Thursday 14 November 2019

MASALAH KEMAJEMUKAN YANG RELEVAN DENGAN ETNISITAS, RAS, NASIONALITAS DI INDONESIA BESERTA ALTERNATIF SOLUSINYA PADA MATA KULIAH ETNISITAS,NASIONALISME, DAN INTEGRASI NASIONAL


MASALAH KEMAJEMUKAN
YANG RELEVAN DENGAN ETNISITAS, RAS, NASIONALITAS
DI INDONESIA BESERTA ALTERNATIF SOLUSINYA
PADA MATA KULIAH ETNISITAS,NASIONALISME, DAN INTEGRASI NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
Pengantar
Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), menggambarkan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia, kenyataan bahwa masyarakat Indonesia memiliki  keanekaragaman ras dan etnik sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia diantaranya adalah:
a.       Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b.      Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal tersebut mempengaruhi terciptanya pluralitas atau kemajemukan agama.
c.       Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Faktor keanekaragaman lainnya yang dimiliki  Indonesia adalah keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia meliliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Suku bangsa merupakan bagian dari suatu negara. Dalam setiap suku bangsa terdapat kebudayaan yang berbeda-beda. Selain itu masing-masing suku bangsa juga memiliki norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar ta’at dan melakukan segala yang tertera didalamnya. Setiap suku bangsa di indonesia memiliki norma-norma sosial yang berbeda-beda dalam hal cara pandang terhadap suatu masalah atau tingkah laku memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan antar individu atau masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda, mereka akan mengelompok menurut asal-usul daerah dan suku bangsanya (primodialisme). Itu menyebabkan pertentangan\ketidakseimbangan dalam suatu negara(disintegrasi). Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi (achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi permukiman. Sedangkan perbedaan horisontal diterima sebagai warisan. Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik.
Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi, serta perluasan batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik. Untuk menghindari diperlukan adanya konsolidasi antar masyarakat yang mengalami perbedaan. Tetapi tidak semua bisa teratasi hanya dengan hal tersebut. Untuk menuju integritas nasional yaitu keseimbangan antar suku bangsa diperlukan toleransi antar masyarakat yang berbeda asal-usul kedaerahan. Selain itu faktor sejarah lah yang mempersatukan ratusan suku bangsa ini. Mereka merasa mempunyai persamaan nasib dan kenyataan yang sama di masa lalu. Kita mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ikal yaitu walaupun memiliki banyak perbedaan, tetapi memiliki tujuan hidup yang sama. Selain itu, pancasila sebagai idiologi yang menjadi poros dan tujuan bersama untuk menuju integrasi, kedaulatan dan kemakmuran bersama.
Atas uraian-uraian tersebut dalam pembuatan makalah ini kami fokuskan pada “Permasalahan Kemajemukan yang relevan dengan Etnikitas, Ras atau Nasionalitas di Indonesia”.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembahasan disekitar Etnikitas
1.      Definisi Istilah
       Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang memiliki kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnik pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Antropolog Fredrik Barth (1988), menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru (dalam, http://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_etnik).
Etnisitas terbangun dalam relasi kekuasaan antarkelompok. Ia merupakan sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah. Di sini, pusat dan pinggiran dibentuk dalam representasi politik. Seperti argumen Barthh (1969), "Adalah penting untuk menjadikan sebuah aksioma bahwa apa yang direpresentasikan sebagai 'pinggiran' tidaklah sepenuhnya pinggiran tetapi merupakan efek dari representasi itu sendiri. 'Pusat' tidaklah lebih pusat daripada pinggiran."Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
3.  Masalah – Masalah  Etnisitas di Indonesia
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Kemajemukan ini diperlihatkan oleh adanya berbagai golongan etnik yang ada didalamnya di bawah suatu negara kebangsaan (Baarth, 1988: 17). Menurut Hildred Geertz tidak kurang dari 300 golongan etnik yang mendiami berbagai tempat dan menyebar di berbagai pulau di Indonesia (Nasikun, 1984:39). Kebhinekaan/kemajemukan yang tidak terakomodasi dengan baik akan menimbulkan jarak sosial, yang pada gilirannya menjadi konflik sosial. Pada dasarnya konflik merupakan interaksi yang menimbulkan pertentangan yang berupa bentrokan, perkelahian atau peperangan (Suseno, 1991).
Sedangkan Gungwu (1981: 261-264), menilai bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai masalah yang kompleks. Salah satu masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnik non pribumi, terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnik pribumi. Bertolak dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnik terutama golongan etnik keturunan Cina amatlah besar.
Beberapa temuan hasil penelitian menyebutkan, konflik antar golongan etnik terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Temuan studi menunjukkan penyebab pemicu timbulnya konflik antar etnik memang sangat kompleks. Dahrendorf dan Johnson (1990), mengklasifikasikan kondisi yang dapat mempengaruhi konflik mencakup: (1) kondisi teknik, (2) kondisi politik dan (3) kondisi sosial. Beberapa penyebab timbulnya jarak sosial dan konflik sosial yang terpokok ialah faktor ekonomi politik, dan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut bisa diperparah dengan terabaikannya tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan yang menuntut kebersamaan. Manakala hal-hal tersebut terjadi maka dengan mudah akan menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik.
Setelah zaman kolonial, keberadaan etnik di seluruh dunia, termasuk di Indonesia memang tidak lagi berurusan dengan penjajah, tetapi justru masalah muncul kerena tekanan politik penguasa, ekonomi dan pengaruh modernisasi/globalisasi yang merangsek dengan teknologi canggih. Mengutip pendapat Glazer dan Moynihan (1963), Clifford Geertz (1973), Schefold menyatakan bahwa masalah etnik secara psikologis menjadi sangat kuat mempengaruhi seseorang karena munculnya kesadaran akan persamaan asal-usul, tempat kelahiran, bahasa, dan pandangan hidup. Munculnya kesadaran etnik ini di mata para penguasa secara politis bisa dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk menekan sikap primodial dan dijadikan wahana pemersatu dalam proses modernisasi, serta meningkatkan kualitas hubungan sosial. Di Negara-negara Dunia ke-Tiga, termasuk Indonesia, kesadaran menumbuhkan sikap solidaritas antar etnik yang berbeda ini terus dipelihara demi memperkukuh persatuan nasional. Seperti pendapat Geertz, keunggulan domestik dari etnik harus mampu memberi kontribusi terhadap negara, bukan sebaliknya malah menimbulkan sikap primordial berlebihan.
            Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman suku yang memiliki tata peraturan yang berbeda. Keberagaman suku dan etnik ini membuat Indonesia menjadi negara yang unik dan berwarna warni,tetapi harus diperhatikan juga bahwa keanekaragaman etnik ini dapat menjadi penyebab utama terjadinya konflik. Sumber sumber terjadinya konflik antar etnik adalah:
a)      Ketimpangan Ekonomi (seperti konflik antar Ambon dan Maluku)
b)      Perbedaan agama (karena kecenderungan adanya sebagian golongan dari agama yang bersifat agresif dalam menyiarkan agamanya)
c)      Adanya stigmatis antarakelompok pendatang dengan masyarakat asli
d)     Kebijakan-kebijakan pemerintah (kebijakan yang kadang hanya menguntungkan satu kelompok saja, sehingga kelompok lain merasa cemburu)
Berikut adalah beberapa permasalahan etnik yang terjadi di Indonesia:
a.      Permasalahan Etnik Cina.
Semenjak berabad-abad lalu, etnik Cina berada di Indonesia dengan jumlah cukup besar. Tetapi, karena persoalan menyangkut etnik masih dianggap peka, sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnik di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Kebijakan ini ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Cina (termasuk penutupan sekolah Cina, pembubaran organisasi etnik Cina dan pemberedelan mass media Cina) serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnik Cina. Etnik Cina dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak biasa diterima sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri. Menurut Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang etnik Cina. Mereka memiliki persepsi bahwa etnik Cina merupakan sebuah kelompok etnik yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesuku-bangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing, walaupun orang tersebut berstatus WNI.
Sedangkan temuan Sanjatmiko (1999) dalam kasus etnik keturunan Cina dan pribumi di Tangerang, menyimpulkan bahwa faktor renggangnya jarak sosial dan hubungan antar kedua etnik adalah disebabkan oleh : (1) Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnik keturunan Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga masih kuatnya in group feeling penduduk etnik keturunan Cina terhadap kulturnya; (2) Anggapan kultur etnik keturunan Cina lebih tinggi dari komuniti pribumi: (3) Prasangka stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi yang pemalas, bodoh, tidak bisa menggunakan kesempatan baik dsb. Sebaliknya steorotipe penduduk etnik pribumi terhadap etnik keturunan Cina disebut sebagai golongan yang maunya untung sendiri tanpa melihat halal atau haram; (4) Diskriminasi pribumi terhadap etnik keturunan Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5) Nilai-nilai dan kekuatan konflik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnik. Berbagai aspek di atas diduga sebagai faktor penyebab terjadinya jarak sosial antara etnik pribumi dan keturunan Cina.
b.      Konflik Etnik di Kalimantan Barat
       Menilik kasus-kasus konflik etnik di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga berbuah kekerasan komunal etnik yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik etnik di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnik yang serupa dan berulang. Meskipun dengan variasi keterlibatan etnik yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnik Cina, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnik Cina dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnik tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnik Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnik yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnikan
c.       Konflik Etnik di Kalimantan Tengah (Tragedi Sampit)
       Bahwa proses marginalisasi dan pemelaratan yang terjadi di Kalimantan Tengah, baik dari sisi ketidakadilan pemanfaatan sumberdaya alam dan Pembangunan Daerah, maupun ketidakadilan akan adanya perlindungan hak-hak hidup masyarakat telah ditambah oleh ketidakmampuan etnik Madura untuk memberikan toleransi terhadap hampir seluruh aspek kehidupan Suku Dayak Kalimantan Tengah. Adanya arogansi budaya Suku Madura yang memandang remeh budaya lokal Suku Dayak, menimbulkan berbagai gesekan yang seluruhnya tidak pernah diselesaikan secara tuntas, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Akumulasi gesekan-gesekan tersebut menimbulkan perseteruan dan perkelahian massal yang membesar dan memuncak dari waktu ke waktu.
       Kecenderungan Suku Madura membawa kenalan, sanak-keluarga, kerabat dan anggota masyarakat Madura ke Kalimantan Tengah yang kurang berpendidikan dan berlaku kriminal, tanpa melakukan seleksi terlebih dahulu, telah menyebabkan Kalimantan Tengah menerima warga Suku Madura yang potensial dan banyak melakukan hal-hal yang tidak toleran terhadap hampir seluruh aspek kehidupan Suku Dayak. Hal-hal tersebut telah membangkitkan kerugian yang tidak terhingga bagi Suku Dayak, baik dari segi moril, mau pun materil. Adanya hujatan bahwa Suku Dayak tidak beradab, tidak toleran, tidak berkemanusiaan dan lain-lain yang dilansir baik oleh perorangan mau pun media massa serta elektronik secara luas, tanpa mempertimbangkan penderitaan berkepanjangan yang timbul dimasyarakat Suku Dayak akibat kerusuhan yang muncul dari adanya Suku Madura di Kalimantan Tengah.
       Adanya kecenderungan pihak Suku Madura melindungi warganya yang berbuat jahat terhadap Suku Dayak, menyebabkan akumulasi kebencian yang merupakan masalah umum dan sosial dikalangan warga non Madura di Kalimantan Tengah. IKAMA menjadi tempat untuk menyelamatkan warga Suku Madura yang berbuat jahat kepada warga non Madura. Adanya upaya tokoh-tokoh Suku Madura mendorong peristiwa kerusuhan yang ada di Kalimantan Tengah hanya muncul dari sisi Suku Dayak, yaitu dengan merujuk akibat kerusuhan semata, tanpa memperhatikan asal-muasal dan proses-proses yang mandahuluinya.
       Terlihat pula upaya tokoh-tokoh Suku Madura mendorong masyarakat agama untuk berseteru satu dengan lainnya dengan mengatakan bahwa masalah di kota Sampit adalah pembasmian terhadap umat muslim. Adanya pertimbangan yang naif dari tokoh-tokoh Madura dengan menelorkan ancaman-ancaman kepada para petinggi Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk memaksakan kehendak mereka dalam penyelesaian kerusuhan. Hal ini dilakukan tanpa mempertimbangkan bahwa Kalimantan Tengah menjadi korban kelalaian para tokoh-tokoh Suku Madura yang gagal membina warganya yang mencari kehidupan di Kalimantan Tengah. Suku Dayak Kalimantan Tengah selama ini sangat toleran terhadap Suku Madura, sehingga pada beberapa keluarga Dayak, telah menerima anaknya menikah dengan Suku Madura.
1.         Solusi terhadap masalah Etnikitas
Setiap etnik seharusnya tidak tampil atau mengelompokan diri secara eksklusif. Mengutif pendapat Liddle (1970:16), Schefold menyatakan, dalam kaitannya dengan kompleksitas hubungan antar negara, keragaman etnik dengan budaya yang berbeda bisa menjadi kekuatan sosial. Perbedaan agama atau pandangan hidup misalnya, menjadi ikatan etnik yang kuat dan mempengaruhi suatu negara secara nasional. Karena itulah, dalam era global saat ini, perlu digalang sikap loyalitas dan menjaga hubungan harmonis antar etnik. Terlebih di kawasan Asia Tenggara yang multietnik dan memiliki struktur yang kuat, sehingga setiap negara semestinya mendukung keberadaan etnik tersebut untuk menjaga keutuhan negara itu sendiri. Sebaliknya, setiap etnik juga harus aktif dan berpartisipasi penuh membangun sikap nasionalisme. Belajar dari perjalanan sejarah itu, semestinya kini dibuka ruang-ruang yang luas dan pemerintah memberikan fasilitas yang memadai untuk membangun apresiasi estetika etnik multikultural, sehingga bisa ditarik jalinan benang merah guna menghindarkan Bangsa Indonesia dari krisis dan konflik antar etnik.
