Thursday 7 November 2019

LAPORAN BUKU PERAN INTELEKTUAL EDWARD SAID


PERAN INTELEKTUAL
EDWARD W. SAID
1998. JAKARTA. YAYASAN OBOR INDONESIA

Description: edward said
A.    PENGANTAR
  Buku peran intelektual karya Edward W. Said yang diterbitkan oleh Penerbit Obor Indonesia (1998), maka timbullah kesan ‘luar biasa’. Buku yang berisi kumpulan pidato seorang pemikir besar abad ke-20 ini sangat menarik untuk dikaji sekaligus juga meneladani pemikiran Edward W. Said terutama peranan dirinya sebagai seorang intelektual. Said, seorang Amerika keturunan Palestina betul-betul menantang kaum intelektual, termasuk intelektual Indonesia. Edward W. Said lahir di Yerusalem tahun 1935, merupakan putra seorang pedagang Arab makmur. Tahun 1937 ia dikirim orang tuanya ke Kairo untuk belajar di Victoria College, sekolah elite di Timur-Tengah. Di sana semua gurunya orang Inggris. Pendidikan yang benar-benar bergaya Inggris ini membuat dia menjadi warga Inggris, bukan lagi seorang anak muda Arab. Pada usia 15 tahun ia dipindahkan ayahnya yang berkewarganegaraan Palestina-Amerika Serikat, ke Massachusets. Dan, pada umur 18 tahun Edward W. Said menjadi warga negara Amerika Serikat. Namun, bukan berarti pendidikan Barat telah melunturkan perhatiannya kepada negeri kelahirannya. Panggilan tanah leluhur Palestina semakin mengusik kesadaran Said. Kini ia tidak lagi sekedar akademisi yang bergelut dengan teori-teori sastra. Tapi telah menjadi aktivis yang merangkap sebagai pengajar untuk kepentingan Palestina dan dunia Arab pada umumnya.
Seorang intelektual adalah orang yang pintar mengatakan hal-hal oposisional sedemikian rupa hingga ia gets away with it. Karena ia betul-betul menguasai seni bicara, dan di lain pihak tidak langsung tergantung dari seorang atasan yang berhak menentukan apa yang harus dikatakan oleh kaum politisi.
Posisi penting kaum intelektual adalah akibat situasi yang tidak demokratis. Apabila kita pernah menjadi demokratis, kaum intelektual akan menghilang dari halaman pertama pers kita. Karena itu kedudukan kaum intelektual di Indonesia terhormat. Bahkan para politisi tidak dapat seluruhnya mengabaikan mereka. Sedangkan masyarakat pembaca menikmati uraian yang susah dimengerti abstrak.
Di sinilah masalah kaum intelektual. Mereka umumnya bukan malaikat kejujuran intelektual sebagaimana diperkirakan atau diharapkan masyarakat. Mereka seringkali mengambang di antara dua ekstrim: menjadi “intelektual organik” dalam arti Gramsci yang begitu saja menyuarakan kepentingan sebuah kelas atau gerakan ideologis (dan lalu sebenarnya tidak lebih dari sebuah propaganda) di satu pihak dan ‘filsuf raja” super cerdas dan berbudi luhur a’la Julien Benda. Mereka sering tidak murni intelektual, tidak bebas dari pamrih, bahkan bersedia menjual keterampilan mereka kepada yang mau membayar, tidak integer atau mereka sedemikian di atas segala-galanya sehingga omongan mereka tidak relevan lagi dan karena itu memang tanpa resiko.
Said memasang cermin di depan muka kaum intelektual supaya mereka melihat diri mereka sebenarnya. Menurut Said, orang intelektual adalah “pencipta sebuah bahasa mengatakan yang benar kepada yang berkuasa, inilah paham inti Said tentang seorang intelektual. Dosa paling besar orang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar. Ia tidak pernah boleh mengabdi kepada yang berkuasa. Edward Said melawankan si intelektual dengan si profesional. Soalnya, profesionalisme menuntut penyesuaian dengan batas-batas objektif dalam bidangnya, tetapi di situ tidak ada hukum-hukum profesinya, melainkan juga bingkai kekuasaan dan kepentingan di dalamnya si profesional harus berhasil. Maka seorang profesional harus ‘bijaksana’, tahu batas-batsnya, ia sudah terdomestikasi. Seorang intelektual yang terdomestikasi sudah bukan intelektual lagi.
