A.
PENGANTAR
Buku peran intelektual karya Edward W. Said
yang diterbitkan oleh Penerbit Obor Indonesia (1998), maka timbullah kesan
‘luar biasa’. Buku yang berisi kumpulan pidato seorang pemikir besar abad ke-20
ini sangat menarik untuk dikaji sekaligus juga meneladani pemikiran Edward W.
Said terutama peranan dirinya sebagai seorang intelektual. Said, seorang
Amerika keturunan Palestina betul-betul menantang kaum intelektual, termasuk
intelektual Indonesia. Edward W. Said lahir di Yerusalem tahun 1935, merupakan
putra seorang pedagang Arab makmur. Tahun 1937 ia dikirim orang tuanya ke Kairo
untuk belajar di Victoria College,
sekolah elite di Timur-Tengah. Di sana semua gurunya orang Inggris. Pendidikan
yang benar-benar bergaya Inggris ini membuat dia menjadi warga Inggris, bukan
lagi seorang anak muda Arab. Pada usia 15 tahun ia dipindahkan ayahnya yang
berkewarganegaraan Palestina-Amerika Serikat, ke Massachusets. Dan, pada umur
18 tahun Edward W. Said menjadi warga negara Amerika Serikat. Namun, bukan
berarti pendidikan Barat telah melunturkan perhatiannya kepada negeri
kelahirannya. Panggilan tanah leluhur Palestina semakin mengusik kesadaran
Said. Kini ia tidak lagi sekedar akademisi yang bergelut dengan teori-teori
sastra. Tapi telah menjadi aktivis yang merangkap sebagai pengajar untuk
kepentingan Palestina dan dunia Arab pada umumnya.
Seorang intelektual adalah orang
yang pintar mengatakan hal-hal oposisional sedemikian rupa hingga ia gets away with it. Karena ia betul-betul
menguasai seni bicara, dan di lain pihak tidak langsung tergantung dari seorang
atasan yang berhak menentukan apa yang harus dikatakan oleh kaum politisi.
Posisi penting kaum intelektual
adalah akibat situasi yang tidak demokratis. Apabila kita pernah menjadi
demokratis, kaum intelektual akan menghilang dari halaman pertama pers kita.
Karena itu kedudukan kaum intelektual di Indonesia terhormat. Bahkan para
politisi tidak dapat seluruhnya mengabaikan mereka. Sedangkan masyarakat pembaca
menikmati uraian yang susah dimengerti abstrak.
Di sinilah masalah kaum
intelektual. Mereka umumnya bukan malaikat kejujuran intelektual sebagaimana
diperkirakan atau diharapkan masyarakat. Mereka seringkali mengambang di antara
dua ekstrim: menjadi “intelektual organik” dalam arti Gramsci yang begitu saja
menyuarakan kepentingan sebuah kelas atau gerakan ideologis (dan lalu
sebenarnya tidak lebih dari sebuah propaganda) di satu pihak dan ‘filsuf raja”
super cerdas dan berbudi luhur a’la Julien Benda. Mereka sering tidak murni
intelektual, tidak bebas dari pamrih, bahkan bersedia menjual keterampilan
mereka kepada yang mau membayar, tidak integer atau mereka sedemikian di atas
segala-galanya sehingga omongan mereka tidak relevan lagi dan karena itu memang
tanpa resiko.
Said memasang cermin di depan muka
kaum intelektual supaya mereka melihat diri mereka sebenarnya. Menurut Said,
orang intelektual adalah “pencipta sebuah bahasa mengatakan yang benar kepada
yang berkuasa, inilah paham inti Said tentang seorang intelektual. Dosa paling
besar orang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan,
tetapi ia menghindar. Ia tidak pernah boleh mengabdi kepada yang berkuasa.
Edward Said melawankan si intelektual dengan si profesional. Soalnya, profesionalisme
menuntut penyesuaian dengan batas-batas objektif dalam bidangnya, tetapi di
situ tidak ada hukum-hukum profesinya, melainkan juga bingkai kekuasaan dan
kepentingan di dalamnya si profesional harus berhasil. Maka seorang profesional
harus ‘bijaksana’, tahu batas-batsnya, ia sudah terdomestikasi. Seorang
intelektual yang terdomestikasi sudah bukan intelektual lagi.
