MASALAH
KEMAJEMUKAN
YANG RELEVAN
DENGAN ETNISITAS, RAS, NASIONALITAS
DI INDONESIA
BESERTA ALTERNATIF SOLUSINYA
PADA MATA KULIAH ETNISITAS,NASIONALISME,
DAN INTEGRASI NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Pengantar
Furnivall
dalam bukunya Netherlands India: A Study
of Plural Economy (1967), menggambarkan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia, kenyataan bahwa masyarakat Indonesia memiliki keanekaragaman ras dan etnik sehingga sulit
bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia
ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam
berbagai hal.
Faktor-faktor yang
menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia diantaranya adalah:
a. Keadaan geografi Indonesia yang
merupakan wilayah kepulauan terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000
pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu
pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana
setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b. Letak Indonesia diantara Samudra
Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka
Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal tersebut mempengaruhi terciptanya pluralitas
atau kemajemukan agama.
c. Iklim yang berbeda serta struktur
tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang
menciptakan kemajemukan regional.
Faktor keanekaragaman lainnya yang dimiliki Indonesia
adalah keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia
meliliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Suku bangsa
merupakan bagian dari suatu negara. Dalam setiap suku bangsa terdapat
kebudayaan yang berbeda-beda. Selain itu masing-masing suku bangsa juga
memiliki norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar ta’at dan
melakukan segala yang tertera didalamnya. Setiap suku bangsa di indonesia
memiliki norma-norma sosial yang berbeda-beda dalam hal cara pandang terhadap
suatu masalah atau tingkah laku memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan
antar individu atau masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda,
mereka akan mengelompok menurut asal-usul daerah dan suku bangsanya (primodialisme). Itu menyebabkan pertentangan\ketidakseimbangan
dalam suatu negara(disintegrasi). Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk
tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim
kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun,
juga terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui
prestasi (achievement). Indikasi
perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi
politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi permukiman. Sedangkan
perbedaan horisontal diterima sebagai warisan. Suku tertentu bukan dilahirkan
untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran
mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik.
Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan
vertikal, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara
lain perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain
itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi, serta
perluasan batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik. Untuk
menghindari diperlukan adanya konsolidasi antar masyarakat yang mengalami
perbedaan. Tetapi tidak semua bisa teratasi hanya dengan hal tersebut. Untuk
menuju integritas nasional yaitu keseimbangan antar suku bangsa diperlukan
toleransi antar masyarakat yang berbeda asal-usul kedaerahan. Selain itu faktor
sejarah lah yang mempersatukan ratusan suku bangsa ini. Mereka merasa mempunyai
persamaan nasib dan kenyataan yang sama di masa lalu. Kita mempunyai semboyan
Bhineka Tunggal Ikal yaitu walaupun memiliki banyak perbedaan, tetapi memiliki
tujuan hidup yang sama. Selain itu, pancasila sebagai idiologi yang menjadi
poros dan tujuan bersama untuk menuju integrasi, kedaulatan dan kemakmuran
bersama.
Atas uraian-uraian tersebut dalam
pembuatan makalah ini kami fokuskan pada “Permasalahan
Kemajemukan yang relevan dengan Etnikitas, Ras atau Nasionalitas di Indonesia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
disekitar Etnikitas
1.
Definisi Istilah
Menurut
Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang
memiliki kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori
tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
Menurut
pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnik
pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam
kehidupan manusia.
Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia"
meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Antropolog Fredrik Barth (1988),
menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki
sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut
etnogenesis. Secara
keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim
kesinambungan budaya
melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah
mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan
norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada
dasarnya adalah temuan yang relatif baru (dalam,
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_etnik).
Etnisitas
terbangun dalam relasi kekuasaan antarkelompok. Ia merupakan sinyal
keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang
selalu berubah. Di sini, pusat dan pinggiran dibentuk dalam representasi
politik. Seperti argumen Barthh (1969), "Adalah penting untuk menjadikan
sebuah aksioma bahwa apa yang direpresentasikan sebagai 'pinggiran' tidaklah
sepenuhnya pinggiran tetapi merupakan efek dari representasi itu sendiri. 'Pusat'
tidaklah lebih pusat daripada pinggiran."Kelompok etnik atau suku bangsa
adalah suatu golongan manusia
yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh
pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya,
bahasa, agama, perilaku
atau ciri-ciri biologis.
Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku
bangsa Batak,
menurut garis keturunan ibu (matrilineal)
seperti suku Minang,
atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
3. Masalah – Masalah Etnisitas di Indonesia
Indonesia adalah
sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama.
Kemajemukan ini diperlihatkan oleh adanya berbagai golongan etnik yang ada
didalamnya di bawah suatu negara kebangsaan (Baarth, 1988: 17). Menurut Hildred
Geertz tidak kurang dari 300 golongan etnik yang mendiami berbagai tempat dan
menyebar di berbagai pulau di Indonesia (Nasikun, 1984:39).
Kebhinekaan/kemajemukan yang tidak terakomodasi dengan baik akan menimbulkan
jarak sosial, yang pada gilirannya menjadi konflik sosial. Pada dasarnya
konflik merupakan interaksi yang menimbulkan pertentangan yang berupa
bentrokan, perkelahian atau peperangan (Suseno, 1991).
Sedangkan Gungwu (1981: 261-264), menilai bahwa Indonesia
merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai
masalah yang kompleks. Salah satu masalah tersebut erat
kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnik non pribumi,
terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnik pribumi. Bertolak
dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnik
terutama golongan etnik keturunan Cina amatlah besar.
Beberapa temuan hasil penelitian menyebutkan, konflik
antar golongan etnik terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Temuan studi
menunjukkan penyebab pemicu timbulnya konflik antar etnik memang sangat
kompleks. Dahrendorf dan Johnson (1990), mengklasifikasikan kondisi yang dapat mempengaruhi konflik
mencakup: (1) kondisi teknik, (2) kondisi politik dan (3) kondisi sosial.
Beberapa penyebab timbulnya jarak sosial dan konflik sosial yang terpokok ialah
faktor ekonomi politik, dan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut bisa
diperparah dengan terabaikannya tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan yang
menuntut kebersamaan. Manakala hal-hal tersebut terjadi maka dengan mudah akan
menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari
berbagai etnik.
Setelah zaman kolonial, keberadaan
etnik di seluruh dunia, termasuk di Indonesia memang tidak lagi berurusan
dengan penjajah, tetapi justru masalah muncul kerena tekanan politik penguasa,
ekonomi dan pengaruh modernisasi/globalisasi yang merangsek dengan teknologi
canggih. Mengutip pendapat Glazer dan Moynihan (1963), Clifford Geertz (1973),
Schefold menyatakan bahwa masalah etnik secara psikologis menjadi sangat kuat
mempengaruhi seseorang karena munculnya kesadaran akan persamaan asal-usul,
tempat kelahiran, bahasa, dan pandangan hidup. Munculnya kesadaran etnik ini di
mata para penguasa secara politis bisa dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk
menekan sikap primodial dan dijadikan wahana pemersatu dalam proses
modernisasi, serta meningkatkan kualitas hubungan sosial. Di Negara-negara
Dunia ke-Tiga, termasuk Indonesia, kesadaran menumbuhkan sikap solidaritas antar
etnik yang berbeda ini terus dipelihara demi memperkukuh persatuan nasional.
Seperti pendapat Geertz, keunggulan domestik dari etnik harus mampu memberi
kontribusi terhadap negara, bukan sebaliknya malah menimbulkan sikap primordial berlebihan.