Menurut Said, hidup seorang intelektual pada hakikatnya adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan. Seorang intelektual mesti terlibat dalam konflik dengan ‘para penjaga visi atau teks suci’. Dalam arti dia ‘makhluk sekuler’. Said menegaskan bahwa intelektual muslim diharapkan menekankan ciri Islam yang kompleks dan heterodoks. Bukan hanya itu, ia harus ‘menuntut mereka yang berwenang dalam umat Islam untuk menghadapi tantangan minoritas-minoritas bukan Islam, hak-hak perempuan, hak-hak modernitas sendiri, dengan perhatian manusiawi dan re-evaluasi jujur, bukan dengan lagu-lagu psedo populis’.
Said melihat pengalaman Palestina sebagai sebuah ironi besar, yaitu bagaimana korban penganiayaan selama bertahun–tahun oleh anti-semit dan Holocaust (pembasmian orang Yahudi) kini berbalik menjadi pemangsa Palestina. Jadi Palestina merupakan korban dari korban. Posisi sebagai korban Nazi dan gerakan anti-semit lain telah membuat Israel sebagai negeri Yahudi tetap ditolelir oleh barat khususnya, meski kini balik menjadi pemangsa. Di sini Said mengkritik para intelektual Israel dan barat yang jumlahnya banyak-baik yang Yahudi maupun yang bukan, karena mereka tak berani langsung menghadapi masalah. Kebungkaman, ketidak-hirauan mereka terhadap penderitaan Palestina, kata Said merupakan trahison des clercs (pengkhianatan intelektual)
B.            PERAN INTELEKTUAL
Dua deskripsi paling popular abad ke 20 tentang intelektual secara mendasar dipertentangkan oleh Antonio Gramsci, seorang Marxis berkebangsaan Italia, aktivis, wartawan, filsuf politik cemerlang dan pernah dipenjara oleh Mussolini antara tahun 1926 sampai 1937. Selama itu ia menulis buku prison notebooks bahwa “orang dapat mengatakan bahwa semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual”. Gramsci membagi dua jenis orang yang menjalankan dua jenis orang yang menjalankan fungsi intelektual dalam masyarakat yaitu intelektual tradisional, yang melakukan hal-hal yang sama secara terus menerus dari generasi ke generasi. Seperti guru, ulama, dan administrator; dan intelektual organik yaitu kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organis selalu aktif bergerak dan berbuat seperti dokter, sarjana hukum, dan insinyur.
Julian Benda (1867-1956) dalam karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendikiawan) Menggambarkan cendekiawan dalam sosok ideal yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik mereka adalah para ilmuwan, fisuf, seniman dan ahli metafisika. Benda mengutip khotbah Yesus di bukit. Singkatnya, Benda menyebut cendikiawan sejati ini dengan prinsip “kerajaanku bukan di bumi”. Julien Benda (pemikir Prancis) berpendapat bahwa intelektual yaitu segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi filsuf raja. Benda mencontohkan intelektual sejati yaitu; Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Decrates, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltaire, dan Montesquieu. Benda merasa pentingnya pemerintah mempunyai pembantu para intelektual. Bukan untuk memimpin tetapi memantapkan kebijakan pemerintah, menyuarakan propaganda melawan musuh pemerintah, memarakkan eufismisme dan membumikan orwellian newspeak yang menyesatkan kebenaran dalam kepentingan nasional.
Sebuah konsep terkenal dari Benda ialah pengkhianat intelektual yaitu golongan bermoral berubah menjadi tidak bermoral akibat pengaruh lingkungan atau zaman. Contohnya; para cerdik pandai yang memuaskan dan menggelorakan gairah-gairah politik dengan mereka turun ke lapangan, haus akan tujuan seketika, semata memikirkan tujuan, masa bodoh terhadap argumentasi, berbuat melebihi batas, membenci, obsesi dan mengira akan harum namanya jika mengurusi kepentingan negara. Keterbatasan sosok intelektual menurut Benda adalah terlalu ideal, pribadi simbolik mereka ditandai dengan ketakberjarakannya dari hal-hal praktis dan hanya untuk kaum laki-laki barat. Para cendekiawan zaman dulu adalah moralis yang kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa.