Menurut Said, hidup seorang
intelektual pada hakikatnya adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan. Seorang
intelektual mesti terlibat dalam konflik dengan ‘para penjaga visi atau teks
suci’. Dalam arti dia ‘makhluk sekuler’. Said menegaskan bahwa intelektual
muslim diharapkan menekankan ciri Islam yang kompleks dan heterodoks. Bukan
hanya itu, ia harus ‘menuntut mereka yang berwenang dalam umat Islam untuk
menghadapi tantangan minoritas-minoritas bukan Islam, hak-hak perempuan,
hak-hak modernitas sendiri, dengan perhatian manusiawi dan re-evaluasi jujur,
bukan dengan lagu-lagu psedo populis’.
Said melihat pengalaman Palestina
sebagai sebuah ironi besar, yaitu bagaimana korban penganiayaan selama
bertahun–tahun oleh anti-semit dan Holocaust
(pembasmian orang Yahudi) kini berbalik menjadi pemangsa Palestina. Jadi
Palestina merupakan korban dari korban. Posisi sebagai korban Nazi dan gerakan
anti-semit lain telah membuat Israel sebagai negeri Yahudi tetap ditolelir oleh
barat khususnya, meski kini balik menjadi pemangsa. Di sini Said mengkritik
para intelektual Israel dan barat yang jumlahnya banyak-baik yang Yahudi maupun
yang bukan, karena mereka tak berani langsung menghadapi masalah. Kebungkaman,
ketidak-hirauan mereka terhadap penderitaan Palestina, kata Said merupakan trahison des clercs (pengkhianatan
intelektual)
B.
PERAN
INTELEKTUAL
Dua deskripsi paling popular abad
ke 20 tentang intelektual secara mendasar dipertentangkan oleh Antonio Gramsci,
seorang Marxis berkebangsaan Italia,
aktivis, wartawan, filsuf politik cemerlang dan pernah dipenjara oleh Mussolini
antara tahun 1926 sampai 1937. Selama itu ia menulis buku prison notebooks bahwa “orang dapat mengatakan bahwa semua manusia
adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi
intelektual”. Gramsci membagi dua jenis orang yang menjalankan dua jenis orang
yang menjalankan fungsi intelektual dalam masyarakat yaitu intelektual
tradisional, yang melakukan hal-hal yang sama secara terus menerus dari
generasi ke generasi. Seperti guru, ulama, dan administrator; dan intelektual
organik yaitu kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan
yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar
kekuasaan dan kontrol. Intelektual organis selalu aktif bergerak dan berbuat
seperti dokter, sarjana hukum, dan insinyur.
Julian
Benda (1867-1956) dalam karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendikiawan)
Menggambarkan cendekiawan dalam sosok ideal yaitu semua orang yang kegiatan
utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari
kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik mereka adalah
para ilmuwan, fisuf, seniman dan ahli metafisika. Benda mengutip khotbah Yesus
di bukit. Singkatnya, Benda menyebut cendikiawan sejati ini dengan prinsip
“kerajaanku bukan di bumi”. Julien Benda (pemikir Prancis)
berpendapat bahwa intelektual yaitu segelintir manusia sangat berbakat dan yang
diberkahi filsuf raja. Benda mencontohkan intelektual sejati yaitu; Thomas
Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Decrates, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton,
Voltaire, dan Montesquieu. Benda merasa pentingnya pemerintah mempunyai
pembantu para intelektual. Bukan untuk memimpin tetapi memantapkan kebijakan
pemerintah, menyuarakan propaganda melawan musuh pemerintah, memarakkan eufismisme dan membumikan orwellian newspeak yang menyesatkan
kebenaran dalam kepentingan nasional.
Sebuah konsep terkenal dari Benda
ialah pengkhianat intelektual yaitu golongan bermoral berubah menjadi tidak
bermoral akibat pengaruh lingkungan atau zaman. Contohnya; para cerdik pandai
yang memuaskan dan menggelorakan gairah-gairah politik dengan mereka turun ke
lapangan, haus akan tujuan seketika, semata memikirkan tujuan, masa bodoh
terhadap argumentasi, berbuat melebihi batas, membenci, obsesi dan mengira akan
harum namanya jika mengurusi kepentingan negara. Keterbatasan sosok intelektual
menurut Benda adalah terlalu ideal, pribadi simbolik mereka ditandai dengan
ketakberjarakannya dari hal-hal praktis dan hanya untuk kaum laki-laki barat.