Indonesia dikenal sebagai negara
yang memiliki keanekaragaman suku yang memiliki tata peraturan yang berbeda.
Keberagaman suku dan etnik ini membuat Indonesia menjadi negara yang unik dan
berwarna warni,tetapi harus diperhatikan juga bahwa keanekaragaman etnik ini
dapat menjadi penyebab utama terjadinya konflik. Sumber sumber terjadinya
konflik antar etnik adalah:
a) Ketimpangan
Ekonomi (seperti konflik antar Ambon dan Maluku)
b) Perbedaan
agama (karena kecenderungan adanya sebagian golongan dari agama yang bersifat agresif
dalam menyiarkan agamanya)
c) Adanya
stigmatis antarakelompok pendatang dengan masyarakat asli
d) Kebijakan-kebijakan
pemerintah (kebijakan yang kadang hanya menguntungkan satu kelompok saja, sehingga
kelompok lain merasa cemburu)
Berikut
adalah beberapa permasalahan etnik yang terjadi di Indonesia:
a.
Permasalahan Etnik Cina.
Semenjak
berabad-abad lalu, etnik Cina berada di Indonesia dengan jumlah cukup besar.
Tetapi, karena persoalan menyangkut etnik masih dianggap peka, sebelum tahun
2000, jumlah suku bangsa/etnik di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam
sensus penduduk Republik Indonesia. Kebijakan ini ditandai dengan penghapusan
pilar-pilar kebudayaan Cina (termasuk penutupan sekolah Cina, pembubaran
organisasi etnik Cina dan pemberedelan mass
media Cina) serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnik Cina. Etnik Cina
dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak biasa diterima
sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri. Menurut
Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe
tentang etnik Cina. Mereka memiliki persepsi bahwa etnik Cina merupakan sebuah
kelompok etnik yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari
pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada
pentingnya kesuku-bangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai
orang asing, walaupun orang tersebut berstatus WNI.
Sedangkan temuan Sanjatmiko (1999) dalam kasus etnik
keturunan Cina dan pribumi di Tangerang, menyimpulkan bahwa faktor renggangnya
jarak sosial dan hubungan antar kedua etnik adalah disebabkan oleh : (1) Tidak
terjadinya perubahan pola kultur etnik keturunan Cina ke dalam penduduk
pribumi, sehingga masih kuatnya in group feeling penduduk etnik
keturunan Cina terhadap kulturnya; (2) Anggapan kultur etnik keturunan Cina
lebih tinggi dari komuniti pribumi: (3) Prasangka stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi yang pemalas, bodoh,
tidak bisa menggunakan kesempatan baik dsb. Sebaliknya steorotipe penduduk etnik pribumi terhadap etnik keturunan Cina
disebut sebagai golongan yang maunya untung sendiri tanpa melihat halal atau
haram; (4) Diskriminasi pribumi terhadap etnik keturunan Cina dalam kesempatan
menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5) Nilai-nilai dan kekuatan
konflik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi
di antara kedua etnik. Berbagai aspek di atas diduga sebagai faktor penyebab
terjadinya jarak sosial antara etnik pribumi dan keturunan Cina.
b. Konflik Etnik di Kalimantan Barat
Menilik kasus-kasus konflik etnik di
Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan warga berbuah kekerasan
komunal etnik yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus konflik etnik
di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnik yang serupa dan berulang.
Meskipun dengan variasi keterlibatan etnik yang berbeda. Tercatat misalnya pada
masa Hindia Belanda ada beberapa kasus konflik yang melibatkan etnik Cina,
Dayak, dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an
yang melibatkan etnik Cina dan Melayu. Dan puncaknya memang kasus konflik etnik
tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnik Madura, Melayu, dan Dayak. Konflik etnik
yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan orang kehilangan
tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa Kalbar
memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnikan
c. Konflik Etnik di Kalimantan Tengah (Tragedi Sampit)
Bahwa
proses marginalisasi dan pemelaratan yang terjadi di Kalimantan Tengah, baik
dari sisi ketidakadilan pemanfaatan sumberdaya alam dan Pembangunan Daerah,
maupun ketidakadilan akan adanya perlindungan hak-hak hidup masyarakat telah
ditambah oleh ketidakmampuan etnik Madura untuk memberikan toleransi terhadap
hampir seluruh aspek kehidupan Suku Dayak Kalimantan Tengah. Adanya arogansi
budaya Suku Madura yang memandang remeh budaya lokal Suku Dayak, menimbulkan
berbagai gesekan yang seluruhnya tidak pernah diselesaikan secara tuntas, baik
oleh masyarakat maupun pemerintah. Akumulasi gesekan-gesekan tersebut
menimbulkan perseteruan dan perkelahian massal yang membesar dan memuncak dari
waktu ke waktu.
Kecenderungan
Suku Madura membawa kenalan, sanak-keluarga, kerabat dan anggota masyarakat
Madura ke Kalimantan Tengah yang kurang berpendidikan dan berlaku kriminal,
tanpa melakukan seleksi terlebih dahulu, telah menyebabkan Kalimantan Tengah
menerima warga Suku Madura yang potensial dan banyak melakukan hal-hal yang
tidak toleran terhadap hampir seluruh aspek kehidupan Suku Dayak. Hal-hal
tersebut telah membangkitkan kerugian yang tidak terhingga bagi Suku Dayak,
baik dari segi moril, mau pun materil. Adanya hujatan bahwa Suku Dayak tidak
beradab, tidak toleran, tidak berkemanusiaan dan lain-lain yang dilansir baik
oleh perorangan mau pun media massa serta elektronik secara luas, tanpa
mempertimbangkan penderitaan berkepanjangan yang timbul dimasyarakat Suku Dayak
akibat kerusuhan yang muncul dari adanya Suku Madura di Kalimantan Tengah.
Adanya kecenderungan pihak Suku Madura
melindungi warganya yang berbuat jahat terhadap Suku Dayak, menyebabkan
akumulasi kebencian yang merupakan masalah umum dan sosial dikalangan warga non
Madura di Kalimantan Tengah. IKAMA menjadi tempat untuk menyelamatkan warga
Suku Madura yang berbuat jahat kepada warga non Madura. Adanya upaya
tokoh-tokoh Suku Madura mendorong peristiwa kerusuhan yang ada di Kalimantan
Tengah hanya muncul dari sisi Suku Dayak, yaitu dengan merujuk akibat kerusuhan
semata, tanpa memperhatikan asal-muasal dan proses-proses yang mandahuluinya.
Terlihat pula upaya tokoh-tokoh Suku
Madura mendorong masyarakat agama untuk berseteru satu dengan lainnya dengan
mengatakan bahwa masalah di kota Sampit adalah pembasmian terhadap umat muslim.
Adanya pertimbangan yang naif dari tokoh-tokoh Madura dengan menelorkan
ancaman-ancaman kepada para petinggi Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk
memaksakan kehendak mereka dalam penyelesaian kerusuhan. Hal ini dilakukan
tanpa mempertimbangkan bahwa Kalimantan Tengah menjadi korban kelalaian para
tokoh-tokoh Suku Madura yang gagal membina warganya yang mencari kehidupan di
Kalimantan Tengah. Suku Dayak Kalimantan Tengah selama ini sangat toleran
terhadap Suku Madura, sehingga pada beberapa keluarga Dayak, telah menerima
anaknya menikah dengan Suku Madura.
1.