Pendekatan yang dapat digunakan sebelum mengarah pada fakta persoalan bahwa konflik etnik dapat meledak sewaktu-waktu adalah dengan cara :
a.       Pendekatan Paradigma
Pendekatan Paradigma dilakukan bukan hanya untuk merubah pandangan bahwa kelompok etnik tertentu harus berkuasa dan kelompok etnik lain hanya menjadi kaum proletar, tetapi juga untuk merubah pandangan bahwa suatu kelompok etnik adalah ancaman bagi kelompok etnik yang lain. Karena dalam interaksi sosial-ekonomi, kebutuhan atas kemampuan suatu etnik untuk melengkapi kebutuhan etnik lain sangat dibutuhkan agar tercipta keselarasan dan kesinambungan interaksi sosial yang dapat membangun bangsa ini.
b.      Pendekatan Struktural
Pendekatan Struktural yaitu suatu peraturan yang dikeluarkan secara konstitusi dapat melindungi suatu etnik dari ancaman etnik lain ataupun dari ancaman kepunahan suatu etnik. Perlindungan kenegaraan dibutuhkan untuk menciptakan hubungan sosial antar etnik yang harmonis sehingga dapat mendukung pembangunan nasional. Keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan kenegaraan dapat meminimalisir konflik etnik yang terjadi selama Negara tidak memihak pada satu kelompok etnik saja. Intervensi Negara dalam wacana etnik harus dilakukan secara hati-hati. Karena kelompok etnik, baik yang terbentuk secara primodial ataupun konstruksial, mempunyai pandangan yang fanatik terhadap eksistensi etniknya. Fanatisme inilah yang perlu dirubah atau diperbaiki sesuai dengan pendekatan utama diatas.
c.       Pendekatan Sosial Kapital
Berbagai konflik antar etnik telah merebak di berbagai wilayah Indonesia. Jarak sosial antar etnik yang renggang sering menjadi faktor konflik, hal demikian sebenarnya tidak perlu terjadi jika sejak awal diupayakan bagaimana mereka secara sosial sebagai bagian komunitas integral. Karena itu model perekat sosial sebagai media integrasi, sangat urgen bagi kelangsungan hidup damai antar etnik. Sejauh ini upaya penanganan konflik masih sebatas bersifat teknis, sedangkan yang substansial dengan pendekatan sosial-budaya belum menjadi titik tolak. Pendekatan perekat sosial yang relevan mendasarkan prinsip social capital, yakni saling percaya antara etnik dengan cara bekerja sama menjalin hubungan secara timbal balik. Social capital ini berupa pengetahuan, pengertian, norma, aturan, dan harapan milik bersama sebagai pola interaksi yang dilakukan kelompok individu dalam menyelesaikan suatu persoalan (Fukuyama dalam Solow, 1999; 6-12).
Penyelesaian dengan mempererat antar etnik yang bertikai melalui pendekatan social capital dapat dilakukan dengan tindakan bersama yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Narayan dan Pritchett (1999; 269-295), hubungan sosial melibatkan kerjasama menyangkut soal yang bersifat material dan non material, dapat menjadi fasilitas untuk melakukan tindakan bersama yang saling bergantung satu sama lain, untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan di antara kedua etnik.
Model pendekatan social capital secara resmi maupun tidak resmi, dapat mendukung paling tidak empat fungsi dan kegiatan yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Keempat kegiatan tersebut mencakup, pertama membuat keputusan (tahap merencanakan dan menilai hasil yang dicapai), kedua memobilisasi dan mengatur sumber (tahap penyesuaian), dan ketiga berkenaan dengan komunikasi dan koordinasi (tahap integrasi) serta resolusi konflik atau (tahap pemeliharaan).
Dampak social capital dalam penyelesaian konflik adalah dapat mengembangkan atau mengentaskan masalah secara adil. Karena social capital merupakan seperangkat asosiasi horisontal di antara rakyat yang berdampak pada produktivitas masyarakat. Asosiasi ini berupa jaringan perekatan warga dan norma sosial. Pendekatan masalah konflik antar etnik dengan prinsip social capital juga mampu menyatukan kedua etnik secara bersama berfungsi dalam penataan sosial dengan identitas budaya, secara umum, rasa memiliki bersama dan norma perlakuan bersama. Rasa kebersamaan ini mampu menjadi perekat internal yang secara terus-menerus menuju pada proses hingga tingkat integratif (Serageldin, 1996).
Beberapa perekat sosial yang memanfaatkan pendekatan social capital, telah dilakukan beberapa peneliti seperti pada uraian berikut. Alqadrie, (1999), dalam penelitian konflik antar etnik di Ambon dan Sambas yang dikaji secara sosiologis, telah dihasilkan beberapa saran model penanganannya. Menurutnya penanganan ekses konflik antar etnik di Ambon dan Sambas sebaiknya dilakukan dengan pemecahan yang bersifat jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Solusi pemecahan konflik tragedi Ambon dalam jangka pendek hendaknya dilakukan dengan cara : (1) melaksanakan dan melanjutkan pelaksanaan upacara adat Pela Gandong pada hari-hari besar nasional, dengan memasukkan upacara tersebut dalam acara pokok. Dalam teknik pelaksanaan acara tersebut anggota kelompok etnik yang beragama Islam dan Kristen dilibatkan secara seimbang dan adil. Sedangkan solusi jarak menengah, model perekat sosial yang ditawarkan adalah : (1) Perlunya melakukan kawin campur antar etnik, dan (2) kemudian perlu mendirikan forum komunikasi antar kelompok etnik dan agama yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda dalam berbagai tingkat pemerintahan (Dati II, Kecamatan, Lingkungan, Kampung). Penyelesaian konflik untuk jangka panjang dengan : (1) Perlunya peningkatan pembinaan umat agama masing-masing secara terus menerus agar tidak hanya memiliki hubungan vertikal (hablum minallah), tetapi juga hubungan horisontal (hablum minannaas) yang tinggi. (2) Perlu otonomi daerah atas propinsi Maluku lebih ditingkatkan dan diperluas, (3) Pemerintah pusat hendaknya mengurangi kebijakan yang sentralistik dengan prinsip Top- Down Policy.