Edward W. Said sendiri dalam melihat konsepsi yang ditawarkan oleh Benda keberatan. Alasan keberatan Said dalam menanggapi konsepsi ideal intelektual oleh Benda ialah karena Benda menggambarkan intelektual dalam sosok yang sangat ideal, Yaitu segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf-raja. Berisiko dibakar di tiang, dikeluarkan dari komunitas atau disalibkan. Pribadi simbolik mereka ditandai ketidakberjarakannya dari hal-hal praktis. Dan tentu saja menurut Said konsepsi tersebut bias gender dan terlalu Barat sebab contoh yang diberi Benda semuanya laki-laki dan semuanya dari Barat kecuali Yesus.
Alvin Gouldner menganggap kaum intelektual sebagai kelas baru dan manajer intelektual yang mengganti kedudukan orang kaya lama. Bagian dari peningkatan kelas tersebut bukan dari yang banyak berbicara di depan publik tetapi mereka menjadi anggota kultur wacana kritis. Setiap intelektual, editor buku, pengarang, ahli strategi militer, dan pengacara internasional berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa telah terformat khusus dan bisa dipakai anggota dari bidang yang sama.
Edward Said berpendapat bahwa kaum intelektual adalah individu yang dikarunia bakat untuk merepresentasikan, mengekpresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada publik atau seseorang  yang bertalenta mengkomunikasikan ide emansipatoris dan mencerahkan, contohnya Bertand Russell, Jean Paul Sartre, Albert Camus, atau Noam Chomsky. Kebebasan dan berekpresi merupakan benteng utama kaum intelektual. Menurut Edward Said tujuan intelektual dapat meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Harus peka terhadap nasib mereka yang tertindas serta menempatkan diri sejajar dengan kaum lemah yang tersisihkan dan tidak terwakili, untuk itu mereka harus siap menghadapi resiko apapun termasuk berseberangan dengan kekuasaan.
Tujuan emansipatoris ini juga ditekankan oleh beberapa pemikir lainnya di abad 20 seperti Sartre. Edward W. Said menyatakan, seorang intelektual tidaklah berada di menara gading. Sebaliknya, mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan. Pekerjaan seorang intelektual adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan, selalu sadar akan tugasnya untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Dalam hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan memilih diam demi kehati-hatian. Cendekiawan itu, menurut Said, tidak bebas nilai atau netral. Sebaiknya seorang intelektual harus berpihak yakni terhadap kelompok lemah yang tertindas. Edward W. Said mengingatkan apabila kaum intelektual mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas maka intelektual itu akan menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa dan kehormatan. Seorang intelektual selalu berada di antara kesendirian dan pengasingan. Suara seorang intelektual adalah suara kesepian tapi suara ini akan bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas sebuah gerakan, aspirasi dan pengejaran cita-cita bersama. Karena itu, menurut Said, karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan.
Edward W. Said lebih menyukai batasan intelektual yang diberikan oleh Antonio Gramsci salah seorang idolanya di bidang intelektual. Di dalam buku Gramsci yang berjudul Selections From Prison Notebooks (1978), Gramsci mengatakan ‘semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual’. Gramsci mengelompokkan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator. Kelompok pertama ini menurut Gramsci dari generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan profesional. Batasan yang diberikan Gramsci ini lebih disukai Said karena lebih dekat dengan realitas daripada konsepsi yang Benda tawarkan.
Noam Chomsky merupakan intelektual paling kontroversial sejagad dalam beberapa dekade terakhir juga sebagai aktivis dan kritikus yang mengemukakan keulamaan sekuler dan intelegensia ilmiah. Chomsky mengkritik apa yang ia sebut “keulamaan sekuler” yaitu para intelektual, teknokrat, dan propogandis yang tugasnya menyiapkan dasar legitimasi untuk kebijaksanaan negara. Akibatnya tindakan negara tampak bagus dan terpercaya. Keulamaan sekuler inilah yang banyak berperan sehingga ideologi dan doktrin menyebar dewasa ini termasuk di negara-negara demokratis.