Para cendekiawan zaman dulu adalah moralis yang kegiatannya merupakan
perlawanan terhadap realisme massa.
Edward
W. Said sendiri dalam melihat konsepsi yang ditawarkan oleh Benda keberatan.
Alasan keberatan Said dalam menanggapi konsepsi ideal intelektual oleh Benda
ialah karena Benda menggambarkan intelektual dalam sosok yang sangat ideal,
Yaitu segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf-raja.
Berisiko dibakar di tiang, dikeluarkan dari komunitas atau disalibkan. Pribadi
simbolik mereka ditandai ketidakberjarakannya dari hal-hal praktis. Dan tentu
saja menurut Said konsepsi tersebut bias gender
dan terlalu Barat sebab contoh yang diberi Benda semuanya laki-laki dan
semuanya dari Barat kecuali Yesus.
Alvin Gouldner menganggap kaum
intelektual sebagai kelas baru dan manajer intelektual yang mengganti kedudukan
orang kaya lama. Bagian dari peningkatan kelas tersebut bukan dari yang banyak
berbicara di depan publik tetapi mereka menjadi anggota kultur wacana kritis.
Setiap intelektual, editor buku, pengarang, ahli strategi militer, dan
pengacara internasional berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa telah
terformat khusus dan bisa dipakai anggota dari bidang yang sama.
Edward Said berpendapat bahwa kaum
intelektual adalah individu yang dikarunia bakat untuk merepresentasikan, mengekpresikan
dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada
publik atau seseorang yang bertalenta
mengkomunikasikan ide emansipatoris dan mencerahkan, contohnya Bertand Russell,
Jean Paul Sartre, Albert Camus, atau Noam Chomsky. Kebebasan dan berekpresi
merupakan benteng utama kaum intelektual. Menurut Edward Said tujuan
intelektual dapat meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Harus peka
terhadap nasib mereka yang tertindas serta menempatkan diri sejajar dengan kaum
lemah yang tersisihkan dan tidak terwakili, untuk itu mereka harus siap
menghadapi resiko apapun termasuk berseberangan dengan kekuasaan.
Tujuan
emansipatoris ini juga ditekankan oleh beberapa pemikir lainnya di abad 20
seperti Sartre. Edward W. Said menyatakan, seorang intelektual tidaklah berada
di menara gading. Sebaliknya, mereka terlibat langsung dalam soal-soal
kemasyarakatan. Pekerjaan seorang intelektual adalah mempertahankan negara
dengan kewaspadaan, selalu sadar akan tugasnya untuk tidak membiarkan kebenaran
diselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan.
Dalam hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang
kritis terhadap kekuasaan. Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan
memilih diam demi kehati-hatian. Cendekiawan itu, menurut Said, tidak bebas
nilai atau netral. Sebaiknya seorang intelektual harus berpihak yakni terhadap
kelompok lemah yang tertindas. Edward W. Said mengingatkan apabila kaum
intelektual mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas maka intelektual
itu akan menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa dan
kehormatan. Seorang intelektual selalu berada di antara kesendirian dan
pengasingan. Suara seorang intelektual adalah suara kesepian tapi suara ini
akan bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas sebuah
gerakan, aspirasi dan pengejaran cita-cita bersama. Karena itu, menurut Said,
karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir
dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada
kekuasaan.
Edward
W. Said lebih menyukai batasan intelektual yang diberikan oleh Antonio Gramsci
salah seorang idolanya di bidang intelektual. Di dalam buku Gramsci yang
berjudul Selections From Prison Notebooks
(1978), Gramsci mengatakan ‘semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua
orang memiliki fungsi intelektual’. Gramsci mengelompokkan dua jenis
intelektual. Pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para
administrator. Kelompok pertama ini menurut Gramsci dari generasi ke generasi
selalu melakukan hal yang sama. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan profesional.
Batasan yang diberikan Gramsci ini lebih disukai Said karena lebih dekat dengan
realitas daripada konsepsi yang Benda tawarkan.