Solusi terhadap masalah Etnikitas
Setiap etnik seharusnya tidak tampil
atau mengelompokan diri secara eksklusif. Mengutif pendapat Liddle (1970:16),
Schefold menyatakan, dalam kaitannya dengan kompleksitas hubungan antar negara,
keragaman etnik dengan budaya yang berbeda bisa menjadi kekuatan sosial.
Perbedaan agama atau pandangan hidup misalnya, menjadi ikatan etnik yang kuat
dan mempengaruhi suatu negara secara nasional. Karena itulah, dalam era global
saat ini, perlu digalang sikap loyalitas dan menjaga hubungan harmonis antar
etnik. Terlebih di kawasan Asia Tenggara yang multietnik dan memiliki struktur
yang kuat, sehingga setiap negara semestinya mendukung keberadaan etnik
tersebut untuk menjaga keutuhan negara itu sendiri. Sebaliknya, setiap etnik
juga harus aktif dan berpartisipasi penuh membangun sikap nasionalisme. Belajar
dari perjalanan sejarah itu, semestinya kini dibuka ruang-ruang yang luas dan
pemerintah memberikan fasilitas yang memadai untuk membangun apresiasi estetika
etnik multikultural, sehingga bisa ditarik jalinan benang merah guna
menghindarkan Bangsa Indonesia dari krisis dan konflik antar etnik.
Pendekatan yang dapat digunakan
sebelum mengarah pada fakta persoalan bahwa konflik etnik dapat meledak
sewaktu-waktu adalah dengan cara :
a. Pendekatan
Paradigma
Pendekatan
Paradigma dilakukan bukan hanya untuk merubah pandangan bahwa kelompok etnik
tertentu harus berkuasa dan kelompok etnik lain hanya menjadi kaum proletar,
tetapi juga untuk merubah pandangan bahwa suatu kelompok etnik adalah ancaman
bagi kelompok etnik yang lain. Karena dalam interaksi sosial-ekonomi, kebutuhan
atas kemampuan suatu etnik untuk melengkapi kebutuhan etnik lain sangat
dibutuhkan agar tercipta keselarasan dan kesinambungan interaksi sosial yang
dapat membangun bangsa ini.
b. Pendekatan
Struktural
Pendekatan
Struktural yaitu suatu peraturan yang dikeluarkan secara konstitusi dapat melindungi
suatu etnik dari ancaman etnik lain ataupun dari ancaman kepunahan suatu etnik.
Perlindungan kenegaraan dibutuhkan untuk menciptakan hubungan sosial antar etnik
yang harmonis sehingga dapat mendukung pembangunan nasional.
Keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan kenegaraan dapat meminimalisir
konflik etnik yang terjadi selama Negara tidak memihak pada satu kelompok etnik
saja. Intervensi Negara dalam wacana etnik harus dilakukan secara hati-hati.
Karena kelompok etnik, baik yang terbentuk secara primodial ataupun
konstruksial, mempunyai pandangan yang fanatik terhadap eksistensi etniknya.
Fanatisme inilah yang perlu dirubah atau diperbaiki sesuai dengan pendekatan
utama diatas.
c. Pendekatan
Sosial Kapital
Berbagai
konflik antar etnik telah merebak di berbagai wilayah Indonesia. Jarak sosial
antar etnik yang renggang sering menjadi faktor konflik, hal demikian
sebenarnya tidak perlu terjadi jika sejak awal diupayakan bagaimana mereka
secara sosial sebagai bagian komunitas integral. Karena itu model perekat
sosial sebagai media integrasi, sangat urgen bagi kelangsungan hidup damai
antar etnik. Sejauh ini upaya penanganan konflik masih sebatas bersifat teknis,
sedangkan yang substansial dengan pendekatan sosial-budaya belum menjadi titik
tolak. Pendekatan perekat sosial yang relevan mendasarkan prinsip social
capital, yakni saling percaya antara etnik dengan cara bekerja sama menjalin
hubungan secara timbal balik. Social capital ini berupa pengetahuan,
pengertian, norma, aturan, dan harapan milik bersama sebagai pola interaksi
yang dilakukan kelompok individu dalam menyelesaikan suatu persoalan (Fukuyama
dalam Solow, 1999; 6-12).
Penyelesaian dengan mempererat antar etnik yang bertikai
melalui pendekatan social capital dapat dilakukan dengan tindakan
bersama yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Narayan dan
Pritchett (1999; 269-295), hubungan sosial melibatkan kerjasama menyangkut soal yang
bersifat material dan non material, dapat menjadi fasilitas untuk melakukan
tindakan bersama yang saling bergantung satu sama lain, untuk memenuhi
kebutuhan yang diperlukan di antara kedua etnik.
Model pendekatan social capital secara resmi
maupun tidak resmi, dapat mendukung paling tidak empat fungsi dan kegiatan yang
bisa dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Keempat kegiatan tersebut
mencakup, pertama membuat keputusan (tahap merencanakan dan menilai hasil yang
dicapai), kedua memobilisasi dan mengatur sumber (tahap penyesuaian), dan
ketiga berkenaan dengan komunikasi dan koordinasi (tahap integrasi) serta
resolusi konflik atau (tahap pemeliharaan).
Dampak social capital dalam penyelesaian konflik
adalah dapat mengembangkan atau mengentaskan masalah secara adil. Karena social
capital merupakan seperangkat asosiasi horisontal di antara rakyat yang
berdampak pada produktivitas masyarakat. Asosiasi ini berupa jaringan perekatan
warga dan norma sosial. Pendekatan masalah konflik antar etnik dengan prinsip social
capital juga mampu menyatukan kedua etnik secara bersama berfungsi dalam
penataan sosial dengan identitas budaya, secara umum, rasa memiliki bersama dan
norma perlakuan bersama. Rasa kebersamaan ini mampu menjadi perekat internal
yang secara terus-menerus menuju pada proses hingga tingkat integratif
(Serageldin, 1996).
Beberapa perekat sosial yang memanfaatkan pendekatan social
capital, telah dilakukan beberapa peneliti seperti pada uraian berikut.
Alqadrie, (1999), dalam penelitian konflik antar etnik di Ambon dan Sambas yang
dikaji secara sosiologis, telah dihasilkan beberapa saran model penanganannya.
Menurutnya penanganan ekses konflik antar etnik di Ambon dan Sambas sebaiknya
dilakukan dengan pemecahan yang bersifat jangka pendek, menengah, dan jangka
panjang. Solusi pemecahan konflik tragedi Ambon dalam jangka pendek hendaknya
dilakukan dengan cara : (1) melaksanakan dan melanjutkan pelaksanaan upacara
adat Pela Gandong pada hari-hari besar nasional, dengan memasukkan upacara
tersebut dalam acara pokok. Dalam teknik pelaksanaan acara tersebut anggota
kelompok etnik yang beragama Islam dan Kristen dilibatkan secara seimbang dan
adil. Sedangkan solusi jarak menengah, model perekat sosial yang ditawarkan
adalah : (1) Perlunya melakukan kawin campur antar etnik, dan (2) kemudian
perlu mendirikan forum komunikasi antar kelompok etnik dan agama yang
melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda dalam berbagai tingkat
pemerintahan (Dati II, Kecamatan, Lingkungan, Kampung). Penyelesaian konflik
untuk jangka panjang dengan : (1) Perlunya peningkatan pembinaan umat agama
masing-masing secara terus menerus agar tidak hanya memiliki hubungan vertikal
(hablum minallah), tetapi juga hubungan horisontal (hablum minannaas)
yang tinggi. (2) Perlu otonomi daerah atas propinsi Maluku lebih ditingkatkan
dan diperluas, (3) Pemerintah pusat hendaknya mengurangi kebijakan yang
sentralistik dengan prinsip Top- Down Policy.