Intelektual menurut Chomsky, merupakan formasi khusus dalam masyarakat industri modern. Dalam tradisi Marxis-Leninis ujar dia, mereka menjadi ‘pengawal partai’ yang merekonstruksi masyarakat atas nama kaum proletar, sedangkan dalam negara kapitalis kaum intelegensia ini mengembangkan teori bahwa kekuasaan harus dialihkan ke tangan mereka yang berbakat atau terlatih khusus dalam mengorganisir dan mengontrol proses sosial ekonomi. Mereka ini disebut Chomsky ‘intelegensia ilmiah’ realitas di dalam masyarakat industri modern ini sebenarnya, kata Chomsky, sudah diperkirakan Bakunin, dalam negara sosialis ‘birokrasi merah’ dan ‘kelas baru’ akn menciptakan otoritarianisme paling despotik dan buas, sedangkan dalam kapitalisme negara, intelegensia akan ‘memukul orang dengan tongkat orang itu sendiri’. Menurutnya tugas dan tanggung jawab intelektual adalah mengungkap kebohongan pemerintah, menganalisa tindakannya sesuai dengan penyebabnya, motif-motif serta maksud-maksud yang tersembunyi. Intelektual selalu berdiri diantara kesendirian dan pengasingan. Meski dirinya Yahudi, dialah yang paling konfrontatif mempersoalkan pencaplokan tanah Palestina oleh Israel.
C.           MENGESAMPINGKAN BANGSA DAN TRADISI
Benda mengesankan intelektual ada dalam ruang universal, tidak terikat batas negara dan etnik. Namun, gambaran tersebut berubah karena Eropa dan negara barat tidak lagi peletak standar kebudayaan seluruh dunia yang tak tertandingi; kedua, perkembangan luar biasa mobilitas manusia serta komunikasi telah membangkitkan kesadaran banyak orang tentang perbedaan dan kelainan.
Edward Said akan membahas mengenai kebangsaan dan menjadi tempat persemaian dari paham kebangsaan yaitu nasionalisme. Esperanto yaitu bahasa yang dirancang baik untuk seluruh dunia, atau bukan untuk negeri dan tradisi tertentu. Walaupun terlahir di suatu negara dengan bahasa tertentu, seorang intelektual wajib menggunakan sebuah bahasa nasional. Salah satu masalah yang dihadapi intelektual ialah komunikasi bahasa selalu didominasi kebiasaan berekpresi yang telah ada untuk mempertahankan status quo dan memastikan semuanya lancar.
Benda menyarankan agar kaum intelektual berhenti berpikir dalam lingkup hasrat kolektif dan sebaliknya harus berkonsentrasi pada nilai transendental yaitu secara universal dapat diterapkan kepada semua negara dan orang. Penggunaan bahasa merupakan usaha untuk mempertahankan identitas nasional.

D.           INTELEKTUAL DI PENGASINGAN: KAUM EXPATRIAT DAN KAUM MARJINAL
Pengasingan merupakan nasib paling menyedihkan. Pengasingan tak jarang merupakan akibat sampingan dari kekuatan-kekuatan impersonal semacam perang, bahaya kelaparan atau penyakit. Ada asumsi yang cukup popular tetapi sama sekali keliru yakni diasingkan berarti diputus sepenuhnya, diisolasi, tanpa harapan dijauhkan dari tempat asal. Pengasingan berada diantara, tidak pernah berada pada satu keadaan atau sama sekali tidak terbebani masa lalu. Keterampilan mempertahankan hidup menjadi imperatif utama.
Pengasingan bagi intelektual adalah artian metafisis ini keresahan, pergerakan, guncangan dan mengusik yang lain. Anda tidak bisa kembali ke posisi semula mungkin kondisi yang lebih stabil. Dan sayangnya, anda tak benar-benar tiba di rumah atau di situasi baru. Intelektual dalam pengasingan adalah ironis, skeptis bahkan suka melucu tetapi tidak sinis.
