memberikan prioritas
untuk memperluas keterampilan kerja dan menekan pada persiapan peserta didik
untuk memasuki dunia kerja dan memperluas sikap professional. Pendidikan
sekolah menengah keagamaan memberikan prioritas terhadap penguasaan pengetahuan
khusus keagamaam. Pendidikan sekolah menegah kedinasan yang menekankan pada
perbaikan kemampuan dalam melaksanakan tugas pelayanan pegawai negeri sipil
atau calon pegawai negeri sipil. Pendidikan sekolah
menengah khusus ditujukan dan dirancang bagi peserta didik yang mempunyai
keterbatasan fisik dan mental
Di
Indonesia setiap jenjang pendidikan harus melalui ujian nasional apa bila
hendak melanjutkan kejenjang selanjutnya. Demikian pula ketika akan melanjutkan ke
perguruan tinggi para peserta didik harus mengikuti SPMB yang terpusat.
Ø Tujuan IPS di Malaysia
Sistem pendidikan di Malaysia disusun
berdasarkan pada Sistem Pendidikan Inggris. Pendidikan rendah atau pendidikan
dasar di Malaysia dimulai pada kanak-kanak usia 7 – 12 tahun (pendidikan dasar
6 tahun). Wajib belajar (pendidikan wajib) di Malaysia diterapkan dan
dilaksanakan mulai tahun persekolahan 2003.
Pendidikan
di Malaysia secara keseluruhan dibawah hukum kementrian pendidikan, yang
bertanggung jawab mengurusi sistem pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan
universitas, mengatur silabus, mengontrol ujian nasional dan mengawasi perkembangan
pendidikan.
Pra-Pendidikan Dasar
Pendidikan di Malaysia dimulai dari Pendidikan Pra
Sekolah yangdisediakan oleh beberapa instansi pemerintah, badan swasta, dan
lembaga-lembaga sukarela dan diikuti oleh anak didik berusia 4-6 tahun. Semua
lembaga pendidikan pra sekolah terdaftar pada Departemen Pendidikan dan
pada umumnya mereka
Pendidikan Dasar
Pendidikan
dasar adalah wajib bagi semua anak-anak antara usia 7 dan 12.Pendidikan gratis
ini dibagi menjadi 2 fase 3 tahunan. Sekolah Dasar di Malaysia ada 2 jenis,
sekolah nasional, yang diikuti oleh peserta didik Melayu, dan sekolah
tipe-nasional yang diikuti oleh peserta didik Cina dan Tamil. Pengantar utama
adalah bahasaMelayu kecuali di sekolah tipe-nasional pengantar yang digunakan
adalah bahasa Cina dan Tamil dengan pelajaran wajib bahasa Melayu. Fase I
terdiri dari kelas I-III dengan penekanan pada dasar-dsar membaca,menulis, dan
matematika. Fase II (kelas IV-VI) berfokus pada penguatan dan pemanfaatan
keterampilan dasar dan akuisisi pengetahuan. Untuk
mengetahui pencapaian pengajaran yang didapatkan oleh peserta didikmaka
diadakan beberapa ujian, di antaranya :Penilaian Kemajuan Berasaskan Sekolah
(PKBS), dilakukan setiap tahunnya untuk mengetahui hasil pembelajaran dan
menjadi pedoman bagi guruuntuk merencanakan peningkatan pembelajaran
berikutnya. Level One Assessment
(LOA), Penilaian Tahap Satu, diujikan ketika peserta didikhendak menyelesaikan
Fase I (kelas III) dalam kemampuan dan potensi dalamverbal, kuantitatif dan
keterampilan berpikir. Ditujukan untuk mengetahui bakatpeserta didik yang
kemudian menjadi pertimbangan Kementrian Pendidikan untuk merekomendasikan yang bersangkutan guna
melanjutkan ke kelas V. Primary School Assessment Test, Ujian Penilaian Sekolah Rendah (UPSR), diujikan di akhir masa
pendidikan dasar. Subyek (materi) yang diujikanadalah bahasa Melayu, bahasa
Inggris, ilmu pengetahuan, dan matematika.Peserta didik Melayu juga menjalani
penilaian untuk pendidikan agama yangdikenal sebagai Asas Penilaian Fardlu ‘Ain
(PAPA) yang dilakukan selama proses belajar. Nilai yang tidak memenuhi
standar diabaikan, peserta didik tetap dinyatakanlulus. Rasio guru-murid 1:20.4
pada tahun 1990, dan 1:18.9 dalam beberapa tahun terakhir.
Pendidikan Menengah Pertama (Form I-III)
Pendidikan menengah terbagi menjadi 2 siklus :
menengah bawah, berlangsung 3 tahun, disebut Form I-III, dan menengah
atas, berlangsung 2 tahun,disebut Form IV-V. Peserta didik sekolah dasar
nasional langsung melanjutkan ke FormI, adapun peserta didik dari sekolah
tipe-nasional (Cina dan Tamil) mengikuti kelastransisi 1 tahun untuk
mendapatkan bekal bahasa Melayu yang memadai, kecuali bagi peserta didik
yang mendapatkan nilai yang memuaskan pada Tes Penilaian Primer dapat
langsung mengikuti Form I
Di
akhir tahun pendidikan menengah pertama, peserta didik menjalani Ujian Penilaian
Menengah Pertama (Lower Secondary Assessment Examination)
Pendidikan Menengah Atas (Form IV-V)
Pada tingkat menengah atas peserta didik dapat memilih salah satu di antara
dua program yang ditawarkan : akademis dan teknik (kejuruan). Di akhir
tahun pendidikan peserta didik di bidang akademi menjalani ujianMalaysia
Certificate of Education (MCE) (Sertifikat Pendidikan Malaysia),sedangkan peserta
didik di bidang kejuruan menjalani Malaysia Certificate
of Education (Kejuruan).Rasio guru-murid pada tingkat menengah pada tahun
1990 adalah 1:18.9dan 1:18.2 pada tahun 2000.