Menurut Pelly, (1999) alternatif perekat sosial untuk
meredam konflik antar etnik yang terjadi di Ambon, Maluku seharusnya dengan
cara: (1) Membebaskan rakyat dari segala bentuk monopoli pusat dan rekayasa
sosial yang terselubung atau tidak baik dalam bidang pertanian, perdagangan,
birokrasi pemerintahan dan kehidupan sosial budaya. (2) Menata kembali division
of labour dalam perkembangan yang adil dan proporsional antar masyarakat
Ambon dan masyarakat pendatang. (3) Menghidupkan kembali kesepakatan bersama
terhadap wilayah kawasan domisili kelompok-kelompok keturunan asal Ambon yang
mengatur lokasi pemukiman utama orang asal Ambon sebelum kedatangan Belanda.
Sedangkan dalam kasus anti etnik keturunan Cina di Medan dan Jakarta, Pelly
juga menyarankan solusi konflik antar etnik dengan : (1) Perlunya kerjasama
antara pemuka masyarakat, pemerintahan, dan aparat terutama para pemuka
kelompok masyarakat etnik, adat dan agama yang baik dan tangguh. (2) Perlunya
daya akomodatif, kekuatan moral dan independensi masyarakat kota Medan yang
masih kuat untuk menerima perbedaan, tantangan dan hasutan dari pihak luar
(29-31).
Menurut Uphoff (1999: 215-221) supaya berhasil
mengembangkan hubungan baik secara sosial agar tidak terjadi konflik perlu
memperhatikan dua hal penting. Pertama, perlu pemahaman struktur yang
mengutamakan pentingnya aspek peranan, norma dan prosedur serta mekanisme kerja
yang harus dilakukan dalam menjalin kerjasama agar saling memperoleh keuntungan
kedua belah pihak. Kedua, perlu pemahaman pengetahuan yang berkaitan dengan
norma, nilai, sikap dan kepercayaan antara kelompok yang akan menjalin
kerjasama. Pengelompokkan social
capital secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut.
Pengelompokkan social capital
Keterangan
|
Aspek struktur
|
Aspek kesadaran
|
Peranan dan
aturan, jaringan dan hubungan antar pribadi, hubungan prosedur
|
Norma,
nilai, sikap, kepercayaan
|
|
Faktor-faktor
dinamis
|
Organisasi
sosial, hubungan horisontal dan vertikal
|
Budaya
kewarganegaraan, kepercayaan, solidaritas, kerjasama
|
Elemen-elemen
umum
|
Harapan
yang mengarah kerja sama yang menghasilkan keuntungan kedua pihak
|
Prosedur ini merupakan proses pemahaman untuk
melakukan kegiatan dan fungsi melalui peranan dan aturan yang secara luas
dimengerti dan diterima. Hal-hal yang perlu dicontoh adalah tindakan yang
memperkuat nilai-nilai dari peranan, aturan-aturan serta prosedurnya.
B. Pembahasan
Ras
1. Definisi Istilah
Ras (Race) adalah
kumpulan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berciri khas biologi
tersendiri yang diwarisi, dan dapat dibedakan dengan
jelas dalam masyarakat (Macionis, 1998:214). Pembagian ras manusia dapat dikategorikan menjadi: Caucasoid, Mongoloid, Negroid
dan Australoid dengan berdasarkan kepada perbedaan fisikal seperti: warna
kulit, warna rambut, bentuk wajah, dan lain-lain.
Walaupun kita sadari bahwa pembagian tersebut adalah pembagian secara kasar, kerena memang
terdapat golongan yang sukar diklasifikasikan ke dalam salah satu kelompok ras. Hal ini karena manusia
sentiasa bergerak, bersosial, berinteraksi dan melakukan perkawinan campuran sering
berlaku di antara satu sama lain. Akibatnya akan
menghasilkan ras baru yang
mempunyai keturunan campuran yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu kumpulan ras.
Menurut Academic American Encyclopedia (Volume
16:37), ras didefi-nisikan
sebagai teori atau falsafah yang menyatakan seseorang mewarisi ciri-ciri
seperti warna kulit, bentuk wajah, warna rambut, tingkat laku, atau tingkat intelektual. Pengertian ini menyebabkan
sebagian manusia mengangggap ras mereka
adalah lebih unggul daripada ras lain.
Penyalahgunaan
konsep ras dalam konteks ini menyebabkan berlakunya prasangka dan diskriminasi
di antara golongan tertentu di dalam dunia. Walau bagaimanapun, pengertian ini
telah disangkal oleh Encyclopedia of
Religion. Sebaliknya menurut Encyclopedia
of Religion (Volume 12:184), menjelaskan
bahwa manusia
tidak sepatutnya di kelaskan mengikut ras. Manusia adalah dalam satu kelas yang
sama dan setara. Tiada manusia yang lebih baik atau lebih handal dari yang lain
semata-mata karena perbedaan warna
kulit, bentuk rupa dan sebagainya.
Pada
hakikatnya, ras memang sukar untuk didefinasikan dengan jelas dan tepat karena telah terjadi campur-baur golongan
yang asli disebabkan
migrasi dan perkawinan campuran. Banyak ahli sosiologi yang setuju
dengan pendapat tersebut. Misalnya, Van den Berghe (1967), berpendapat bahwa istilah ras itu dibedakan atas empat pengertian utama:
a.
Ras digunakan sebagai satu konsep biologi untuk membedakan manusia
atas dasar perbedaan "phenotype"
dan "genotype". Walaupun hal ini tidak adanya kesepakatan yang dicapai oleh ahli antropologi
dan sosiologi, dan
kebelakangan ini pengertian tersebut ditolak oleh
sebagian besar pakar sains sosial.
b.
Ras juga digunakan untuk memperihatkan suatu
kelompok manusia yang mempunyai beberapa ciri kebudayaan yang sama seperti
bahasa dan agama (Misal: ras Perancis, dan ras
Yahudi).
c.
Ras juga digunakan dalam pengertian luas sebagai kesamaan
pengertian perkataan spesis
(species). (Misalanya: ras
manusia).
d.
Ras juga digunakan untuk merujuk kepada suatu kelompok
manusia yang menganggap diri atau dianggap oleh kelompok lain sebagai berbeda dibanding kelompok-kelompok mereka atas dasar
perbedaan fisikal yang
tidak dapat diubah.
2. Mendalami Konsep Rasisme
Prasangka
atau prejudis (prejudice) merupakan akar permasalahan segala bentuk rasisme. Prasangka adalah satu pandangan
yang buruk terhadap individu atau kelompok manusia lain dengan hanya merujuk
kepada ciri-ciri tertentu seperti ras, agama, pekerjaan, atau kelas (Macionis,
1998). Sebagai contoh, kaum kulit hitam dianggap kurang dari segi intelektual
dan kekayaan.
Kebiasaan yang ada, prasangka timbul akibat penilaian awal (prejudgement) yang
dibentuk tidak merujuk pada tinjauan
terhadap fakta-fakta yang sebenarnya. Perasaan
prasangka seringkali dijadikan alat oleh golongan mayoritas untuk
menindas golongan minoritas. Walau
bagaimanapun, ia tidak berarti bahwa
golongan minoritas yang
tertekan tidak mempunyai prasangka terhadap anggota majoritas atau
kelompok lain(Teori Scapegoat : Dollard,
1939).