Menurut Pelly, (1999) alternatif perekat sosial untuk meredam konflik antar etnik yang terjadi di Ambon, Maluku seharusnya dengan cara: (1) Membebaskan rakyat dari segala bentuk monopoli pusat dan rekayasa sosial yang terselubung atau tidak baik dalam bidang pertanian, perdagangan, birokrasi pemerintahan dan kehidupan sosial budaya. (2) Menata kembali division of labour dalam perkembangan yang adil dan proporsional antar masyarakat Ambon dan masyarakat pendatang. (3) Menghidupkan kembali kesepakatan bersama terhadap wilayah kawasan domisili kelompok-kelompok keturunan asal Ambon yang mengatur lokasi pemukiman utama orang asal Ambon sebelum kedatangan Belanda. Sedangkan dalam kasus anti etnik keturunan Cina di Medan dan Jakarta, Pelly juga menyarankan solusi konflik antar etnik dengan : (1) Perlunya kerjasama antara pemuka masyarakat, pemerintahan, dan aparat terutama para pemuka kelompok masyarakat etnik, adat dan agama yang baik dan tangguh. (2) Perlunya daya akomodatif, kekuatan moral dan independensi masyarakat kota Medan yang masih kuat untuk menerima perbedaan, tantangan dan hasutan dari pihak luar (29-31).
Menurut Uphoff (1999: 215-221)  supaya berhasil mengembangkan hubungan baik secara sosial agar tidak terjadi konflik perlu memperhatikan dua hal penting. Pertama, perlu pemahaman struktur yang mengutamakan pentingnya aspek peranan, norma dan prosedur serta mekanisme kerja yang harus dilakukan dalam menjalin kerjasama agar saling memperoleh keuntungan kedua belah pihak. Kedua, perlu pemahaman pengetahuan yang berkaitan dengan norma, nilai, sikap dan kepercayaan antara kelompok yang akan menjalin kerjasama. Pengelompokkan social capital secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut.
Pengelompokkan social capital
Keterangan
Aspek struktur
Aspek kesadaran
Sumber-sumber dan manifestasi
Peranan dan aturan, jaringan dan hubungan antar pribadi, hubungan prosedur
Norma, nilai, sikap, kepercayaan
Faktor-faktor dinamis
Organisasi sosial, hubungan horisontal dan vertikal
Budaya kewarganegaraan, kepercayaan, solidaritas, kerjasama
Elemen-elemen umum
Harapan yang mengarah kerja sama yang menghasilkan keuntungan kedua pihak
Prosedur ini merupakan proses pemahaman untuk melakukan kegiatan dan fungsi melalui peranan dan aturan yang secara luas dimengerti dan diterima. Hal-hal yang perlu dicontoh adalah tindakan yang memperkuat nilai-nilai dari peranan, aturan-aturan serta prosedurnya.
B. Pembahasan Ras
1. Definisi Istilah
Ras (Race) adalah kumpulan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berciri khas biologi tersendiri yang diwarisi, dan dapat dibedakan dengan jelas dalam masyarakat (Macionis, 1998:214). Pembagian ras manusia dapat dikategorikan menjadi: Caucasoid, Mongoloid, Negroid dan Australoid dengan berdasarkan kepada perbedaan fisikal seperti: warna kulit, warna rambut,  bentuk wajah, dan lain-lain.
Walaupun kita sadari bahwa pembagian tersebut adalah pembagian secara kasar,  kerena memang terdapat golongan yang sukar diklasifikasikan ke dalam salah satu kelompok ras. Hal ini karena manusia sentiasa bergerak, bersosial, berinteraksi dan melakukan perkawinan campuran sering berlaku di antara satu sama lain. Akibatnya akan menghasilkan ras baru yang mempunyai keturunan campuran yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu kumpulan ras.
Menurut Academic American Encyclopedia (Volume 16:37), ras  didefi-nisikan sebagai teori atau falsafah yang menyatakan seseorang mewarisi ciri-ciri seperti warna kulit, bentuk wajah, warna rambut, tingkat laku, atau tingkat intelektual. Pengertian ini menyebabkan sebagian manusia mengangggap ras mereka adalah lebih unggul daripada ras lain.
Penyalahgunaan konsep ras dalam konteks ini menyebabkan berlakunya prasangka dan diskriminasi di antara golongan tertentu di dalam dunia. Walau bagaimanapun, pengertian ini telah disangkal oleh Encyclopedia of Religion. Sebaliknya menurut Encyclopedia of Religion (Volume 12:184), menjelaskan bahwa manusia tidak sepatutnya di kelaskan mengikut ras. Manusia adalah dalam satu kelas yang sama dan setara. Tiada manusia yang lebih baik atau lebih handal dari yang lain semata-mata karena perbedaan warna kulit, bentuk rupa dan sebagainya.
Pada hakikatnya, ras memang sukar untuk didefinasikan dengan jelas dan tepat karena telah terjadi campur-baur golongan yang asli disebabkan migrasi dan perkawinan campuran. Banyak ahli sosiologi yang setuju dengan pendapat tersebut. Misalnya, Van den Berghe (1967), berpendapat bahwa istilah ras itu dibedakan atas empat pengertian utama:
a.       Ras digunakan sebagai satu konsep biologi untuk membedakan manusia atas dasar perbedaan "phenotype" dan "genotype". Walaupun hal ini tidak adanya kesepakatan yang dicapai oleh ahli antropologi dan sosiologi, dan kebelakangan ini pengertian tersebut ditolak oleh sebagian besar pakar sains sosial.
b.      Ras juga digunakan untuk memperihatkan suatu kelompok manusia yang mempunyai beberapa ciri kebudayaan yang sama seperti bahasa dan agama (Misal: ras Perancis, dan ras Yahudi).
c.       Ras juga digunakan dalam pengertian luas sebagai kesamaan pengertian  perkataan spesis (species). (Misalanya: ras manusia).
d.      Ras juga digunakan untuk merujuk kepada suatu kelompok manusia yang menganggap diri atau dianggap oleh kelompok lain sebagai berbeda dibanding  kelompok-kelompok mereka atas dasar perbedaan fisikal yang tidak dapat diubah.
2. Mendalami Konsep Rasisme
Prasangka atau prejudis (prejudice) merupakan akar permasalahan segala bentuk rasisme. Prasangka adalah satu pandangan yang buruk terhadap individu atau kelompok manusia lain dengan hanya merujuk kepada ciri-ciri tertentu seperti ras, agama, pekerjaan, atau kelas (Macionis, 1998). Sebagai contoh, kaum kulit hitam dianggap kurang dari segi intelektual dan kekayaan.
Kebiasaan yang ada, prasangka timbul akibat penilaian awal (prejudgement) yang dibentuk tidak merujuk pada tinjauan terhadap fakta-fakta yang sebenarnya. Perasaan prasangka seringkali dijadikan alat oleh golongan mayoritas untuk menindas golongan minoritas. Walau bagaimanapun, ia tidak berarti bahwa golongan minoritas yang tertekan tidak mempunyai prasangka terhadap anggota majoritas atau kelompok lain(Teori Scapegoat : Dollard, 1939).