Sejumlah hal positif dari pengasingan dan marjinalitas yaitu nikmat dari sebuah kejutan, nikmat dari ketidakpernahan menerima sesuatu sebagai apa adanya, belajar berbuat sesuatu dalam lingkungan instabilitas yang akan melaknat sebagian besar orang. Keuntungan kedua ialah anda cenderung melihat sesuatu bukan apa adanya, tetapi mencermati juga perjalanannya menjadi demikian. Bagi seorang intelektual, pengusiran ke pengasingan berarti dibebaskan dari karier biasa, dimana ‘berbuat baik’ dan mengikuti jejak langkah terhormat merupakan tonggak utama. Pengasingan berarti anda selalu menjadi marginal, dan jalur yang anda tempuh sebagai intelektual harus diubah karena anda tidak bisa mengikuti lintasan sebelumnya.
Pengasingan merupakan model bagi intelektual yang diuji, dan bahkan dikepung serta dibanjiri hadiah akomodasi. Intelektual di pengasingan tak menanggapi logika konvensional tapi merespons keberanian, dan perubahan yang mewakili, bergerak terus, tidak melempem.

E.            KAUM PROFESIONAL DAN AMATIR
Sekitar tahun 1968, para intelektual berpaling dari para penerbitnya. Mereka bergerombolan ke media massa dengan menjadi jurnalis, tamu dan pembawa acara talkshow, penasihat, manager, dan sebagainya. Russell Jacoby mengemukakan dalam karyanya bahwa di Amerika Serikat, intelektual non akademik benar-benar lenyap. Tidak ada yang tersisa sekarang dan yang tersisa adalah serikat penuh pemuka universitas. Mereka pemalu dan suka jargon sehingga tidak seorang masyarakat pun begitu menghiraukan mereka. Model intelektual yang terdiri dari segelintir nama dan bertempat tinggal di Granwich Village dikenal sebagai intelektual New York. Yang sebagian besar Yahudi, sayap kiri (tapi umumnya anti komunis) dan hidup dari tulisannya. Mereka telah meyusut akibat kekuatan sosial dan politik pasca perang. Akibatnya, intelektual sekarang lebih merupakan professor yang tertutup dengan penghasilan yang terjamin dan tidak berkepentingan terhadap dunia di luar ruang kuliah.
Said mempertanyakan peranan intelektual di abad 20. Menurutnya masih adakah intelektual yang independen dalam menyampaikan gagasannya? Maksudnya, seorang intelektual yang tidak mengindahkan afiliasinya dengan universitas yang membayar gajinya, partai politik yang menuntut loyalitasnya sesuai garis partai, think thank yang di satu sisi, menawarkan kebebasan dalam melakukan riset, tapi pada sisi lain mungkin lebih halus berkompromi dalam menilai serta membatasi suara-suara vokal. Said mengkritik intelektual yang menganggapnya sebagai suatu profesi yang bertujuan materil belaka. Menurutnya ancaman khusus intelektual saat ini baik di Barat maupun di non-Barat, bukanlah akademi, bukan pinggiran, bukan pula komersialisme mengerikan dari jurnalisme dan perusahaan penerbit. Tapi justru sikap profesionalisme. Menurut Said profesionalisme adalah bahaya laten yang dapat menurunkan derajat intelektual seseorang. Profesional di sini menurut Said ialah menganggap pekerjaan sebagai seorang intelektual merupakan sesuatu yang dilakukan untuk penghidupan antara pukul sembilan sampai pukul lima. Intelektual seperti ini ialah intelektual yang menurut Said adalah intelektual professional.
Sedangkan Said sendiri mengusulkan idenya terkait tugas dan tanggung jawab intelektual. Said mengusulkan gagasannya tentang intelektual amatir. Kaum intelektual amatir menurut Said adalah seorang intelektual yang bergerak bukan karena keuntungan tertentu atau imbalan tapi karena cinta akan sesuatu yang tidak terpuaskan dalam gambaran yang lebih besar, dalam menjalin hubungan lintas batas, dalam diikat menjadi spesialis serta dalam memperhatikan ide-ide dan nilai-nilai kendati adanya pembatasan oleh profesi. Maksudnya aktivitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit.