Kesan dari
prasangka lama-kelamaan akan semakin
menebal, secara membuta-buta tanpa sebab
dan dikaitkan dengan perasaan cemburu dan prasangka (Oliver, 1976). Rasisme
sering dikaitkan dengan keganasan dan kemusnahan. Kesan
"pembersihan etnik" (ethnic cleansing) yang terjadi
pada kaum Yahudi semasa pemerintahan Hitler merupakan contoh terbaik, di mana
rasisme telah mengakibatkan beribu-ribu keturunan Yahudi menjadi mangsa dalam
tindakan untuk menonjolkan kaum Jerman sebagai kaum terunggul (Macionis,
1998:223).
Rasisme
merupakan suatu masalah rumit yang dihadapi oleh dunia. Beberapa percobaan telah
dibuat untuk menerangkan asal-usul fenomena ini. Ahli psikologi mencoba untuk mencari penyebab rasisme dari
personaliti individu, dan dikaitkan dengan soal kekecewaan atau authoritarian
personality (penguasaan individu dominan ke atas yang lemah) (Macionis,
1998:48). Bagi ahli sosiologi yang berhaluan Marxis, rasisme lebih merupakan
sebagian dari ideologi kaum Bourgeasie (golongan kelas atasan) untuk
mempertahankan eksploitasi dan penindasan ke atas kaum bukan kulit putih dalam jaman
penjajahan, perhambaan dan imperialisme (Macionis, 1998:220).
Walau
bagaimanapun, dua syarat perlu dipenuhi sebelum masalah rasisme terwujud.
Syarat yang pertama ialah kewujudan dua atau lebih kelompok yang berbeda dari segi
fisikal supaya mereka dapat dibagi ke
dalam beberapa kategori. Kedua, kelompok-kelompok tadi perlu juga berbeda dari segi
kebudayaan dan berada dalam keadaan ketidaksamaan yang institutionalized (Ting
Chew Peh, 1983:91).
3. Masalah Ras (Ras Cina) di
Indonesia
Semenjak
berabad-abad lalu, Ras Cina berada
di Indonesia dengan jumlah cukup besar. Tetapi, karena persoalan menyangkut etnik
masih dianggap peka, sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnik di Indonesia
tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Kebijakan
ini ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Cina (termasuk penutupan
sekolah Cina, pembubaran organisasi ras Cina dan
pemberedelan mass media Cina) serta simbol-simbol dan adat-istiadat ras Cina. Ras Cina
dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak biasa diterima
sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri. Menurut
Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang ras Cina. Mereka memiliki
persepsi bahwa ras Cina merupakan sebuah kelompok ras yang menduduki tangga
ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat
majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan
posisi orang Cina sebagai orang asing, walaupun orang Cina tersebut berstatus
WNI
Ras Cina adalah ras yang paling
banyak dianggap menimbulkan masalah di Indonesia. Sudah lama kebencian atas ras
ini menghasilkan konflik berat bahkan berdarah di banyak kota di Indonesia,
bahkan eskalasinya kian tahun kian meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan
Mei 1998 dimana di Medan, Palembang, Solo, Surabaya, dan terutama Jakarta,
ribuan objek ekonomi
ras ini dijarah, dihancurkan, dan dibakar massa.
Ribuan mobil dan motor yang dimiliki dan dikendarai ras ini
ikut dibakar, dan ini memuncak dengan terjadinya perkosaan dan pembunuhan
terhadap wanita ras ini yang menurut tim relawan mencapai angka 168 kasus
dimana 152 terjadi di Jakarta, dan menurut laporan resmi Tim Gabungan Pencari
Fakta mencapai sepertiga angka itu, sedang sisanya terjadi di Palembang, Solo
dan Surabaya.
Mengapa sampai masalah Ras Cina menjadi
malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia? Soal ini
tetap aktual untuk dibahas mengingat bahwa sejak era reformasi tahun 1999
premordialisme ras ini mencuat kembali yang tentu akan berdampak bagi
kerukunan-antar-umat-yang berbeda suku/ras di Indonesia.
Sumber Masalah
Ada beberapa sumber masalah yang
melatarbelakangi timbulnya rasialisme yang menimpa ras Cina. Bukan saja karena
ras ini merupakan pendatang dari luar bumi Indonesia, tetapi ras ini mempunyai
tradisi budaya yang kuat dan sangat berbeda sekali dengan tradisi pribumi yang
ternyata tidak mudah untuk bersesuaian, juga perlakuan kolonialisme Belanda
yang mengistimewakan ras ini sehingga secara tidak sadar ras ini telah menjadi
bumper/perisai yang berfungsi sebagai peredam konflik antara penjajah Belanda
dan pribumi khususnya menyangkut masalah ekonomi.
Cacat sejarah itu tidak berhenti sesudah
Indonesia merdeka, soalnya dalam alam Orde Lama ras ini yang sudah memegang
kendali ekonomi sebagai warisan kolonialisme Belanda tetap memegang
supremasinya dan bahkan dibawah kepemimpinan Orde Baru
hegemoni ekonomi itu bahkan menimbulkan praktek KKN dengan penguasa.
Masalah lain yang lebih memperparah lagi
adalah adanya mayoritas ras Cina yang berbeda agama dengan agama yang dianut
mayoritas penduduk pribumi Indonesia. Sebagian besar ras Cina menganut agama
leluhur yaitu Buddha, Taoisme,
Konghucu atau gabungan ketiganya (Tridharma), sebagian lain menganut agama
Kristen, dan hanya sebagian kecil saja yang menganut agama Islam. Masalah lain
yang ikut menajamkan perbedaan adalah bahwa supremasi ekonomi itu menghasilkan
penguasaan ekonomi Indonesia yang dikatakan sekitar 60-70%nya dikuasai para
pedagang dan konglomerat Cina.
5. Solusi terhadap
masalah Rasisme
Konflik ras ini tidak akan
menguntungkan negara maupun rakyatnya. Banyak rakyat yang tidak berdosa telah menjadi korban dan
banyak harta yang musnah. Malah membawa kerugian dan pengalaman pahit kepada
rakyat di negara yang berlakunya masalah konflik ras.
Tiga macam
pendekatan yang paling populer di antara pendekatan-pendekatan yang lain, untuk
pembahasan masalah konflik ras yang terjadi dalam masyarakat yang majemuk, yaitu:
a.
Pendekatan
fungsional struktural
Pendekatan
ini menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi di atas dasar kata
sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang memiliki daya
mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota
masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional
terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium.
Fungsionalisme
struktural mula-mula tumbuh dari cara melihat masyarakat yang menganalogikan
masyarakat dengan organisme biologis, suatu pendekatan yang dikenal sebagai organismic approach. Plato, misalnya,
membandingkan tiga kelas sosial: yaitu penguasa, militer, dan kaum pekerja
tangan, masing-masing dengan daya pikir, perasaan atau semangat, dan nafsu. Cara
menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis berkembang subur pada masa
sebelum Aguste Comte memperkenalkan filsafat positifnya, dan oleh karena itu
tidak mengherankan apabila pendekatan organismik muncul terutama pada awal
pertumbuhan sejarah sosiologi. Perwujudan yang paling penting dari pendekatan
tersebut tergambar di dalam usaha untuk menerangkan hubungan antara konsep
struktur dan fungsi, yang sudah muncul di dalam pemikiran Herbert Spencer,
Emile Durkheim, dan yang kemudian mencapai bentuk yang lebih jelas di dalam
pemikiran para ahli antropologi Inggris Bronislaw Malinowski dan
Redcliffe-Brown. Pendekatan tersebut pada akhirnya mencapai tingkat
perkembangannya yang sangat berpengaruh di dalam sosiologi Amerika, khusunya di
dalam pemikiran Talcott Parsons dan para pengikutnya.
b.