Kesan dari prasangka lama-kelamaan akan semakin menebal, secara membuta-buta tanpa sebab dan dikaitkan dengan perasaan cemburu dan prasangka (Oliver, 1976). Rasisme sering dikaitkan dengan keganasan dan kemusnahan. Kesan "pembersihan etnik" (ethnic cleansing) yang terjadi pada kaum Yahudi semasa pemerintahan Hitler merupakan contoh terbaik, di mana rasisme telah mengakibatkan beribu-ribu keturunan Yahudi menjadi mangsa dalam tindakan untuk menonjolkan kaum Jerman sebagai kaum terunggul (Macionis, 1998:223).
Rasisme merupakan suatu masalah rumit yang dihadapi oleh dunia. Beberapa percobaan telah dibuat untuk menerangkan asal-usul fenomena ini. Ahli psikologi mencoba untuk mencari penyebab rasisme dari personaliti individu, dan dikaitkan dengan soal kekecewaan atau authoritarian personality (penguasaan individu dominan ke atas yang lemah) (Macionis, 1998:48). Bagi ahli sosiologi yang berhaluan Marxis, rasisme lebih merupakan sebagian dari ideologi kaum Bourgeasie (golongan kelas atasan) untuk mempertahankan eksploitasi dan penindasan ke atas kaum bukan kulit putih dalam jaman penjajahan, perhambaan dan imperialisme (Macionis, 1998:220).
Walau bagaimanapun, dua syarat perlu dipenuhi sebelum masalah rasisme terwujud. Syarat yang pertama ialah kewujudan dua atau lebih kelompok yang berbeda dari segi fisikal supaya mereka dapat dibagi ke dalam beberapa kategori. Kedua, kelompok-kelompok tadi perlu juga berbeda dari segi kebudayaan dan berada dalam keadaan ketidaksamaan yang institutionalized (Ting Chew Peh, 1983:91).
3. Masalah Ras  (Ras Cina) di Indonesia
Semenjak berabad-abad lalu, Ras Cina berada di Indonesia dengan jumlah cukup besar. Tetapi, karena persoalan menyangkut etnik masih dianggap peka, sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnik di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Kebijakan ini ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Cina (termasuk penutupan sekolah Cina, pembubaran organisasi ras Cina dan pemberedelan mass media Cina) serta simbol-simbol dan adat-istiadat ras Cina. Ras Cina dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak biasa diterima sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri. Menurut Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang ras Cina. Mereka memiliki persepsi bahwa ras Cina merupakan sebuah kelompok ras yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing, walaupun orang Cina tersebut berstatus WNI
Ras Cina adalah ras yang paling banyak dianggap menimbulkan masalah di Indonesia. Sudah lama kebencian atas ras ini menghasilkan konflik berat bahkan berdarah di banyak kota di Indonesia, bahkan eskalasinya kian tahun kian meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998 dimana di Medan, Palembang, Solo, Surabaya, dan terutama Jakarta, ribuan objek ekonomi ras ini dijarah, dihancurkan, dan dibakar massa.
Ribuan mobil dan motor yang dimiliki dan dikendarai ras ini ikut dibakar, dan ini memuncak dengan terjadinya perkosaan dan pembunuhan terhadap wanita ras ini yang menurut tim relawan mencapai angka 168 kasus dimana 152 terjadi di Jakarta, dan menurut laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta mencapai sepertiga angka itu, sedang sisanya terjadi di Palembang, Solo dan Surabaya.
Mengapa sampai masalah Ras Cina menjadi malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia? Soal ini tetap aktual untuk dibahas mengingat bahwa sejak era reformasi tahun 1999 premordialisme ras ini mencuat kembali yang tentu akan berdampak bagi kerukunan-antar-umat-yang berbeda suku/ras di Indonesia.
Sumber Masalah
Ada beberapa sumber masalah yang melatarbelakangi timbulnya rasialisme yang menimpa ras Cina. Bukan saja karena ras ini merupakan pendatang dari luar bumi Indonesia, tetapi ras ini mempunyai tradisi budaya yang kuat dan sangat berbeda sekali dengan tradisi pribumi yang ternyata tidak mudah untuk bersesuaian, juga perlakuan kolonialisme Belanda yang mengistimewakan ras ini sehingga secara tidak sadar ras ini telah menjadi bumper/perisai yang berfungsi sebagai peredam konflik antara penjajah Belanda dan pribumi khususnya menyangkut masalah ekonomi.
Cacat sejarah itu tidak berhenti sesudah Indonesia merdeka, soalnya dalam alam Orde Lama ras ini yang sudah memegang kendali ekonomi sebagai warisan kolonialisme Belanda tetap memegang supremasinya dan bahkan dibawah kepemimpinan Orde Baru hegemoni ekonomi itu bahkan menimbulkan praktek KKN dengan penguasa.
Masalah lain yang lebih memperparah lagi adalah adanya mayoritas ras Cina yang berbeda agama dengan agama yang dianut mayoritas penduduk pribumi Indonesia. Sebagian besar ras Cina menganut agama leluhur yaitu Buddha, Taoisme, Konghucu atau gabungan ketiganya (Tridharma), sebagian lain menganut agama Kristen, dan hanya sebagian kecil saja yang menganut agama Islam. Masalah lain yang ikut menajamkan perbedaan adalah bahwa supremasi ekonomi itu menghasilkan penguasaan ekonomi Indonesia yang dikatakan sekitar 60-70%nya dikuasai para pedagang dan konglomerat Cina.
5. Solusi terhadap masalah Rasisme
Konflik ras ini tidak akan menguntungkan negara maupun rakyatnya. Banyak rakyat yang tidak berdosa telah menjadi korban dan banyak harta yang musnah. Malah membawa kerugian dan pengalaman pahit kepada rakyat di negara yang berlakunya masalah konflik ras.
Tiga macam pendekatan yang paling populer di antara pendekatan-pendekatan yang lain, untuk pembahasan masalah konflik ras yang terjadi dalam masyarakat yang majemuk, yaitu:
a.    Pendekatan fungsional struktural
Pendekatan ini menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium.
Fungsionalisme struktural mula-mula tumbuh dari cara melihat masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis, suatu pendekatan yang dikenal sebagai organismic approach. Plato, misalnya, membandingkan tiga kelas sosial: yaitu penguasa, militer, dan kaum pekerja tangan, masing-masing dengan daya pikir, perasaan atau semangat, dan nafsu. Cara menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis berkembang subur pada masa sebelum Aguste Comte memperkenalkan filsafat positifnya, dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila pendekatan organismik muncul terutama pada awal pertumbuhan sejarah sosiologi. Perwujudan yang paling penting dari pendekatan tersebut tergambar di dalam usaha untuk menerangkan hubungan antara konsep struktur dan fungsi, yang sudah muncul di dalam pemikiran Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan yang kemudian mencapai bentuk yang lebih jelas di dalam pemikiran para ahli antropologi Inggris Bronislaw Malinowski dan Redcliffe-Brown. Pendekatan tersebut pada akhirnya mencapai tingkat perkembangannya yang sangat berpengaruh di dalam sosiologi Amerika, khusunya di dalam pemikiran Talcott Parsons dan para pengikutnya.
b.    Pendekatan konflik     
Pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar sebagai berikut:
1)   Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2)   Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3)   Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4)   Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.
c.    Sintesis antara pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik.