Pendidikan Pasca-Pendidikan Menengah
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, peserta
didik dapat memilih untuk mengejar 1 sampai 2 tahun pendidikan
pasca-pendidikan menengah untuk mendapatkan Form VI dan pendidikan
matrikulasi untuk persiapan masuk universitas. Pendidikan matrikulasi
dipersiapkan untuk memenuhi persyaratanmasuk khusus dari universitas tertentu.
Adapun Form VI ditujukan untuk memenuhi persyaratan dari semua
universitas.
Persamaan Tujuan
Pendidikan IPS Indonesia dan Malaysia
Jika Indonesia memang
telah menyebutkan secara resmi Pancasila sebagai dasar negara dan sekaligus
dasar pendidikan nasional, maka Malaysia secara resmi tidak menyebutkan Rukun
Negara sebagai dasar pendidikan negara. Jelasnya, Indonesia tidak merumuskan Falsafah
Pendidikan Nasionalnya secara tertulis, kecuali hanya menyebutkan Pancasila
sebagai dasar pendidikan nasional. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang tidak
menyebutkan Rukun Negara sebagai dasar pendidikan negara, tetapi telah
merumuskan secara tertulis Falsafah Pendidikan Negara, yang rumusannya sebagai berikut:
‘Pendidikan
di Malaysia adalah suatu usaha berterusan ke arah memperkembangkan lagi potensi
individu secara menyeluruh dan bersepadu untuk mewujudkan insan yang seimbang
dan harmonis dari segi intelek, rohani, emosi dan jasmani berdasarkan
kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Usaha ini adalah bagi melahirkan rakyat
Malaysia yang berilmu pengetahuan, berketrampilan, berakhlak mulia,
bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri serta memberi
sumbangan terhadap keharmonisan dan kemakmuran masyarakat dan negara’.
Berdasarkan Falsafah Pendidikan Negara tersebut tampak jelas tentang
beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pengertian pendidikan di Malaysia
sebagai usaha berterusan ke arah memperkembankan lagi potensi individu secara
menyeluruah dan bersepadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis
dari segi intelek, rohani, emosi dan jasmani. Kedua, dasar pendidikan nasional
Malaysia adalah ‘kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan’. Ketiga, tujuan
pendidikan nasional Malaysia adalah ‘melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu
pengetahuan, berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan berkeupayaan
mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonisan dan
kemakmuran masyarakat dan negara’
Perbedaan Tujuan Pendidikan
IPS Indonesia dan Malaysia
Dasar
pendidikan Pancasila Kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan Tujuan pendidikan
nasional Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab Melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu pengetahuan,
berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai
kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonisan dan kemakmuran
masyarakat dan negara. Unsur-unsur tujuan pendidikan nasional: beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab, berilmu pengetahuan, berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggungjawab
dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonisan dan kemakmuran masyarakat dan negara.
Sumber: UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Indonesia)
dan Akta Pendidikan 1996 (Malaysia).
Dengan membandingkan dan menyandingkan dasar dan
tujuan pendidikan nasional di Indonesia dan Malaysia tersebut, kita dapat
menyadari bahwa kedua dasar dan tujuan pendidikan untuk masing-masing negara
tersebut
sudah dirumuskan secara demokratis, karena telah dirumuskan bersama antara
pihak pemerintah (eksekutif) dan wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif.
Namun demikian, boleh jadi keduanya juga berkemungkinan memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing.
Kritik Penulis
Dari referensi yang saya dapat ternyata masing-masing
negara mempunyai sistem pendidikan yang sangat berbeda. Di Indonesia tidak
berlaku automatic transision disetiap jenjang pendidikan karena
masing-masing jenjang pendidikan diharuskan mengikuti Ujian Nasional sebelum
melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sebagai contoh siswa SMP harus mengikuti UN
sebelum melanjutkan ke SMA. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem
pendidikan di Malaysia di mana hasil PSAT tidak menentukan karena setiap anak
harus melanjutkan ke form one. Malaysia mempunyai persiapan untuk
memasuki perguruan tinggi yang disebut dengan A Level dan matriculation study
program. Sedangkan di Indonesia peserta didik yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi harus mengikuti SPMB.