Pendekatan
konflik
Pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar sebagai
berikut:
1)
Setiap
masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah
berakhir, atau perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat.
2)
Setiap
masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau konflik adalah
merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3)
Setiap
unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya
disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4)
Setiap
masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang
atas sejumlah orang-orang yang lain.
c.
Sintesis
antara pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik.
Sintesis dua
pendekatan tersebut dapat dilakukan mengingat bahwa keduanya mengandung
kesamaan-kesamaan tertentu. Akan tetapi, sebaliknya seperti apa yang
dikemukakan oleh van den Berghe, kebutuhan untuk mensintesiskan kedua
pendekatan tersebut menurut Nasikun (1995: 27), justru harus didasarkan
terutama pada kenyataan bahwa keduanya ternyata saling melengkapi satu sama
lain. David Lockwood telah memperingatkan kita betapa konsensus dan konflik
adalah merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama: konsensus dan konflik
adalah merupakan dua gejala yang melekat bersama-sama di dalam setiap
masyarakat. Oleh karena itu dua macam pendekatan yang masing-masing
dikembangkan di atas anggapan-anggapan dasar yang hanya menekankan pada salah
satu di antara kedua gejala tersebut patut diintegrasikan. Kebutuhan untuk
mensintesiskan keduanya menjadi lebih penting lagi artinya apabila kita
dihadapkan pada keharusan untuk menganalisis masyarakat Indonesia.
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara
horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, adat serta
perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan
lapisan bawah yang cukup tajam.
C. Pembahasan Nasionalitas
1.
Definisi
Istilah
Identitas dan nasionalitas merupakan faktor penting bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Faktor yang menyebabkannya penting karena
identitas dan nasionalitas secara teoretis merupakan unsur utama dalam
menyangga keberlangsungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu berangkat dari
satu pengandaian teoretis bahwa “kecintaan” dan perasaan “memiliki” seseorang
kepada masyarakat dan bangsanya, bergantung pada bagaimana seseorang
mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, suatu konsep identitas yang
sepenuhnya imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. “Rumusan” seseorang dalam
mendefinisikan dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi implikasi langsung
bagaimana seseorang mempraktikkan dirinya dalam kehidupan sosial, politik, atau
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai bangsa kita memang membutuhkan identitas , jati diri
yang berbeda dari bangsa yang lainnya. Sebetulnya kita sudah punya indentitas
yaitu “Indonesia”. Identitas ini yang harus dipertahankan dengan cara
bersatu.
Nasionalitas itu ada bukan karena skala local semata-mata.
Pengertian nasionalitas menurut Fishman ini berbeda dengan pengertian suku dan
etnik, yang ia perikan sebagai satuan sosiokultural yang lebih sederhana, lebih
kecil, lebih, partikularistik dan lebih lokalistik daripada pengertian
nasionalitas itu. Jadi, sebagai satuan sosiokultural, nasionalitas lebih
besar daripada suku atau kelompok etnik.
Bangsa, pada dasarnya adalah sebuah komunitas. Sebab, tak
peduli akan adanya ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi yang mungkin lestari
dalam tiap bangsa, bangsa itu sendiri dimengerti sebagai kesetiakawanan yang
mendalam dengan arah mendatar horisontal.
Bangsa (nation)
adalah suatu ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan
sebagai entitas dari suatu kinship (kerabat) yang biasanya diikat oleh suatu
kemampuan self-rule. Negara (state)
adalah suatu ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas politik yang tumbuh
berdasarkan kontrak sosial, meletakkan individu ke dalam kerangka
kewarganegaraan (citizenship). Dalam
kerangka ini, individu dipertautkan dengan suatu komunitas politik (negara)
dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum. Dengan kata lain bangsa
beroperasi atas prinsip kekariban. Sedangkan negara beroperasi atas prinsip
hukum dan keadilan.
2. Tantangan
Bukan rahasia lagi kalau kita mengatakan nasionalisme atau rasa
kebangsaan generasi muda makin menipis. Rasa nasionalisme bangsa Indonesia di
kalangan dewasa pun juga makin menipis dikarenakan adanya perubahan yang
terjadi di dunia internasional maupun di Indonesia sendiri. Menipisnya
nasionalisme bangsa Indonesia sendiri juga disebabkan karena beberapa
tantangan, yaitu :
a. Krisis
Multidimensional yang Berkepanjangan
Relevansi semangat kebangsaan ditentukan oleh bagaimana
istilah kebangsaan tersebut dipahami. Makna kebangsaan sendiri secara praktis
tentunya dapat dibaca dalam sudut pandang yang berbeda-beda baik dari sudut
pandang negara maupun masyarakat sipil ataupun dari perspektif kelas-kelas
sosial dalam masyarakat. Dalam perspektif politik negara, kebangsaan digunakan
untuk memperkuat legitimasi negara yang berdiri di atas semua kepentingan
golongan atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal tersebut dimanifestasikan
dalam konstitusi hampir setiap negara di dunia yang mengatakan bahwa salah satu
fungsi negara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa beserta keutuhan
wilayah negara bangsa. Atas nama menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan
wilayah, aparat-aparat negara diberikan legitimasi untuk melakukan kekerasan
terhadap anggota-anggota masyarakat yang dianggap mengancam keamanan negara.
Setiap negara yang memiliki sifat-sifat totaliter selalu
menggunakan nasionalisme sebagai alasan-alasan mendasar untuk menerapkan
kebijakan-kebijakan ya yang mengandung unsur-unsur kekerasan. Namun demikian,
totalitarianisme harus dipahami dalam arti luas, yaitu sebagai tendensi sentral
dari setiap negara modern (Giddens,
2002). Negara demokrasi modern diakui
memiliki sumber kekuasaan yang persuasif, namun tidak berarti sistem ini bebas
dari kekerasan karena dalam sistem ini melekat kekerasan struktural yang
dibangun oleh kapitalisme. Kekerasan dilakukan the rulling class terhadap mayoritas masyarakat melalui kebijakan
negara dan dijalankan oleh struktur ekonomi dan politik negara. Kontradiksi
dalam negara demokrasi modern adalah tarik menarik antara kepentingan negara
untuk melindungi kepentingan pemodal dan kepentingan untuk menuntut legitimasi
dari rakyat. Dalam konteks ini, makna kebangsaan tidak pernah diletakkan dalam
konteks sosial ekonomi. Pertanyaan tentang kedaulatan ekonomi nasional dianggap
tidak relevan karena eksistensi negara bangsa diletakkan di bawah kepentingan
tata ekonomi dunia yang kapitalistik.
Dengan demikian lahirnya republik ini tidak mampu melepaskan
diri dari kolonialisme dan imperialisme global yang mengalami metamorfose ke
dalam Transnational Corporations dan
organisasi-organisasi keuangan internasional seperti IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Semangat
kebangsaan yang digelorakan oleh para founding
fathers seperti dipertanyakan relevansinya ketika bangsa ini tidak mampu
keluar dari krisis. Krisis tidak dipahami sebagai akibat dari ketergantungan
Indonesia dengan tata ekonomi internasional. Bahkan, para penyelenggara
kekuasaan negara cenderung percaya kepada kekuatan-kekuatan ekonomi
internasinal sebagai juru selamat daripada percaya kepada kekuatan rakyat. Hal
ini berbeda dengan Malaysia dan Thailand yang tidak mau bergantung kepada IMF,
hasilnya adalah Malaysia dan Thailand lebih dulu keluar dari krisis dan dapat
berdiri secara terhormat di antara bangsa-bangsa. Indonesia secara simbolik
adalah negara merdeka, tetapi secara substantial adalah salah satu negara
bagian dari negara adi kuasa yang sekarang ini menguasai tata ekonomi dan
politik dunia. Krisis yang berkepanjangan haruslah dipahami sebagai desain
politik global untuk menjaga ketergantungan Indonesia dengan kapitalisme dunia.