Sintesis dua pendekatan tersebut dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Akan tetapi, sebaliknya seperti apa yang dikemukakan oleh van den Berghe, kebutuhan untuk mensintesiskan kedua pendekatan tersebut menurut Nasikun (1995: 27), justru harus didasarkan terutama pada kenyataan bahwa keduanya ternyata saling melengkapi satu sama lain. David Lockwood telah memperingatkan kita betapa konsensus dan konflik adalah merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama: konsensus dan konflik adalah merupakan dua gejala yang melekat bersama-sama di dalam setiap masyarakat. Oleh karena itu dua macam pendekatan yang masing-masing dikembangkan di atas anggapan-anggapan dasar yang hanya menekankan pada salah satu di antara kedua gejala tersebut patut diintegrasikan. Kebutuhan untuk mensintesiskan keduanya menjadi lebih penting lagi artinya apabila kita dihadapkan pada keharusan untuk menganalisis masyarakat Indonesia.
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
C.  Pembahasan Nasionalitas
1.    Definisi Istilah
Identitas dan nasionalitas merupakan faktor penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Faktor yang menyebabkannya penting karena identitas dan nasionalitas secara teoretis merupakan unsur utama dalam menyangga keberlangsungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu berangkat dari satu pengandaian teoretis bahwa “kecintaan” dan perasaan “memiliki” seseorang kepada masyarakat dan bangsanya, bergantung pada bagaimana seseorang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, suatu konsep identitas yang sepenuhnya imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. “Rumusan” seseorang dalam mendefinisikan dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi implikasi langsung bagaimana seseorang mempraktikkan dirinya dalam kehidupan sosial, politik, atau dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai bangsa kita memang membutuhkan identitas , jati diri yang berbeda dari bangsa yang lainnya. Sebetulnya kita sudah punya indentitas yaitu “Indonesia”. Identitas ini yang harus  dipertahankan dengan cara bersatu.
Nasionalitas itu ada bukan karena skala local semata-mata. Pengertian nasionalitas menurut Fishman ini berbeda dengan pengertian suku dan etnik, yang ia perikan sebagai satuan sosiokultural yang lebih sederhana, lebih kecil, lebih, partikularistik dan lebih lokalistik daripada pengertian nasionalitas itu. Jadi, sebagai satuan  sosiokultural, nasionalitas lebih besar daripada suku atau kelompok etnik.
Bangsa, pada dasarnya adalah sebuah komunitas. Sebab, tak peduli akan adanya ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi yang mungkin lestari dalam tiap bangsa, bangsa itu sendiri dimengerti sebagai kesetiakawanan yang mendalam dengan arah mendatar horisontal.
Bangsa (nation) adalah suatu ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari suatu kinship (kerabat) yang biasanya diikat oleh suatu kemampuan self-rule. Negara (state) adalah suatu ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas politik yang tumbuh berdasarkan kontrak sosial, meletakkan individu ke dalam kerangka kewarganegaraan (citizenship). Dalam kerangka ini, individu dipertautkan dengan suatu komunitas politik (negara) dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum. Dengan kata lain bangsa beroperasi atas prinsip kekariban. Sedangkan negara beroperasi atas prinsip hukum dan keadilan.
2.    Tantangan
Bukan rahasia lagi kalau kita mengatakan nasionalisme atau rasa kebangsaan generasi muda makin menipis. Rasa nasionalisme bangsa Indonesia di kalangan dewasa pun juga makin menipis dikarenakan adanya perubahan yang terjadi di dunia internasional maupun di Indonesia sendiri. Menipisnya nasionalisme bangsa Indonesia sendiri juga disebabkan karena beberapa tantangan, yaitu :
a.  Krisis Multidimensional yang Berkepanjangan
Relevansi semangat kebangsaan ditentukan oleh bagaimana istilah kebangsaan tersebut dipahami. Makna kebangsaan sendiri secara praktis tentunya dapat dibaca dalam sudut pandang yang berbeda-beda baik dari sudut pandang negara maupun masyarakat sipil ataupun dari perspektif kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Dalam perspektif politik negara, kebangsaan digunakan untuk memperkuat legitimasi negara yang berdiri di atas semua kepentingan golongan atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal tersebut dimanifestasikan dalam konstitusi hampir setiap negara di dunia yang mengatakan bahwa salah satu fungsi negara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa beserta keutuhan wilayah negara bangsa. Atas nama menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan wilayah, aparat-aparat negara diberikan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap anggota-anggota masyarakat yang dianggap mengancam keamanan negara.
Setiap negara yang memiliki sifat-sifat totaliter selalu menggunakan nasionalisme sebagai alasan-alasan mendasar untuk menerapkan kebijakan-kebijakan ya yang mengandung unsur-unsur kekerasan. Namun demikian, totalitarianisme harus dipahami dalam arti luas, yaitu sebagai tendensi sentral dari setiap negara modern (Giddens, 2002). Negara demokrasi modern diakui memiliki sumber kekuasaan yang persuasif, namun tidak berarti sistem ini bebas dari kekerasan karena dalam sistem ini melekat kekerasan struktural yang dibangun oleh kapitalisme. Kekerasan dilakukan the rulling class terhadap mayoritas masyarakat melalui kebijakan negara dan dijalankan oleh struktur ekonomi dan politik negara. Kontradiksi dalam negara demokrasi modern adalah tarik menarik antara kepentingan negara untuk melindungi kepentingan pemodal dan kepentingan untuk menuntut legitimasi dari rakyat. Dalam konteks ini, makna kebangsaan tidak pernah diletakkan dalam konteks sosial ekonomi. Pertanyaan tentang kedaulatan ekonomi nasional dianggap tidak relevan karena eksistensi negara bangsa diletakkan di bawah kepentingan tata ekonomi dunia yang kapitalistik.
Dengan demikian lahirnya republik ini tidak mampu melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme global yang mengalami metamorfose ke dalam Transnational Corporations dan organisasi-organisasi keuangan internasional seperti IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Semangat kebangsaan yang digelorakan oleh para founding fathers seperti dipertanyakan relevansinya ketika bangsa ini tidak mampu keluar dari krisis. Krisis tidak dipahami sebagai akibat dari ketergantungan Indonesia dengan tata ekonomi internasional. Bahkan, para penyelenggara kekuasaan negara cenderung percaya kepada kekuatan-kekuatan ekonomi internasinal sebagai juru selamat daripada percaya kepada kekuatan rakyat. Hal ini berbeda dengan Malaysia dan Thailand yang tidak mau bergantung kepada IMF, hasilnya adalah Malaysia dan Thailand lebih dulu keluar dari krisis dan dapat berdiri secara terhormat di antara bangsa-bangsa. Indonesia secara simbolik adalah negara merdeka, tetapi secara substantial adalah salah satu negara bagian dari negara adi kuasa yang sekarang ini menguasai tata ekonomi dan politik dunia. Krisis yang berkepanjangan haruslah dipahami sebagai desain politik global untuk menjaga ketergantungan Indonesia dengan kapitalisme dunia.