Said sendiri mengkritik adanya spesialisasi dalam tugas seorang intelektual di abad 20. Menurutnya spesialisasi merupakan tekanan yang pertama terhadap kaum intelektual. Said mengatakan semakin tinggi sekolah seseorang dalam sistem pendidikan sekarang, kaum intelektual semakin dibatasi dalam kawasan ilmu pengetahuan yang relatif sempit. Spesialisasi juga membunuh rasa nikmat dan hasrat menemukan. Akibatnya kedua hal yang sebenarnya tak bisa dikurangi ini kini menjadi kosmetik intelektual belaka. Begitupula dengan sertifikasi dalam pengetahuan yang dikeluarkan oleh suatu ortoritas tertentu. Fungsi sertifikasi ini bagi seorang intelektual adalah berbicara tentang topik yang memang dia mendapatkan sertifikasi untuk membeicarakannya. Perihal ini Said mengungkapkan bahwa pada masa setelah perang dunia berakhir, kaum intelektual mendapatkan sorotan khusus untuk memainkan perannya terutama dalam relasinya terhadap kekuasaan.
Seorang intelektual yang pakar di bidang matematika haruslah berbicara sesuai dengan bidangnya sehingga pakar tersebut tidak memiliki otoritas untuk membicarakan permasalahan politik ataupun kebijakan luar negeri yang di keluarkan pemerintah. Hal inilah yang dikritik oleh Said sebagai upaya pengekangan terhadap hak-hak seorang intelektual.
Tekanan bagi seorang intelektual lainnya adalah penyimpangan tak terhindarkan ke arah kekuasaan dan otoritas di lingkungan pendukungnya ke arah perolehan dan pemilikan kekuasaan serta pendayagunaan langsung olehnya. Pasca perang, universitas di Barat banyak melakukan riset yang berkaitan dengan kepentingan keamanaan serta teknologi persenjataan. Di Amerika Serikat riset-riset universitas di biayai cukup besar oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Amerika Serikat. Kepentingannya hanyalah satu untuk mewaspadai perkembangan perang dingin yang terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Menurut Said pertanyaan tentang moralitas dan keadilan dikesampingkan oleh kaum intelektual. Sebab adanya hubungan yang ‘intim’ antara penguasa dan kaum akademisi dalam menangani berbagai proyek yang diberikan penguasa.
Kondisi itu menurut penilaian Said telah melecehkan peranan kaum intelektual. Tugas suci sebagai pembela kebenaran yang tidak berpihak kepada pemerintah nampaknya gagal ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah yang selalu dilandasi semangat penaklukan dan penjarahan. Keadaan tersebut telah menihilkan peran intelektual secara individu untuk mempertanyakan dan menentang kebijakan perang yang dilakukan oleh kaum intelektual selama ratusan tahun silam.
Peranan intelektual telah menurun drastis. Menurut Said hal tersebut tentu saja disebabkan adanya relasi kuasa, meminjam istilah Foucalt, yang membelenggu kaum intelektual. Bahkan Said sendiri mengecam kebiasaan kaum intelektual yang mengetahui sebuah kebenaran tapi memilih ‘diam’ bahkan memilih untuk menjadi seseorang yang tidak terlalu politis karena khawatir akan muncul kontroversi sehingga akan menyulitkan kariernya. Intelektual yang selalu ingin dipuji karena menginginkan sosok yang seimbang, obyektif, moderat tapi dengan cara menjilat kekuasaan adalah intelektual yang menurut Said, intelektual profesional yang memandang perannya sebagai suatu mata pencarian.
Profesionalisme adalah menganggap pekerjaan anda sebagai intelektual merupakan sesuatu yang dilakukan untuk penghidupan dan antara pukul sembilan sampai pukul lima, dengan sebelah mata tertuju pada jam dan sebelah lagi melirik pada apa yang dianggap pantas, professional. Intelektual tidak pernah lagi menjadi intelektual ketika sudah dikelilingi, dibujuk, dikepung oleh masyarakat agar berubah menjadi lain. Empat tekanan yang mengusik ketulusan serta hasrat intelektual, yaitu spesialisasi. Semakin tinggi sekolah, semakin dibatasi dalam kawasan ilmu. Spesialisasi membunuh rasa nikmat dan menemukan. Keahlian dan pemujaan pakar bersertifikat lebih merupakan tekanan khusus di dunia pasca perang. Tekanan ketiga dari profesionalisme adalah penyimpangan tak terhindarkan ke arah kekuasaan dan otoritas di lingkungan pendukungnya, ke arah perolehan dan pemilik kekuasaan, serta ke arah pendayagunaan olehnya.