Semangat kebangsaan akan menjadi relevan kalau dipahami
secara komprehensif baik dari sudut pandang negara maupun masyarakat. Negara
ini telah kehilangan kedaulatannya dan kehilangan legitimasinya untuk bertindak
atas nama kepentingan rakyat. Semangat kebangsaan diperlukan untuk menanamkan
kesadaran revolusioner masyarakat sipil bahwa negara ini telah kehilangan
kedaulatannya dan mendorong masyarakat sipil untuk memaksa negara agar dapat
kembali kepada fungsinya sebagai representasi dari kepentingan rakyat.
Kesadaran dan semangat revolusi menentang negara yang menjadi manajer dari
perusahaan-perusaha an asing dan borjuasi nasional adalah semangat kebangsaan
itu sendiri. Mewujudkan Indonesia yang merdeka 100% seperti dikatakan oleh Tan
Malaka adalah sebagian dari cara-cara menjaga semangat kebangsaan agar
perjalanan sejarah bangsa Indonesia ke depan dapat diselamatkan. Semangat
kebangsaan yang dikampanyaken oleh aparat-aparat negara selama ini sesungguhnya
tidak bermakna sedikit pun karena mereka sendiri lah yang menjadikan diri
mereka sebagai bagian dari dominasi dan hegemoni kapitalisme global.
b. Kurangnya
rasa persamaan nasib
Nasionalisme di Indonesia semasa pergerakan nasional sampai
dengan awal kemerdekaan dibangun oleh semangat “persamaan nasib”. Banyak yang
keliru bahwa nasionalisme Indonesia disebabkan oleh semangat sektarian maupun primordial etnik. Persamaan nasib (dijajah dan keinginan untuk
menentukan nasib sendiri yang kuat) inilah yang menjadi triger atau pemicu sehingga membuat seluruh lapisan bangsa
Indonesia memiliki sikap yang sama menuju Indonesia merdeka. Kesadaran kolektif
inilah yang membuat Indonesia mampu memproklamirkan kemerdekaannya setelah
usainya PD II dan menjaga keutuhan bangsa ini selama Perang Kemerdekaan.
Lunturnya nasionalisme di Indonesia juga dikarenakan
kurangnya persamaan nasib tersebut. Adanya korelasi yang sangat kuat antara
kesenjangan baik secara sosial maupun ekonomi terjadi di strata masyarakat
Indonesia dengan semangat nasionalisme. Persoalan SARA yang muncul oleh karena
kurangnya persamaan nasib juga menjadi masalah yang seringkali menjadi
perdebatan dalam negeri ini.
c. Kurangnya
rasa menghargai dan bangga terhadap budaya sendiri
Banyak orang bahkan hampir sebagian rakyat Indonesia kurang
bangga pada negaranya sendiri. Padahal, banyak faktor-faktor yang bisa membuat
kita bangga sebagai warga Indonesia, antara lain:
No
|
Faktor-Faktor yang
bisa membuat kita bangga sebagai warga Indonesia
|
1
|
Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan
6.000 pulau yang tidak berpenghuni). Disini
ada 3 dari 6 pulau terbesar didunia, yaitu: Kalimantan (pulau terbesar ketiga
di dunia dgn luas 539.460 km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981
km2).
|
2
|
Indonesia adalah Negara maritim terbesar di dunia dengan perairan
seluas 93 ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km2 atau hampir 25%
panjang pantai di dunia.
|
3
|
Pulau Jawa adalah pulau terpadat di dunia dimana sekitar 60% hampir
penduduk Indonesia (sekitar 130 jt jiwa) tinggal di pulau yang luasnya hanya
7% dari seluruh wilayah RI.
|
4
|
Indonesia merupakan Negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia.
Terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnik, dimana di Papua saja terdapat 270
suku.
|
5
|
Negara dengan bahasa daerah yang terbanyak, yaitu, 583 bahasa dan
dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia
. Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia walaupun bahasa daerah dengan
jumlah pemakai terbanyak di Indonesia adalah bahasa Jawa.
|
6
|
Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Jumlah pemeluk agama
Islam di Indonesia sekitar 216 juta jiwa atau 88% dari penduduk Indonesia .
Juga memiliki jumlah masjid terbanyak dan Negara asal jamaah haji terbesar di
dunia.
|
7
|
Monumen Budha (candi) terbesar di dunia adalah Candi Borobudur di Jawa
Tengah dengan tinggi 42 meter (10 tingkat) dan panjang relief lebih dari 1
km. Diperkirakan dibuat selama 40 tahun oleh Dinasti Syailendra pada masa
kerajaan Mataram Kuno (750-850).
|
8
|
Tempat ditemukannya manusia purba tertua di dunia, yaitu :
Pithecanthropus Erectus yang
diperkirakan berasal dari 1,8 juta tahun yang lalu.
|
9
|
Tempat ditemukannya manusia purba tertua di dunia, yaitu :
Pithecanthropus Erectus’ yang diperkirakan berasal dari 1,8 juta tahun yang
lalu.
|
10
|
Indonesia adalah Negara pertama (hingga kini satu-satunya) yang pernah
keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tgl 7 Januari 1965. RI
bergabung kembali ke dalam PBB pada tahun 1966.
|
11
|
Tim bulutangkis Indonesia adalah yang terbanyak merebut lambang
supremasi bulutangkis pria, Thomas Cup, yaitu sebanyak 13 x (pertama kali th
1958 & terakhir 2002).
|
12
|
Indonesia adalah penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia (20%
dari suplai seluruh dunia) juga produsen timah terbesar kedua.
|
13
|
Indonesia menempati peringkat 1 dalam produk pertanian, yaitu : cengkeh
(cloves) & pala (nutmeg), serta no.2 dalam karet alam (Natural Rubber)
dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil).
|
14
|
Indonesia adalah pengekspor terbesar kayu lapis (plywood), yaitu
sekitar 80% di pasar dunia.
|
15
|
Terumbu Karang (Coral Reef) Indonesia adalah yang terkaya (18% dari
total dunia).
|
16
|
Indonesia memiliki species ikan hiu terbanyak didunia yaitu 150 species
|
17
|
Biodiversity Anggrek terbeser didunia : 6 ribu jenis anggrek, mulai
dari yang terbesar (Anggrek Macan atau Grammatophyllum Speciosum) sampai yang
terkecil (Taeniophyllum, yang tidak berdaun), termasuk Anggrek Hitam yang
langka dan hanya terdapat di Papua.
|
18
|
Memiliki hutan bakau terbesar di dunia. Tanaman ini bermanfaat untuk
mencegah pengikisan air laut/abrasi.
|
19
|
Binatang purba yang masih hidup : Komodo yang hanya terdapat di pulau
Komodo, NTT adalah kadal terbesar di dunia. Panjangnya bias mencapai 3 meter
dan beratnya 90 kg.
|
20
|
Rafflesia Arnoldi yang tumbuh di Sumatera adalah bunga terbesar di
dunia. Ketika bunganya mekar, diameternya mencapai 1 meter.
|
21
|
Memiliki primata terkecil di dunia , yaitu Tarsier Pygmy (Tarsius
Pumilus) atau disebut juga Tarsier Gunung yang panjangnya hanya 10 cm. Hewan
yang mirip monyet dan hidupnya diatas pohon ini terdapat di Sulawesi.
|
22
|
Tempat ditemukannya ular terpanjang di dunia yaitu, Python Reticulates
sepanjang 10 meter di Sulawesi.
|
23
|
Ikan terkecil di dunia yang ditemukan baru-baru ini di rawa-rawa berlumpur
Sumatera. Panjang 7,9 mm ketika dewasa atau kurang lebih sebesar nyamuk.