Noam Chomsky merupakan intelektual
paling kontroversial sejagad dalam beberapa dekade terakhir juga sebagai aktivis
dan kritikus yang mengemukakan keulamaan sekuler dan intelegensia ilmiah. Chomsky
mengkritik apa yang ia sebut “keulamaan sekuler” yaitu para intelektual,
teknokrat, dan propogandis yang tugasnya menyiapkan dasar legitimasi untuk
kebijaksanaan negara. Akibatnya tindakan negara tampak bagus dan terpercaya.
Keulamaan sekuler inilah yang banyak berperan sehingga ideologi dan doktrin
menyebar dewasa ini termasuk di negara-negara demokratis.
Intelektual menurut Chomsky,
merupakan formasi khusus dalam masyarakat industri modern. Dalam tradisi Marxis-Leninis ujar dia, mereka menjadi
‘pengawal partai’ yang merekonstruksi masyarakat atas nama kaum proletar,
sedangkan dalam negara kapitalis kaum intelegensia ini mengembangkan teori
bahwa kekuasaan harus dialihkan ke tangan mereka yang berbakat atau terlatih khusus
dalam mengorganisir dan mengontrol proses sosial ekonomi. Mereka ini disebut
Chomsky ‘intelegensia ilmiah’ realitas di dalam masyarakat industri modern ini
sebenarnya, kata Chomsky, sudah diperkirakan Bakunin, dalam negara sosialis
‘birokrasi merah’ dan ‘kelas baru’ akn menciptakan otoritarianisme paling despotik dan buas, sedangkan dalam
kapitalisme negara, intelegensia akan ‘memukul orang dengan tongkat orang itu
sendiri’. Menurutnya tugas dan tanggung jawab intelektual adalah mengungkap
kebohongan pemerintah, menganalisa tindakannya sesuai dengan penyebabnya,
motif-motif serta maksud-maksud yang tersembunyi. Intelektual selalu berdiri
diantara kesendirian dan pengasingan. Meski dirinya Yahudi, dialah yang paling
konfrontatif mempersoalkan pencaplokan tanah Palestina oleh Israel.
C.
MENGESAMPINGKAN
BANGSA DAN TRADISI
Benda
mengesankan intelektual ada dalam ruang universal, tidak terikat batas negara
dan etnik. Namun, gambaran tersebut berubah karena Eropa dan negara barat tidak
lagi peletak standar kebudayaan seluruh dunia yang tak tertandingi; kedua,
perkembangan luar biasa mobilitas manusia serta komunikasi telah membangkitkan
kesadaran banyak orang tentang perbedaan dan kelainan.
Edward
Said akan membahas mengenai kebangsaan dan menjadi tempat persemaian dari paham
kebangsaan yaitu nasionalisme. Esperanto yaitu
bahasa yang dirancang baik untuk seluruh dunia, atau bukan untuk negeri dan
tradisi tertentu. Walaupun terlahir di suatu negara dengan bahasa tertentu,
seorang intelektual wajib menggunakan sebuah bahasa nasional. Salah satu
masalah yang dihadapi intelektual ialah komunikasi bahasa selalu didominasi
kebiasaan berekpresi yang telah ada untuk mempertahankan status quo dan memastikan semuanya lancar.
Benda
menyarankan agar kaum intelektual berhenti berpikir dalam lingkup hasrat
kolektif dan sebaliknya harus berkonsentrasi pada nilai transendental yaitu secara universal dapat diterapkan kepada semua
negara dan orang. Penggunaan bahasa merupakan usaha untuk mempertahankan
identitas nasional.
D.
INTELEKTUAL
DI PENGASINGAN: KAUM EXPATRIAT DAN KAUM MARJINAL
Pengasingan
merupakan nasib paling menyedihkan. Pengasingan tak jarang merupakan akibat
sampingan dari kekuatan-kekuatan impersonal semacam perang, bahaya kelaparan
atau penyakit. Ada asumsi yang cukup popular tetapi sama sekali keliru yakni
diasingkan berarti diputus sepenuhnya, diisolasi, tanpa harapan dijauhkan dari
tempat asal. Pengasingan berada diantara, tidak pernah berada pada satu keadaan
atau sama sekali tidak terbebani masa lalu. Keterampilan mempertahankan hidup
menjadi imperatif utama.