Bahkan dari sistem pendidikan yang terbawah (SD) hingga yang perguruan
tinggi (universitas), Malaysia mempunyai nilai “lebih” dari kita. Di Malaysia
negara sepenuhnya mendukung pembangunan pendidikan, baik dari sistem maupun
dari sarana dan prasarana. Di malaysia, ketika sebuah keluarga memiliki seorang
anak maka orang tuanya wajib mendaftarkannya di sekolah rendah (Indonesia=SD)
satu tahun sebelum masa sekolah. Hal ini dimaksudkan agar adanya kepastian
bahwa anaknya mengikut pendidikan wajib. Di Malaysia masa persekolahan sekolah
rendah adalah 7-12 tahun. Jadi saat seorang anak sudah berumur 6 tahun, jika
orang tua belum mendaftarkannya ke sekolah rendah maka akan dikenakan sanksi
undang-undang. Orang tua akan dikenakan denda max RM 5000 atau kurungan penjara
max 6 bulan atau kedua-duanya sekali. Yang tak kalah bernilai “plus” juga
adalah mengenai uang bayaran sekolah rendah di Malaysia. Tidak seperti di
Indonesia yang banyak pungutan-pungutan sekolah, di Malaysia sumbangan PIBG
(Persatuan Ibu Bapa dan Guru) hanya dibayar perkeluarga. Jadi kalau sebuah
keluarga memiliki 1 anak atau lebih sama saja bayaran yang dikeluarkan. Selain
itu pungutan lain tidak ada termasuk sumbangan untuk dana pembangunan. Sebab
dana pembangunan sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah. Namun ada juga perbedaan yang cukup
membuat Indonesia agak lebih “plus” dari malaysia. Yaitu dari segi output yang
dihasilkan. Jika di Indonesia, peserta
didik lebih bebas mengikuti kegiatan ekstra dan kelompok-kelompok studi,
di Malaysia peserta didik seolah hanya difokuskan di dalam kampus saja ditambah
ada peraturan yang melarang peserta didik berkancah di perpolitikan. Sehingga
bisa dibilang peserta didik Malaysia lebih pasif. Jika ada diskusi atau seminar
kurang vokal. Sedang di Indonesia tidak karena peserta didiknya sudah terbiasa
vokal pada kegiatan ekstra.
4.
Jelaskan perbedaan dan
persamaan posisi kurikulum IPS di Indonesia dengan posisi IPS di berbagai
negara Eropa (ambil 5 negara Eropa) atau negara Amerika Serikat!
Jawab:
Ø Kurikulum IPS Indonesia
dengan Perancis
Subjects - in the seconde
Semua peserta
didik di akhir pelajaran pokok di Perancis, dalam seconde kelas
the lycée d'enseignement générale et technologique (LEGT),
mengikuti suatu kurikulum umum; karena yang akhir tahun kedua (post-compulsory)
peserta didik memilih kuliah pokok spesialis yang tergantung pada kecakapan
yang spesifik yang mereka putuskan. Pelajaran di seconde pada umumnya meliputi
pokok / wajib. para peserta didik memilih pelajaran pokok yang disajikan.
Mata pelajaran pokok
- Bahasa Perancis;
- Matematika;
- Ilmu
fisika Dan Ilmu kimia;
- Ilmu pengetahuan
Bumi;
- Bahasa asing modern;
- Sejarah dan geografi;
- Pendidikan jasmani
dan olahraga; an
- Pendidikan
Kewarganegaraan, Hukum, dan Pendidikan social (Social Studies)
Ditambah dengan:
- Dukungan
Individual (Individual support)
- Teknologi Informasi
(Information technology)
- Jam Kelas (Class
hours)
- Workshop Ekspresi
Seni/Artistik (Artistic expression workshops)
- Praktek sosial budaya
Social and cultural practices)
Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat
sekolah menengah dinamakan "education civique, juridique et
sociale" (civic, legal and social education). Ini mengarahkan
untuk mencerminkan arti penting Pemerintahan pada warganegara nya mempunyai
suatu pengetahuan hukum dan sistem yang undang-undang yang sah. Silabus
dirancang untuk memungkinkan para peserta didik untuk berdebat sosial dari
sudut pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di seconde, pelajaran kewarga
negaraan pendidikan mempunyai empat tema utama:
- Kewarga negaraan Dan
Civility/Incivilas
- Kewarga
negaraan Dan Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
- Kewarganegaraan,
hukum dan hubungan di tempat kerja
- Kewarga negaraan dan
kehidupan keluarga
Karena yang
akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam tem diskusi
adalah 'institutions and citizenship in practice' and 'citizenship in a
changing world'.
Pendidikan religius
Di Perancis
pelajaran agama tidaklah diajar sebagai pokok disekolah walaupun mungkin saja
di lain area kurikulum. Satu-Satunya perkecualian adalah di Upper Rhine,
Lower Rhine, and Moselle départements, yang sudah bertahan sejak tahun
1918. Pendidikan Perancis mengumumkan program acara baru untuk pelajaran religius
untuk sekolah. Program acara yang baru tidak memperkenalkan studi religius
sebagai pokok tetapi lebih memperkuat topik pengintegrasian seluruh kurikulum.
diarahkan untuk memperluas pemahaman dan pengetahuan peristiwa dunia peserta
didik dan budaya.
Pengaturan waktu
belajar
the seconde class of
the lycée d'enseignement générale et technologique (LEGT)
Compulsory subject
|
Weekly allocation, hours
|
French
|
4 + (0.5 Mod)
|
Mathematics
|
3 + (1 Mod)
|
Physics, chemistry
|
2 + (1.5)
|
Earth and life sciences
|
0.5 + (1.5)
|
First modern foreign
language |
2 + (1 Mod)
|
History, geography
|
3 + (0.5 Mod)
|
Physical education and sport
|
2
|
Civic, legal and social
education |
(0.5)
|
Plus:
|
|
Individual support
|
2 hours per week
|
Information technology
|
18 hours per year
|
Class hours
|
10 hours per year
|
Artistic expression workshops
|
72 hours per year
|
Social and cultural practices
|
72 hours per year
|
Sebagai reaksi
para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat,
pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga
dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social
studies. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah
dasar dan menengah, para siswa: menjadi warga negara yang baik, dalam
arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; dapat hidup
bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus
menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi
sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran social studies di
sekolah dasar dan menengah.Pertimbangan lain dimasukkannya social studies
ke dalam kurikulum sekolah adalah karena kebutuhan siswa sekolah, di mana
kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan program pendidikan lanjut dan
pengorganisasian materi social studies.
Agar materi
pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh
siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata
di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman
pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya.
Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para
siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial
Ø Pendidikan IPS Indonesia dengan Jerman
Sebenarnya
banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia. Dari sisi
sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman, jenjang pendidikan Pra
Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan dasar (Grundschule)
dan pendidikan lanjutan (Gymnasium, Realschule, atau Berufschule).
Kalau di Indonesia, pendidikan Pra Perguruan Tinggi ada 3 macam, yaitu
SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga berbeda, di Indonesia memerlukan waktu 12
tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan Tinggi, sedangkan di Jerman butuh
waktu 13 tahun.
Yang ingin
saya bahas bukan masalah “teknis” pendidikan seperti di atas. Saya tertarik
dengan tulisan I Made Wiryana dalam
sebuah milis tentang pendidikan di Jerman. Dia menuliskan bahwa konsep
pendidikan di Jerman adalah cenderung pemerataan hak mendapatkan pendidikan.
Ini berlaku untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di Jerman. Artinya
secara konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada pencapaian
puncak-puncak hasil pendidikan.
Dia memberikan
contoh bahwa ketika hasil PISA rendah, seluruh
Jerman panik. Akan tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah “the
best xxxx dalam lomba sains”, orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini
terbalik dengan Indonesia yang sangat bangga terhadap prestasi anak bangsa yang
mengharumkan nama Indonesia di dunia.
Contoh lain
adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin maju di Jerman,
anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil). Beliau menjelaskan
bahwa prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami.
Dan lagi-lagi, ini berbeda dengan Indonesia. Orang Indonesia cenderung memiliki
kebiasaan “pintar kumpul dengan pintar” dan “kaya kumpul dengan kaya”.
Melihat kondisi di atas, Saya yakin kualitas pendidikan Indonesia bisa
meningkat drastis. Syarat utama hanya 2 macam, pemeratan pendidikan dan penghargaan terhadap prestasi pendidikan.
Itu saja. Bila kedua syarat terpenuhi, saya yakin semakin banyak anak-anak
Indonesia yang berprestasi pada ajang internasional dan semua anak-anak
Indonesia bisa masuk ke bangku sekolah.
Ø Pendidikan
IPS Indonesia dengan Amerika Serikat
Pada awalnya
penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru
setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal
dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu
Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya
kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi
satu bangsa.
Selain itu
juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar
kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang
multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu
cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam
kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan
penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National
Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social
studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah
menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir
merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Jadi Social
studies
yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya
tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of
1896-1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting
the social sciences for pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial
untuk kepentingan pedagogik/ mendidik). Memperhatikan pentingnya social
studies bagi generasi muda, istilah IPS (social studies) ini
kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika
untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement
of the Chairman of Commitee on Social studies” yang dikeluarkan oleh comittee
on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa
social studies sebagai specific field to utilization of social
sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus
dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki
kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya
melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa
kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di
tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa
diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk
organisasi profesi social studies. Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National
Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang
secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin
ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu
berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan memaksimalkan
hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS
sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya
berbasis intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan
penelitian tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian
terhadap pendidikan anak tentang social studies, dengan harapan dapat
membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada pertemuan
pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan
menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum
IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada
perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social
studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang
dikemukakan oleh Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the
social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”.
Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena kemudian dijadikan definisi
“resmi” social studies oleh “the united states of education’s
standard terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS
mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian
yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas.
Sehingga pada
tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the
integrated study of the social sciences and humanities to promote civic
competence. Within the school program,social studies provides
coordinated,systematic study drawing upon such diciplines as antrophology,
archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science,
psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the
humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned
decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic
society in an interdependent world.
Ø Perbedaan
Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum Canada
Dasar perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan
sejarah Canada merupakan bagian dari satu rangkaian perubahan kurikulumdalam
studi sosial yang dikerjakan oleh saskatchewan pendidikan. Proses pengembangan kurikulum dimulai dengan
penetapaan gugus tugas studi sosial (IPS) tahun 1981. Gugus tugas terdiri
dari orang-orang refresentatif dari berbagai sektor masyarakat
skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas dasar penemuan nya
dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk pendidikan IPS. Di dalam kurikulum Canada
dikembangkan core curriculum yang merupakan kemampuan dasar yang menjadi
landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary level.
Terdapat dua komponen penting dalam core
curicullum yaitu Required Areas of Study dan Common Essential
Learning. Pengembangan core curicullum menjadi Required Areas of Study
menjadi tujuh yaitu : language Art,
Mathematics, Science, Social studies, Health education, art education dan
physical education. Pengembangan Common essential learning (CELS) atau
kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran,
yang meliputi enam kemampuan, yaitu komunikasi (communication),
kemampuan dalam matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif
(critical and creative thinking), melek teknologi (technology
literacy), nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and
social values and skills), belajar mandiri (independent learning).
a Komunikasi (communication),
difokuskan pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di
dalam setiap bidang studi.
b Kemampuan dalam
matematika (numeracy), melibatkan dan membantu siswa mengembangkan tingkatan
kompetensi yang akan mendorong mereka untuk menggunakan konsep matematika di
dalam kehidupan sehari-hari.
c Berpikir kritis
dan kreatif (critical and creative thinking), dimaksudkan untuk membantu para
siswa mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi
gagasan, proses, pengalaman, dan object berhubungan dengan area masing-masing
bidang studi.
d Melek teknologi
(technology literacy), membantu siswa mengapresiasi bahwa system teknologi
merupakan integral dalam system social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di
dalamnya yang mereka bentuk.
e Nilai dan
keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills
berhadapan dengan pribadi, moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap
sekolah dan mempunyai sasaran utama mengembangkan warga negara yang penuh cinta
kasih dan bertanggung jawab, yang memahami dasar pemikiran (rasional) untuk
pengakuan moral.
f
Belajar mandiri
(independent learning), melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan
peluang/kesempatan dan pengalaman yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable), percaya diri, motivasi diri,
dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat belajar sebagai kegiatan pemberdayaan
potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam kurikulum Kanada, Social Studies merupakan
salah satu dari tujuh mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah mulai dari
TK sampai SMA (Required Areas of Study). Dimana dalam social studies ini
pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk berkomunikasi, matematika,
berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi, nilai dan
keterampilan personal dan sosial, dan belajar mandiri sebagai Common
essential learning (CELS).