Semangat kebangsaan akan menjadi relevan kalau dipahami secara komprehensif baik dari sudut pandang negara maupun masyarakat. Negara ini telah kehilangan kedaulatannya dan kehilangan legitimasinya untuk bertindak atas nama kepentingan rakyat. Semangat kebangsaan diperlukan untuk menanamkan kesadaran revolusioner masyarakat sipil bahwa negara ini telah kehilangan kedaulatannya dan mendorong masyarakat sipil untuk memaksa negara agar dapat kembali kepada fungsinya sebagai representasi dari kepentingan rakyat. Kesadaran dan semangat revolusi menentang negara yang menjadi manajer dari perusahaan-perusaha an asing dan borjuasi nasional adalah semangat kebangsaan itu sendiri. Mewujudkan Indonesia yang merdeka 100% seperti dikatakan oleh Tan Malaka adalah sebagian dari cara-cara menjaga semangat kebangsaan agar perjalanan sejarah bangsa Indonesia ke depan dapat diselamatkan. Semangat kebangsaan yang dikampanyaken oleh aparat-aparat negara selama ini sesungguhnya tidak bermakna sedikit pun karena mereka sendiri lah yang menjadikan diri mereka sebagai bagian dari dominasi dan hegemoni kapitalisme global.
b.  Kurangnya rasa persamaan nasib
Nasionalisme di Indonesia semasa pergerakan nasional sampai dengan awal kemerdekaan dibangun oleh semangat “persamaan nasib”. Banyak yang keliru bahwa nasionalisme Indonesia disebabkan oleh semangat sektarian maupun primordial etnik. Persamaan nasib (dijajah dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri yang kuat) inilah yang menjadi triger atau pemicu sehingga membuat seluruh lapisan bangsa Indonesia memiliki sikap yang sama menuju Indonesia merdeka. Kesadaran kolektif inilah yang membuat Indonesia mampu memproklamirkan kemerdekaannya setelah usainya PD II dan menjaga keutuhan bangsa ini selama Perang Kemerdekaan.
Lunturnya nasionalisme di Indonesia juga dikarenakan kurangnya persamaan nasib tersebut. Adanya korelasi yang sangat kuat antara kesenjangan baik secara sosial maupun ekonomi terjadi di strata masyarakat Indonesia dengan semangat nasionalisme. Persoalan SARA yang muncul oleh karena kurangnya persamaan nasib juga menjadi masalah yang seringkali menjadi perdebatan dalam negeri ini.
c.  Kurangnya rasa menghargai dan bangga  terhadap budaya sendiri
Banyak orang bahkan hampir sebagian rakyat Indonesia kurang bangga pada negaranya sendiri. Padahal, banyak faktor-faktor yang bisa membuat kita bangga sebagai warga Indonesia, antara lain:
No
Faktor-Faktor yang bisa membuat kita bangga sebagai warga Indonesia
1
Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni). Disini ada 3 dari 6 pulau terbesar didunia, yaitu: Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dgn luas 539.460 km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981 km2).
2
Indonesia adalah Negara maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93 ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km2 atau hampir 25% panjang pantai di dunia.
3
Pulau Jawa adalah pulau terpadat di dunia dimana sekitar 60% hampir penduduk Indonesia (sekitar 130 jt jiwa) tinggal di pulau yang luasnya hanya 7% dari seluruh wilayah RI.
4
Indonesia merupakan Negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnik, dimana di Papua saja terdapat 270 suku.
5
Negara dengan bahasa daerah yang terbanyak, yaitu, 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia . Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia walaupun bahasa daerah dengan jumlah pemakai terbanyak di Indonesia adalah bahasa Jawa.
6
Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia sekitar 216 juta jiwa atau 88% dari penduduk Indonesia . Juga memiliki jumlah masjid terbanyak dan Negara asal jamaah haji terbesar di dunia.
7
Monumen Budha (candi) terbesar di dunia adalah Candi Borobudur di Jawa Tengah dengan tinggi 42 meter (10 tingkat) dan panjang relief lebih dari 1 km. Diperkirakan dibuat selama 40 tahun oleh Dinasti Syailendra pada masa kerajaan Mataram Kuno (750-850).
8
Tempat ditemukannya manusia purba tertua di dunia, yaitu : Pithecanthropus Erectus  yang diperkirakan berasal dari 1,8 juta tahun yang lalu.
9
Tempat ditemukannya manusia purba tertua di dunia, yaitu : Pithecanthropus Erectus’ yang diperkirakan berasal dari 1,8 juta tahun yang lalu.
10
Indonesia adalah Negara pertama (hingga kini satu-satunya) yang pernah keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tgl 7 Januari 1965. RI bergabung kembali ke dalam PBB pada tahun 1966.
11
Tim bulutangkis Indonesia adalah yang terbanyak merebut lambang supremasi bulutangkis pria, Thomas Cup, yaitu sebanyak 13 x (pertama kali th 1958 & terakhir 2002).
12
Indonesia adalah penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia (20% dari suplai seluruh dunia) juga produsen timah terbesar kedua.
13
Indonesia menempati peringkat 1 dalam produk pertanian, yaitu : cengkeh (cloves) & pala (nutmeg), serta no.2 dalam karet alam (Natural Rubber) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil).
14
Indonesia adalah pengekspor terbesar kayu lapis (plywood), yaitu sekitar 80% di pasar dunia.
15
Terumbu Karang (Coral Reef) Indonesia adalah yang terkaya (18% dari total dunia).
16
Indonesia memiliki species ikan hiu terbanyak didunia yaitu 150 species
17
Biodiversity Anggrek terbeser didunia : 6 ribu jenis anggrek, mulai dari yang terbesar (Anggrek Macan atau Grammatophyllum Speciosum) sampai yang terkecil (Taeniophyllum, yang tidak berdaun), termasuk Anggrek Hitam yang langka dan hanya terdapat di Papua.
18
Memiliki hutan bakau terbesar di dunia. Tanaman ini bermanfaat untuk mencegah pengikisan air laut/abrasi.
19
Binatang purba yang masih hidup : Komodo yang hanya terdapat di pulau Komodo, NTT adalah kadal terbesar di dunia. Panjangnya bias mencapai 3 meter dan beratnya 90 kg.
20
Rafflesia Arnoldi yang tumbuh di Sumatera adalah bunga terbesar di dunia. Ketika bunganya mekar, diameternya mencapai 1 meter.