Tubuh ikan ini transparan dan tidak mempunyai tulang kepala.
|
III. KESIMPULAN
1. Sifat
majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula
dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan
mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional
Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.
2. Dalam
rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat
(1982:345-346) melihat ada empat masaah pokok yang dihadapi, ialah:
a. mempersatukan
aneka-warna suku-bangsa,
b. hubungan
antar umat beragama,
c. hubungan
mayoritas-minoritas dan
d. integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan
kebudayaan Indonesia.
3. Upaya
untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah
sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang
terjadi di kalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan
mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan
memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga
akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan. Berbagai perubahan
dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis adalah akibat interaksi
sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan
kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition),
pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses
sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa,
terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.
4. Faktor
integrasi bangsa Indonesia rasa senasib dan sepenanggungan serta rasa
seperjuanagan di masa lalu ketika mengalami penjajahan. Penjajahan menimbulkan
tekanan baik mental ataupun fisik. Tekanan yang berlarut-larut akan melahirkan
reaksi dari yang ditekan (di jajah). Sehingga muncul kesadaran ingin
memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kesadaran ini, maka keberagaman suku atau
golongan yang ada di Indonesia tidak dipermasalahkan semuanya bersatu, berjuang
untuk merdeka. Sehingga terbentuklah negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Selain itu, sumpah pemuda merupakan salah satu
faktor integrasi bangsa karena isinya adalah persatuan yaitu berbangsa satu,
bertanah air satu dan berbahasa satu Indonesia.
5. Faktor
disintegrasi bangsa di antaranya ialah negara yang berbentuk kepulauan yang
dipisahkan oleh lautan, sehingga akan memunculkan sikap ingin menguasai daerah
sendiri dan tidak mau diatur.Kemudian keberagaman suku, ras, agama bisa memicu
disintegrasi bangsa, karena setiap golongan pasti mempunyai budaya, watak, dan
adat yang berbeda dan yang pasti mereka masing-masing mempunyai ego kesukuan (Chauvinisme) sehingga kan mudah konflik
dengan suku-suku yang lain. Faktor disintegrasi yang lain ialah rasa
ketidakadilan yang memicu pemberontakan kepada yang berbuat tidak adil. Jika
pemerintah Indonesia tidak berbuat adil pada setiap daerah yang ada di
Indonesia maka akan menimbulkan rasa ketidakpuasan dari masyarakat yang
berdomisili di daerah tersebut, sehingga pada akhirnya ada keinginan untuk
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Kemajemukan
bangsa Indonesia yang meliputi bahasa, budaya,suku, agama dan ras, bisa menjadi
daya integrasi maupun disintegrasi bangsa kita. Seperti yang kita ketahui,
dengan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia kita dapat berkomunikasi antar
suku dan ras sehingga hubungan akan terjalin dengan baik dan dapat mempererat
persaudaraan sebagai satu bangsa besar yaitu bangsa Indonesia. Selain itu,
keragaman antar budaya termasuk bahasa akan saling melengkapi satu sama lainnya
menjadi kebudayaan nasional yang akan menjadi kebanggaan semua suku dan ras
yang ada di Indonesia..
7. Dan
yang ke dua, kemajemukan bangsa kita juga dapat menjadi daya disintegrasi
bangsa karena dengan keragaman itu, rentan sekali terhadap konflik antar suku
dan daerah, terutama masalah agama seperti yang terjadi akhir-akhir ini di
kawasan timur Indonesia. Selain faktor kemajemukan budaya, penyebab
disintegrasi bangsa Indonesia juga terpicu oleh sentralisasi pembangunan yang
selama ini lebih terfokus di pulau Jawa, sehingga menyebabkan kesenjangan dan
kecemburuan dari daerah lain, sehingga timbul keinginan untuk memisahkan diri
dari NKRI yang bisa menjadi faktor integrasi bangsa adalah semboyan kita yang
terkenal yaitu bhineka tunggal ika, dimana kita terpisah-pisah oleh laut tetapi
kita mempunyai ideologi yang sama yaitu pancasila.sedangkan yang menjadi faktor
desintegrasi bangsa adalah kurang adanya rasa nasionalisme yang tinggi,
kurangnya rasa toleransi sesama bangsa, campur tangan pihak asing dalam masalah
bangsa.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Alqadri, Syarif Ibrahim. 1999. Konflik Etnik di
Ambon dan Sambas : Suatu Tinjauan Sosiologis”.
Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Th. XXIII, No. 58 Januari – April. Jakarta : Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
Barth, Frederick. 1988. Kelompok
Etnik dan Batasannya, terjemahan Nining L.S. Jakarta : UI Press.
Fukuyama, Francis. 1997. Social Capital. Tanner Lecturers, Brasenose College, Ofxord:
Processed, Institute of Public Policy, George Mason University, Fairfax,
Virginia.
Furnivall. 1967.
Netherlands India: A Study of Plural
Economy. Cambridge at The University Press.
Gungwu, Wang .1991. Kajian Tentang Identitas Orang
Cina di Indonesia dalam Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Terjemahan Ahmad. Jakarta : Grafiti Press.
Hall, Stuart. 1996. On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall. dalam David Morley dan Kuan-Hsing Chen
(eds.), Stuart Hall, London: Routledge.
Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 2. (terj. Robert M.Z.
Lawang). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Johnson. 1996. Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat
Industri, Sebuah Analisis Kritik. Jakarta : Rajawali.
Kelompok Etnik dalam Http://
id. Wikipedia,org/wiki
Koentjaraningrat. 1982. Ritus
Peralihan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Macionis, John J. 1997. Sociology
Sixth Edition. New Jersey: Previtice Hall
Oliver
Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta : Rajawali Press.
Pelly, Usman. 1999. Akar Kerusuhan Etnik di Indonesia. Dalam
Jurnal Antropologi Indonesia Th. XXIII, No. 58 Januari-April. Jakarta : Jurusan
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Pierre L.van den
Berghe. 1967. Dialectic and
Functionalism : Towarda Synthesis, dalam N.J. ... The Free Press, New York,
Collier Macmillan Limited, London.
Sanjatmiko, Prihandoko. 1999. Orang Keturunan Cina Di Tanggerang : Suatu Kajian Tentang
Faktor-faktor yang Mendorong dan Menghambat Proses Asimilasi Antara Penduduk
Golongan Etnik Keturunan Cina Terhadap Penduduk Golongan Etnik Pribumi” dalam Makara
Jurnal Penelitian Universitas Indonesia No. 3 seri C Agustus. Jakarta :
Universitas Indonesia. H. 70-77.
Simatupang, Richard
Burton. 2003. Aspek Hukum
Dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta
Ting Chew Peh. 1979. Konsep
asas sosiologi. Dewan Bahasa Dan Pustaka. Kuala Lumpur.Giddens,
Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Uphoff, Norman. 1999. Understanding Social Capital Learning from the Analysis and Experience
of Participant dalam Social Capital (Dasgupta, P. and Serageldin, I,
ed.) Washington, D.C. The World Bank. P. 215-252.
No comments:
Post a Comment