Ø Perbedaan
Pendidikan IPS Indonesia dengan New Jersey (Standar Isi Core Curriculum New
Jersey)
Tujuan IPS
Menyediakan para siswa dengan pengetahuan, ketrampilan
dan sikap yang diperlukan untuk menjadi aktif, menguasai informasi,
warganegara bertanggung jawab dan berkontribusi terhadap masyarakatnya.
Kompetensi yang harus dimiliki siswa dari IPS
a Memperoleh suatu
pemahaman dan apresiasi dasar tentang Tradisi dan nilai Amerika berdasarkan pada
pengetahuan sejarah dan pengembangan dan berfungsinya sistem pemerintah
konstitusional Amerika
b
Mengembangkan
keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan mereka melaksanakan fungsi
pembelajaran sepanjang hayat dan menguji serta mengevaluasi isu penting untuk
seluruh Amerika.
c Memperoleh literacy dasar di dalam disiplin
inti social studies dan memiliki pemahaman yang dasar yang
diperlukan untuk menerapkan pengetahuan ini untuk hidup mereka sebagai warga
negara.
d Memahami sejarah
dunia sebagai konteks untuk sejarah amerika serikat dan sebagai record/ catatan
kultur dan peradaban yang besar masa lalu dan sekarang
e Berpartisipasi
dalam aktivitas yang meningkatkan kebaikan umum dan meningkatkan kesejahteraan
umum
Keterampilan IPS
Semua siswa akan menggunakan pemikiran historis, pemecahan masalah, suatu
ketrampilan riset untuk memaksimalkan pemahaman terhadap pelajaran
kewarganegaraan, sejarah, geografi, dan ekonomi. Pada Akhir Kelas 2, Para Siswa Akan:
a
menjelaskan
konsep [panjang/lama]yang lalu dan jauh sekali
b [menerapkan/berlaku]
terminologi berhubungan dengan waktu termasuk masa lampau, [kini/hadir], dan
masa depan
c
mengidentifikasi
sumber informasi terpasang lokal, nasional dan internasional peristiwa
d
menceritakan
[kepada] kembali peristiwa atau cerita dengan ketelitian dan peruntunan
e
mengembangkan
timelines sederhana
Pada Akhir Kelas 4, Para Siswa Akan
a
menjelaskan
bagaimana peristiwa [kini/hadir] dihubungkan terhadap masa lampau
b menerapkan
terminologi berhubungan dengan waktu meliputi tahun, dekade, berabad-abad, dan
generasi.
c menempatkan
sumber untuk informasi yang sama i (ramalan cuaca di tv,internet
atau surat kabar)
d
mengorganisir
peristiwa di (dalam) suatu garis waktu
e
membedakan
antara suatu sumber langsung dan sumber sekunder dari suatu peristiwa
f
membedakan fakta
dari fiksi
Pada Akhir Kelas 6, Para Siswa Akan
g
meneliti
bagaimana peristiwa terkait dari waktu ke waktu
h menggunakan
keterampilan berpikir kritis berpikir ketrampilan untuk menginterpretasikan
peristiwa, mengenali penyimpangan, pandangan, dan konteks
i menilai
kredibilitas sumber utama (primar) dengan sumber sekunder
j menganalisis
data dalam rangka melihat orang dan peristiwa di dalam konteks
k menguji isu,
peristiwa, atau tema sekarang dan menghubungkannya dengan peristiwa yang
lampau
Pada Akhir Kelas 8, Para Siswa Akan
a
merumuskan
pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan informasi
b
menggunakan
strategi efektif untuk menempatkan informasi
c membandingkan
dan mengkontraskan penafsiran ttg peristiwa sekarang dan peristiwa historis
d
Pada Akhir Kelas
10, Para Siswa Akan
e menginterpretasikan
peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan,
kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
f menciri fakta
dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa dengan
karakter fictionalized dan
peristiwa
g
meringkas
informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
Pada Akhir Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a
meneliti
bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b
merumuskan
pertanyaan dan hipotesis
c menyatukan,
menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk
mendukung atau menolak hipotesis
d menguji data
sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi, atau
konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi
bias.it apakah
e mengevaluasi isu sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka
melalui periode historis
f menerapkan
keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional, negara,
atau lokal
g menganalisis
perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak
masing-masing pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h mengevaluasi
komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi
fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan
mendiskusikan strategi yang digunakan oleh pemerintah, politis calon, dan media
untuk komunikasi dengan masyarakat.
Dari grade 2 sampai 12 keterampilan atau
kompetensi social studies menunjukkan kontinuitas atau kesinambungan
antar level dalam esensial komptenesi yang diharapkan. Disamping itu
menunjukkan semakin tinggi level, semakin tinggi dan mendalam pula keterampilan
yang diharapkan siswa pada pelajaran social studies. Social Studies
diajarkan di Amerika Serikat pada semua jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah
menengah meliputi Civics, Ekonomi, Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada
semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut keterlibatan peserta
didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari kognitif, afektif, serta
psi-komotorik terbentuk pada diri siswa (Moh. Amin, 1987:42), maka alat ukur
hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif atau subyektif
saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan
aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum
dapat diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas
dari guru. Baik berupa tugas untuk melakukan perco-baan, peragaan maupun
pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari tujuan pendidikan dasar maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Tujuan pembelajaran yang dirumuskan pada langkah awal pembelajaran digunakan
sebagai acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan proses penilaian yang akan dilakukan.
Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk., 1991:94) tujuan tidak hanya
merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai kurikulum dan memimpin
kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi secara
terperinci bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara
je-las dan spesifik akan menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat
membantu di dalam menetapkan kualitas dan efektivitas pengalaman belajar siswa.
5. Apa yang dimaksudkan
dengan konten kurikulum IPS? Diskusikan persamaan dan perbedaan antara
pengertian konten kurikulum IPS di Indonesia dan di negara yang anda yang anda
sebutkan pada soal nomor 5!
Jawab:
Konten kurikulum berkenaan dengan berbagai
prosedur, cara kerja, metode kerja tertentu yang harus dilakukan peserta didik.
Sumber: Tarunasena Ma’mur
Disampaikan pada Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Kuota 2009
Rayon 10 JAWABARAT, Pusdiklat Pos 13-10-2009
Pemikiran
mengenai konten
pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social
studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang
memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang
itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu
seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis antara lain diplubikasikan
oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal
28-30 November 1935 sampai sekarang. Untuk menelusuri perkembangan pemikiran
atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa
sangat sukar karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada
lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS.
Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana
Pendidiksn IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan poduktifitas
akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan
dan konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua, perkembangan
kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS
sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok
pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum
IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud
(PUSKUR). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap
pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui
anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi
sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum
Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Ameriika.
ORGANISASI
KONTEN KURIKULUM IPS
Sumber:
Tarunasena Ma’mur (2009)
Proses
pengembangan kurikulum haruslah meliputi tiga dimensi kurikulum yaitu kurikulum
sebagai ide, kurikulum sebagai dokumen, dan kurikulum sebagai proses. Ketiga
dimensi kurikulum ini berkaitan satu dengan
lainnya dan kurikulum sebagai proses dilaksanakan dengan
berbagaikebijakan kurikulum. Kebijakan-kebijakan tersebut
merupakanoperasionalisasi kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai
dokumen.Dalam diagram keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengembangan ide
berkenaan dengan penentuan filosofi kurikulum, model kurikulum yang igunakan,
pendekatan dan teori belajar yang digunakan, pendekatan/model evaluasi hasil
belajar. Pengembangan dokumen berkenaan dengan pengembangan kurikulum sebagai
dokumen tertulis yang didasarkan pada ide yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Secara teknis pengembangan kurikulum sebagai dokumen berkenaan dengan keputusan
tentang informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan, bentuk/format GBPP,
dan komponen kurikulum yang harus dikembangkan. Apakah kurikulum sebagai ide
dan kurikulum sebagai dokumen akan
dijadikan satu
atau dua dokumen yang terpisah harus pula ditentukan. Apapun keputusan tentang
itu antara pengembangan kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai dokumen
diperlukan osialisasi agar terjadi
kesinambungan buah pemikiran para pengambil keputusan kurikulum dengan para
pengembang teknis. Kedua dimensi kurikulum ini dapat dikembangkan pada tingkat
nasional baik dalam konteks otonomi dengan desentralisasi kewenangan
pengembangan kurikulum maupun dalam konteks sentralisasi. Perbedaan antara
keduanya adalah pada jenis informasi yang akan diberikan dimana untuk konteks
otonomi kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci
diberikan kepada daerah. Oleh karena itu, pengembangan ide dan dokumen kurikulum
lebih banyak berisikan prinsip dan guidelines. Sedangkan dalam konteks
sentralisasi pengembangan kurikulum sebagai ide dan dokumen harus tetap
memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah untuk memasukkan karakteristik
budayanya.
Altematif lain
adalah kurikulum sebagai ide dikembangkan pada tingkat nasional sedangkan
kurikulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan di daerah. Seperti dalam
alternatif di atas, proses sosialisasi ide yang telah ditetapkan perlu
dilakukan. Dengan demikian keputusan tentang jenis informasi, bentuk format
GBPP, dan komponen kurikulum (tujuan, konten, proses belajar, dan evaluasi)
ditentukan pada tingkat daerah pula. Tentu saja dengan pendekatan ultikultural tingkat rincian tersebut tetap
harus memperhitungkan keragaman kebudayaan di wilayah tersebut yang menjadi
lingkungan eksternal sekolah-sekolah yang ada.
Alternatif kedua
ini dapat dilakukan jika daerah telah memiliki tenaga pengembang yang cukup.
Jika belum maka sebaiknya alternatif pertama yang dipilih sedangkan jika daerah
telah memiliki tenaga yang cukup dan sudah berpengalaman maka peran pusat dapat
saja semakin longgar dan pengembangan ide dan dokumen sepenuhnya dapat
diserahkan ke daerah. Pemerintah pusat hanya perlu mengembangkan principle
guidelines saja.
Pengembangan
kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan atau sekolah.
Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang
(guru) dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk rencana pelajaran/satuan
pelajaran, proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip
multikultural kurikulum. Sosialisasi yang dilakukan haruslah dilakukan
orang-orang yang terlibat paling tidak dalam proses pengembangan kurikulum
sebagai dokumen apabila orang yang terlibat dalam pengembangan ide tidak mungkin
secara teknis. Jika terjadi perluasan tim sosialisasi maka anggota tim yang
baru haruslah yang sepenuhnya faham dengan karakteristik kurikulum
multikultural. Pada fase ini, target utama adalah para guru faham dan
berkeinginan untuk mengembangkan kurikulum multikultural dalam
kegiatan belajar
yang menjadi tanggungjawabnya.)Pada dasarnya, disiplin-disiplin ilmu (sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi dan sebagainya) adalah sumber utama
materi pendidikan untuk ilmu-ilmu
sosial. Materi pendidikan adalah apa yang dipelajari siswa untuk
mencapai tujuan pendidikan, yaitu tujuan kurikulum ilmu-ilmu sosial, termasuk
dalam pengertian materi ini adalah substansi dan proses yang berasal dari
disiplin-disiplin ilmu-ilmu sosial. Pendidikan ilmu-ilmu social tidak hanya
berhubungan dengan pengajaran materi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga berkaitan
dengan dengan materi pendidikan yang diajarkan dalam rangka mengembangankan
manusia seutuhnya, yaitu sesuai dengan tujuan yang akan dikembangkan dari luar
disiplin ilmu dan umumnya materi tersebut digunakan untuk mengembangkan nilai,
sikap, dan moral siswa. Realita kehidupan di masyarakat atau pada suatu bangsa,
di sebuah negara hendaklah dijadikan materi dasar dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial
yang terus dikembangkan untuk berbagai aspek. Pada umumnya pengertian substansi
ilmu-ilmu sosial terdiri atas pandangan, tema, topik, fenomana, fakta,
peristiwa, prosedur, konsep, generalisasi dan teori, yang secara tradisional
dinamakan kurikulum. Yang dimaksud kurikulum adalah yang berhubungan dengan
pokok-pokok bahasan yang berisikan pandangan, tema, fenomana, fakta, konsep dam
sebagainya.
Menurut
pandangan baru yang dimaksud dengan pengertian materi kurikulum, adalah proses,
prosedur, dan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh siswa dalam mempelajari
substansi tersebut, dalam arti apa yang dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya.
Secara reknis pembahsan mengenai aspek apa dan bagaimana tersebut dipisahkan
agar pendalaman terhadapa apa yang dijadikan materi bahasan ini dapat dilakukan.
Materi kurikulum yang dikembangkan dari disiplin ilmu harus dipilih berdasarkan
keterakitannya dengan tujuan yang akan dicapai, semakin kuat keterkaitannya,
maka semakin besar kemunkinan materi tersebut akan dipilih sebagai materi
kurikulum. Untuk pendidikan ilmu-ilmu sosial, setiap disiplin ilmu akan memberikan
kontribusi, kontribusi itu tergantung dari pendekatan pengembangan materi kurikulum
yang dipakai. Setiap pendekatan pengembangan disiplin baik mandiri atau terpisah
memerlukan proses pengembangan materi yang berbeda dibandingkan dengan pendekatan
korelatif atau intregratif.
Memperhatikan
disiplin-disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan IPS di Indonesia maka kita
dapat menyimpulkan bahwa tradisi pengembangan pendidikan IPS di Indonesia
biasanya terdiri dari disiplin ilmu ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi,
politik, hukum dan pendidikan kewarganegaraan. Apabila kita bandingkan dengan
tradisi social studies di Amerika Serikat maka disiplin ilmu sosial yang
dikembangkan dalam social studies
lebih beragam bila dibandingkan dengan tradisi pendidikan IPS di Indonesia.
Disiplin ilmu sosial yang dikembangkan dalam social studies di Amerika
Serikat meliputi antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum,
filsafat, ilmu politik, psikologi, religi dan sosiologi. Selain itu bidang ilmu
lain yang dianggap memiliki relevansi dan dapat mendukung pengembangan social studies seperti ilmu
kemasyarakatan, matematika dan ilmu-ilmu kealaman menjadi bagian dari kajian social
studies.
6. Diskusikan persamaan dan
perbedaan antara desain kurikulum IPS berdasarkan Permen Diknas 22 dengan
desain kurikulum IPS di berbagai negara lain (boleh gunakan negara yang sama
dengan negara yang dipilih untuk soal nomor 4.
Jawab:
Berdasarkan Permendiknas nomor 22
tahun 2006, IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari
SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,
konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Mata pelajaran IPS
disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran
menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan
pendekatan tersbeut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang
lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan. Sementara itu, ruang
lingkup dari mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek : manusia, tempat, dan
lingkungan; waktu, keberlanjutan, dan perubahan; sistem sosial dan budaya; dan
perilaku ekonomi dan kesejahteraan.
KAJIAN
IPS sebagai bahan Pendidikan IPS dan mengacu pada Permen Diknas No. 22,23 dan
24/2006. Mata
pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
a Mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
b Memiliki
kemampuan dasar untuk berpikir logisdan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
memecahkanmasalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
c Memiliki
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
d Memiliki
kemampuan berkomunikasi,bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang
majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Berdasarkan
pada apa yang menjadi focus pengajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga pola
desain kurikulum, (Sukmadinata,2004:113-124; Tilaar, 2003: 240-243) yaitu:
a
Subject centered design, suatu desain kurikulum yang
berpusat pada bahan ajar.
b
Learner centered design, suatu desain kurikulum yang
mengutamakan peranan peserta didik.
c
Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada
masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat.
Pendidikan IPS
adalah pendidikan yang penuh tantangan tetapi tetap kerdil karena landasan
filosofis esensialisme dan perenialisme yang digunakan. Berdasarkan filosofi
ini maka peserta didik IPS hanya belajar pengetahuan yang sudah jadi
sebagaimana terdapat di dalam buku teks, terpisah dari sumber informasi primer
yaitu masyarakat, dan tidak berorientasi kepada lingkungan masyarakat terdekat.