21
Memiliki primata terkecil di dunia , yaitu Tarsier Pygmy (Tarsius Pumilus) atau disebut juga Tarsier Gunung yang panjangnya hanya 10 cm. Hewan yang mirip monyet dan hidupnya diatas pohon ini terdapat di Sulawesi.
22
Tempat ditemukannya ular terpanjang di dunia yaitu, Python Reticulates sepanjang 10 meter di Sulawesi.
23
Ikan terkecil di dunia yang ditemukan baru-baru ini di rawa-rawa berlumpur Sumatera. Panjang 7,9 mm ketika dewasa atau kurang lebih sebesar nyamuk. Tubuh ikan ini transparan dan tidak mempunyai tulang kepala.




III. KESIMPULAN
1.    Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.
2.    Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masaah pokok yang dihadapi, ialah:
a.     mempersatukan aneka-warna suku-bangsa,
b.    hubungan antar umat beragama,
c.    hubungan mayoritas-minoritas dan
d.    integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia.
3.    Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi di kalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan. Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.
4.    Faktor integrasi bangsa Indonesia rasa senasib dan sepenanggungan serta rasa seperjuanagan di masa lalu ketika mengalami penjajahan. Penjajahan menimbulkan tekanan baik mental ataupun fisik. Tekanan yang berlarut-larut akan melahirkan reaksi dari yang ditekan (di jajah). Sehingga muncul kesadaran ingin memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kesadaran ini, maka keberagaman suku atau golongan yang ada di Indonesia tidak dipermasalahkan semuanya bersatu, berjuang untuk merdeka. Sehingga terbentuklah negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Selain itu, sumpah pemuda merupakan salah satu faktor integrasi bangsa karena isinya adalah persatuan yaitu berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu Indonesia.
5.    Faktor disintegrasi bangsa di antaranya ialah negara yang berbentuk kepulauan yang dipisahkan oleh lautan, sehingga akan memunculkan sikap ingin menguasai daerah sendiri dan tidak mau diatur.Kemudian keberagaman suku, ras, agama bisa memicu disintegrasi bangsa, karena setiap golongan pasti mempunyai budaya, watak, dan adat yang berbeda dan yang pasti mereka masing-masing mempunyai ego kesukuan (Chauvinisme) sehingga kan mudah konflik dengan suku-suku yang lain. Faktor disintegrasi yang lain ialah rasa ketidakadilan yang memicu pemberontakan kepada yang berbuat tidak adil. Jika pemerintah Indonesia tidak berbuat adil pada setiap daerah yang ada di Indonesia maka akan menimbulkan rasa ketidakpuasan dari masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut, sehingga pada akhirnya ada keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.    Kemajemukan bangsa Indonesia yang meliputi bahasa, budaya,suku, agama dan ras, bisa menjadi daya integrasi maupun disintegrasi bangsa kita. Seperti yang kita ketahui, dengan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia kita dapat berkomunikasi antar suku dan ras sehingga hubungan akan terjalin dengan baik dan dapat mempererat persaudaraan sebagai satu bangsa besar yaitu bangsa Indonesia. Selain itu, keragaman antar budaya termasuk bahasa akan saling melengkapi satu sama lainnya menjadi kebudayaan nasional yang akan menjadi kebanggaan semua suku dan ras yang ada di Indonesia..
7.    Dan yang ke dua, kemajemukan bangsa kita juga dapat menjadi daya disintegrasi bangsa karena dengan keragaman itu, rentan sekali terhadap konflik antar suku dan daerah, terutama masalah agama seperti yang terjadi akhir-akhir ini di kawasan timur Indonesia. Selain faktor kemajemukan budaya, penyebab disintegrasi bangsa Indonesia juga terpicu oleh sentralisasi pembangunan yang selama ini lebih terfokus di pulau Jawa, sehingga menyebabkan kesenjangan dan kecemburuan dari daerah lain, sehingga timbul keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI yang bisa menjadi faktor integrasi bangsa adalah semboyan kita yang terkenal yaitu bhineka tunggal ika, dimana kita terpisah-pisah oleh laut tetapi kita mempunyai ideologi yang sama yaitu pancasila.sedangkan yang menjadi faktor desintegrasi bangsa adalah kurang adanya rasa nasionalisme yang tinggi, kurangnya rasa toleransi sesama bangsa, campur tangan pihak asing dalam masalah bangsa.
   
IV. DAFTAR PUSTAKA
Alqadri, Syarif Ibrahim. 1999. Konflik Etnik di Ambon dan Sambas : Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Th. XXIII, No. 58 Januari – April. Jakarta : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Barth, Frederick. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya, terjemahan Nining L.S. Jakarta : UI Press.
Fukuyama, Francis. 1997. Social Capital. Tanner Lecturers, Brasenose College, Ofxord: Processed, Institute of Public Policy, George Mason University, Fairfax, Virginia.
Furnivall. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge at The University Press.
Gungwu, Wang .1991. Kajian Tentang Identitas Orang Cina di Indonesia dalam Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Terjemahan Ahmad. Jakarta : Grafiti Press.
Hall, Stuart. 1996. On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall.  dalam David Morley dan Kuan-Hsing Chen (eds.), Stuart Hall, London: Routledge.
Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 2. (terj. Robert M.Z. Lawang). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Johnson. 1996. Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri, Sebuah Analisis Kritik. Jakarta : Rajawali.
Kelompok Etnik dalam Http:// id. Wikipedia,org/wiki
Koentjaraningrat. 1982. Ritus Peralihan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Macionis, John J. 1997. Sociology Sixth Edition. New Jersey: Previtice Hall Oliver
Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Pelly, Usman. 1999. Akar Kerusuhan Etnik di Indonesia. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Th. XXIII, No. 58 Januari-April. Jakarta : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Pierre L.van den Berghe. 1967. Dialectic and Functionalism : Towarda Synthesis, dalam N.J. ... The Free Press, New York, Collier Macmillan Limited, London.
Sanjatmiko, Prihandoko. 1999. Orang Keturunan Cina Di Tanggerang : Suatu Kajian Tentang Faktor-faktor yang Mendorong dan Menghambat Proses Asimilasi Antara Penduduk Golongan Etnik Keturunan Cina Terhadap Penduduk Golongan Etnik Pribumi” dalam Makara Jurnal Penelitian Universitas Indonesia No. 3 seri C Agustus. Jakarta : Universitas Indonesia. H. 70-77.
Simatupang, Richard Burton.  2003.  Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta
Ting Chew Peh. 1979.  Konsep asas sosiologi. Dewan Bahasa Dan Pustaka. Kuala Lumpur.Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Uphoff, Norman. 1999. Understanding Social Capital Learning from the Analysis and Experience of Participant dalam Social Capital (Dasgupta, P. and Serageldin, I, ed.) Washington, D.C. The World Bank. P. 215-252.

No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...