Persoalan bagi kaum intelektual ialah mencoba berhadapan dengan kendala profesionalitas modern. Bukan pura-pura bahwa mereka tidak di sana, atau mengingkari pengaruhnya. Tapi dengan mempresentasikan serangkaian nilai dan hak khusus yang berbeda. Semua ini dihimpun menjadi amatirisme. Yang secara harfiah berarti beraktifitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit. Intelektual saat ini harus menjadi amatir seseorang yang menganggap bahwa dengan menjadi anggota masyarakat  yang berpikir serta hirau, orang tersebut berhak memunculkan isu moral dalam kegiatan yang paling teknis dan professional sekalipun yang melibatkan sebuah negara, kekuasaannya dan cara berinteraksi dengan warga negara.

F.            MENGATAKAN KEBENARAN KEPADA KEKUASAAN
Intelektual sesungguhnya bukanlah seorang fungsioner atau sepenuhnya pegawai yang taat kepada kebijakan pemerintah, perusahaan raksasa atau orang yang berpikiran seakan profesional. Menurut cara mempertahankan kebebasan intelektual yang relatif ialah pemilikan sikap amatir (bukan professional). Salah satu yang terkotor dari seluruh langkah awal intelektual adalah penyalahgunaan dalam kultur seseorang sembari memaafkan praktek serupa di negeri sendiri. Suara intelektual adalah suara kesepian, tapi ia bergema hanya karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas sebuah gerakan, aspirasi orang, pengejaran cita-cita bersama.


G.           DEWA-DEWA YANG SELALU GAGAL
Aspek tersulit untuk menjadi intelektual ialah mempresentasikan apa yang anda nyatakan karya intervensi, tanpa dibekukan ke dalam sebuah institusi atau sejenis menurut perintah sebuah sistem atau metode.
Jantung dari fenomena perpalingan (konversi) adalah ketergabungan. Tak hanya dalam persekutuan, tapi dalam pelayanan, serta kendati orang benci menggunakan istilah ini, bekerja sama.
Hubungan cendekiawan dengan kekuasaan adalah sebagai orang yang paling terkemuka bidangnya kaum cerdik pandai ini sangat lazim digunakan oleh kekuasaan, hal tersebut  membuat para cendekiawan melupakan tanggung jawab moralnya.
Sesuatu yang mengendalikan seluruh masyarakat atau negara, seperti yang dikatakan Marx, bebaskan intelektual dari pertanyaan-pertanyaan yang relatif khas tentang interpretasi. Sebab perubahan sosial dan transformasi jauh lebih penting.
Analisis intelektual yang riil tak membolehkan pandangan bahwa satu sisi tidak berdosa sedangkan sisi lainnya jahat. Sebaliknya intelektual yang benar adalah yang sekuler. Namun, banyak intelektual berpura-pura bahwa peran mereka adalah sesuatu yang lebih tinggi, nilai pamungkas, moralitas bermula dengan aktivitas mereka dalam dunia sekuler kita, dimana ia berlangsung, kepentingan siapa yang dilayani, bagaimana ia cocok dengan etika yang konsisten dan universal, bagaimana ia membedakan antara kekuasaan dan keadilan, apa yang ia ungkap sehubungan dengan pilihan dan prioritas seseorang. Para dewa yang senantiasa gagal ini pada akhirnya selalu menuntut dari intelektual sejenis kepastian absolut dan total, pandangan tanpa klaim tentang realitas yang hanya mengakui murid atau musuh.

H.           INTELEKTUAL INDONESIA
Zaman Kolonial Belanda
            Kaum cendekiawan menjadi suara kesadaran sosial dan sebagai penggagas reformasi di kala pergolakan di negeri ini. Dimulai dari hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk bangsawan dan birokrat pribumi. Keuntungan yang diperoleh dari pendidikan sekolah tersebut terpenuhinya kebutuhan dari orang-orang Belanda, pendidikan di dalam dan luar negeri pencerahan untuk melek terhadap hantu imperialism-kolonialisme dan mendambakan negara bangsa dan terciptanya intelektual organik seperti; Wahidin, Tjipto Mangunkusumo, Sutomo, Mas Marco, Tan Malaka dan Adisurjo. Dimana mereka semua termasuk ke dalam intelektual aktivis yang terlibat dalam praktis bertujuan emansipatoris.