Model ECA yang kental dengan prinsip dan dikembangkan Hanna tidak pernah
mendapatkan perhatian dan kajian lebih lanjut karena orientasi pendidikan yang
lebih mementingkan disiplin ilmu sebagai alat pengembangan intellectual skills.
Desain kurikulum “transfer of information” yang digunakan pendidikan IPS memang
sesuai dengan kedua filosofi tersebut tetapi sangat tidak sesuai dengan
filosofi yang menghendaki peserta didik mengembangkan berbagai social skills, communicative skills, dan
citizenship education
Sejak
dikembangkan sistem pendidikan sekolah formal di Amerika, setidak-tidaknya ada
empat paradigma pendidikan yang saling bersaing dan mengkritik, tetapi juga
saling silang-kait antara yang satu dengan yang lainnya (Lapp:1975). Salah satu
paradigma yang dikenal adalah paradigma klasik yaitu perennialisme dan
esensialisme yang berasumsi bahwa pendidikan sebagai aktivitas
enkulturasi, pelestarian dan pewarisan gagasan dan nilai-nilai lama dari
generasi ke generasi, dikritik karena memposisikan anak sebagai penerima pasif
tanpa memiliki hak dan kebebasan memilih dan tidak lebih dari sekedar tunnel
education yang hanya menyampaikan pengetahuan yang sudah fixed dan taken
for granted sebagai kebenaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide atau
pemikiran kurikulum IPS yang harus dikembangkan dalam era global adalah
rekonstruksionisme sehingga tentunya proses pembelajaran IPS yang
dikendaki pun harus mengejawantahkan ide-ide rekonstruksionisme. Di
Indonesia sendiri dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan IPS lebih cenderung ke arah rekonstruksionisme. Secara tegas
dinyatakan dalam kurikulum Pendidikan IPS dalam rambu-rambu pembelajaran, bahwa
pembelajaran Pendidikan IPS hendaknya merupakan pendekatan pembelajaran
konstekstual, yang dapat dilaksanakan diantaranya melalui metode inquiry,
problem solving, dan portfolio yang sebenarnya didengungkan pula
oleh para global reformis dalam pendidikan IPS. Di Ohama dan
New York sudah pendidikan lebih diarahkan kepada kemampuan peserta didik
tersebut sehingga peserta didik dapat lebih berfikir kritis dan kreatif dalam
menjalankan pembelajaran mereka.
Materi yang di
dapat mayoritas sama antara negara yang satu dengan negara lainnya hanya di
Indonesia, pemberian materi hanya sekedar transfer ilmu saja sementara di Ohama
dan NewYork materi yang diajarkan lebih kepada arahan berfikir global bertindak
lokal sehingga pembahasan perekonomian di kedua negara tersebut dimulai dari
perekonomian negara sampai ke perekonomian dunia. Di ketiga
kurikulum di atas, dampak kurikulum IPS untuk generasi muda adalah peserta
didik diharapkan dapat mengetahui kebutuhan hidup mereka. Kita harus sadar
dengan kesulitan-kesulitan dan peluang yang datang yang dapat kita manfaatkan
dengan maksimal. Hanya saja di Indonesia, dilihat dari kompetensi yang
dikembangkan, masih sebatas pada wacana teori saja tidak pada prakteknya.
Peserta didik tidak belajar untuk langsung mengaplikasikan pada kehidupan
sehari-hari, sehingga pada waktu ilmu tersebuta akan dipakai, peserta didik
merasa bingung karena teori yang di dapatkan tidak dapat diterapkan di
lapangan. Sementara itu, faktor lingkungan pun lebih lengkap’
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke
dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan
Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi
kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI,
yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan
tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada
masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah
tersebut antara lain:
a
Kuantitas, berkenaan
dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
b
Kualitas, menyangkut
peningkatan mutu lulusan
c
Relevansi, berkaitan
dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
d
Efektifitas sistem
pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
e Pembinaan generasi
muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan
nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gafur. 1985. Media besar media kecil: alat dan
teknologi pengajaran. Semarang: IKIP Press.
Abdul Gafur. 2008. Pengelolaan pusat sumber
belajar/laboratorium PKN dan IPS. Makalah lokakarya PGSD FIP UNY.Yogyakarta.
Asmi. 2002. Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) Terpadu untuk Sekolah Menengah Umum (SMU). Ilmu
Pengetahuan Sosial, Jurnal IPS dan Pengajarannya, Tahun 36, Nomor 2, Oktober:
240-251.
http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-kurikulum-ips
Joyce, B. Weil, M. Calhoun, E. 1972. Models of Teaching. Boston: Allyn and
Bacon
Kurikulum 2006 Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Kurikulum 2006 Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.
S. Hamid Hasan. 1996. Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Depdiknas
Sumaatmadja, Nursid. 1980. Pengantar studi sosial ( Cetakan ke empat). Bandung.
Supriatna, Nana. 2007. Pendidikan IPS di SD. Bandung: UPI press
Tarunasena Ma’mur Disampaikan pada Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru Kuota 2009 Rayon 10 JAWABARAT, Pusdiklat Pos 13-10-2009
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Beserta Penjelasannya. Bandung:
Citra Umbara.
UU Nomor 20 tahun 2003
Wahidmurni. 2006. Asesmen
Kebutuhan untuk Pengembangan Kurikulum Program Studi Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial. Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang. Malang: Penelitian Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi
Agama/Universitas Islam Negeri Malang.
No comments:
Post a Comment