Pengasingan
bagi intelektual adalah artian metafisis ini keresahan, pergerakan, guncangan
dan mengusik yang lain. Anda tidak bisa kembali ke posisi semula mungkin
kondisi yang lebih stabil. Dan sayangnya, anda tak benar-benar tiba di rumah
atau di situasi baru. Intelektual dalam pengasingan adalah ironis, skeptis
bahkan suka melucu tetapi tidak sinis.
Sejumlah
hal positif dari pengasingan dan marjinalitas yaitu nikmat dari sebuah kejutan,
nikmat dari ketidakpernahan menerima sesuatu sebagai apa adanya, belajar
berbuat sesuatu dalam lingkungan instabilitas yang akan melaknat sebagian besar
orang. Keuntungan kedua ialah anda cenderung melihat sesuatu bukan apa adanya,
tetapi mencermati juga perjalanannya menjadi demikian. Bagi seorang
intelektual, pengusiran ke pengasingan berarti dibebaskan dari karier biasa,
dimana ‘berbuat baik’ dan mengikuti jejak langkah terhormat merupakan tonggak
utama. Pengasingan berarti anda selalu menjadi marginal, dan jalur yang anda tempuh
sebagai intelektual harus diubah karena anda tidak bisa mengikuti lintasan
sebelumnya.
Pengasingan
merupakan model bagi intelektual yang diuji, dan bahkan dikepung serta
dibanjiri hadiah akomodasi. Intelektual di pengasingan tak menanggapi logika
konvensional tapi merespons keberanian, dan perubahan yang mewakili, bergerak
terus, tidak melempem.
E.
KAUM
PROFESIONAL DAN AMATIR
Sekitar
tahun 1968, para intelektual berpaling dari para penerbitnya. Mereka
bergerombolan ke media massa dengan menjadi jurnalis, tamu dan pembawa acara talkshow, penasihat, manager, dan
sebagainya. Russell Jacoby mengemukakan dalam karyanya bahwa di Amerika
Serikat, intelektual non akademik benar-benar lenyap. Tidak ada yang tersisa
sekarang dan yang tersisa adalah serikat penuh pemuka universitas. Mereka pemalu
dan suka jargon sehingga tidak seorang masyarakat pun begitu menghiraukan
mereka. Model intelektual yang terdiri dari segelintir nama dan bertempat
tinggal di Granwich Village dikenal
sebagai intelektual New York. Yang sebagian besar Yahudi, sayap kiri (tapi
umumnya anti komunis) dan hidup dari tulisannya. Mereka telah meyusut akibat
kekuatan sosial dan politik pasca perang. Akibatnya, intelektual sekarang lebih
merupakan professor yang tertutup dengan penghasilan yang terjamin dan tidak
berkepentingan terhadap dunia di luar ruang kuliah.
Said mempertanyakan peranan
intelektual di abad 20. Menurutnya masih adakah intelektual yang independen
dalam menyampaikan gagasannya? Maksudnya, seorang intelektual yang tidak
mengindahkan afiliasinya dengan universitas yang membayar gajinya, partai
politik yang menuntut loyalitasnya sesuai garis partai, think thank yang di satu sisi, menawarkan kebebasan dalam melakukan
riset, tapi pada sisi lain mungkin lebih halus berkompromi dalam menilai serta
membatasi suara-suara vokal. Said mengkritik intelektual yang menganggapnya
sebagai suatu profesi yang bertujuan materil belaka. Menurutnya ancaman khusus
intelektual saat ini baik di Barat maupun di non-Barat, bukanlah akademi, bukan
pinggiran, bukan pula komersialisme mengerikan dari jurnalisme dan perusahaan
penerbit. Tapi justru sikap profesionalisme. Menurut Said profesionalisme
adalah bahaya laten yang dapat menurunkan derajat intelektual seseorang.
Profesional di sini menurut Said ialah menganggap pekerjaan sebagai seorang intelektual
merupakan sesuatu yang dilakukan untuk penghidupan antara pukul sembilan sampai
pukul lima. Intelektual seperti ini ialah intelektual yang menurut Said adalah
intelektual professional.