Pasca Kemerdekaan
Setelah pemerintahan sudah terbentuk, kaum intelektuallah yang menempati posisi penting di birokrasi seperti; Hatta dan Syahrir, Soekarno, Wilopo, Achmad Soebarjo. Mereka menjadi penguasa pengganti memainkan peran baru dengan semangat yang berlebihan. Maklum, gelora revolusi masih berlanjut. Tidak seperti yang digantikan, mereka mencoba tampil populis dan merasa lebih teremban untuk mencerdaskan dan memajukan rakyat. Walaupun masuk ke link birokrasi, para cendekiawan ini pada umumnya tetap tampil sebagai benteng akal sehat yang bisa kritis terhadap kekuasaan itu sendiri. Sedangkan yang lainnya merambah dunia swasta dengan menjadi aktivis partai, pengajar, budayawan, atau seniman, wartawan dan pengacara.
Zaman Orde Lama
Kaum cendekiawan terimbas dengan munculnya Soekarno dengan iklim politik barunya (Jakarta Centrisme). Terjadinya pemberian angin kepada PKI dan yang kritis dijebloskan ke penjara seperti Syahrir, Moh, Roem, Natsir, Mochtar Lubis, akademisinya yaitu H.B Jassin dan Mochtar Kusumaatmadja.
Zaman Orde Baru
            Golkar sebagai mesin politik, menjadikan kaum terdidik sebagai salah satu rekruitmen utamanya. Dimana memberikan tempat khusus pada para cendekiawan seperti Ginanjar Kartasasmita yang menjabat Menko dan kepala Bapenas, Daoed Jusuf, Fuad Hasan dan Soedjatmoko yang merupakan duta besar RI di PBB. Sebenarnya pengangkatan tersebut merupakan hal yang lumrah, tetapi menjadi berubah ketika Leimena, Soemantri Droejonegoro, Emil Salim, Sadli, Ismail Sunny bekerja sama dengan pemerintahan Soekarno. Mereka di cap sebagai intelektual-intelektual karena mengabdi kepada kekuasaan yang sudah menyimpang. Kultur politik orde baru tidak memungkinkan mereka untuk memperlihatkan perbedaan sikap.
Reformasi
Cendekiawan tidak mempunyai cukup ruang gerak untuk menjalankan peran sesuai dengan nurani intelektual cemerlang yang menjadi bagian dari birokrasi pun harus disubordinasikan keyakinannya, dimana kepentingan kekuasaan yang diabdinya. Di masa kampanye mereka harus menjadi jurkam yang mewartakan kisah-kisah klise sukses pembangunan. Alih-alih mengawal akal sehat, mereka menjadi tukang propaganda atau yang disebut Benda sebagai Pengkhianat Intelektual. Masih terdapat intelektual yang gigih yaitu aktivis dan kaum profesional a’la intelektual organiknya Gramsci seperti Y.B Mangunwijaya, Arief Budiman, George Yunus Aditjondro, Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Mukhtar Pakpahan.



DAFTAR PUSTAKA


Said, Edward. 1998. Peran Intelektual. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia               


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................             i
DAFTAR ISI               ............................................................................................. ii

A.           PENGANTAR    ............................................................................................. 1
B.            PERAN INTELEKTUAL .............................................................................. 3
C.            MENGESAMPINGKAN BANGSA DAN TRADISI ................................. 7
D.           INTELEKTUAL DI PENGASINGAN: KAUM EXPATRIAT
DAN KAUM MARJINAL ............................................................................ 8
E.            KAUM PROFESIONAL DAN AMATIR .................................................... 9
F.             MENGATAKAN KEBENARAN KEPADA KEKUASAAN .................... 12
G.           DEWA-DEWA YANG SELALU GAGAL .................................................. 13
H.           INTELEKTUAL INDONESIA ..................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 17






No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...