Sedangkan Said sendiri mengusulkan
idenya terkait tugas dan tanggung jawab intelektual. Said mengusulkan
gagasannya tentang intelektual amatir. Kaum intelektual amatir menurut Said
adalah seorang intelektual yang bergerak bukan karena keuntungan tertentu atau
imbalan tapi karena cinta akan sesuatu yang tidak terpuaskan dalam gambaran
yang lebih besar, dalam menjalin hubungan lintas batas, dalam diikat menjadi
spesialis serta dalam memperhatikan ide-ide dan nilai-nilai kendati adanya
pembatasan oleh profesi. Maksudnya aktivitas yang digerakkan oleh kepedulian
dan rasa bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit.
Said sendiri mengkritik adanya
spesialisasi dalam tugas seorang intelektual di abad 20. Menurutnya
spesialisasi merupakan tekanan yang pertama terhadap kaum intelektual. Said
mengatakan semakin tinggi sekolah seseorang dalam sistem pendidikan sekarang,
kaum intelektual semakin dibatasi dalam kawasan ilmu pengetahuan yang relatif
sempit. Spesialisasi juga membunuh rasa nikmat dan hasrat menemukan. Akibatnya
kedua hal yang sebenarnya tak bisa dikurangi ini kini menjadi kosmetik
intelektual belaka. Begitupula dengan sertifikasi dalam pengetahuan yang
dikeluarkan oleh suatu ortoritas tertentu. Fungsi sertifikasi ini bagi seorang
intelektual adalah berbicara tentang topik yang memang dia mendapatkan
sertifikasi untuk membeicarakannya. Perihal ini Said mengungkapkan bahwa pada
masa setelah perang dunia berakhir, kaum intelektual mendapatkan sorotan khusus
untuk memainkan perannya terutama dalam relasinya terhadap kekuasaan.
Seorang intelektual yang pakar di
bidang matematika haruslah berbicara sesuai dengan bidangnya sehingga pakar
tersebut tidak memiliki otoritas untuk membicarakan permasalahan politik
ataupun kebijakan luar negeri yang di keluarkan pemerintah. Hal inilah yang
dikritik oleh Said sebagai upaya pengekangan terhadap hak-hak seorang
intelektual.
Tekanan bagi seorang intelektual
lainnya adalah penyimpangan tak terhindarkan ke arah kekuasaan dan otoritas di
lingkungan pendukungnya ke arah perolehan dan pemilikan kekuasaan serta pendayagunaan
langsung olehnya. Pasca perang, universitas di Barat banyak melakukan riset
yang berkaitan dengan kepentingan keamanaan serta teknologi persenjataan. Di
Amerika Serikat riset-riset universitas di biayai cukup besar oleh Departemen
Pertahanan dan Keamanan Amerika Serikat. Kepentingannya hanyalah satu untuk
mewaspadai perkembangan perang dingin yang terjadi antara Amerika Serikat dan
Uni Soviet. Menurut Said pertanyaan tentang moralitas dan keadilan
dikesampingkan oleh kaum intelektual. Sebab adanya hubungan yang ‘intim’ antara
penguasa dan kaum akademisi dalam menangani berbagai proyek yang diberikan
penguasa.
Kondisi itu menurut penilaian Said
telah melecehkan peranan kaum intelektual. Tugas suci sebagai pembela kebenaran
yang tidak berpihak kepada pemerintah nampaknya gagal ketika berhadapan dengan
kepentingan pemerintah yang selalu dilandasi semangat penaklukan dan
penjarahan. Keadaan tersebut telah menihilkan peran intelektual secara individu
untuk mempertanyakan dan menentang kebijakan perang yang dilakukan oleh kaum
intelektual selama ratusan tahun silam.
Peranan intelektual telah menurun drastis. Menurut Said hal tersebut tentu saja disebabkan adanya relasi kuasa, meminjam istilah Foucalt, yang membelenggu kaum intelektual. Bahkan Said sendiri mengecam kebiasaan kaum intelektual yang mengetahui sebuah kebenaran tapi memilih ‘diam’ bahkan memilih untuk menjadi seseorang yang tidak terlalu politis karena khawatir akan muncul kontroversi sehingga akan menyulitkan kariernya. Intelektual yang selalu ingin dipuji karena menginginkan sosok yang seimbang, obyektif, moderat tapi dengan cara menjilat kekuasaan adalah intelektual yang menurut Said, intelektual profesional yang memandang perannya sebagai suatu mata pencarian.
Peranan intelektual telah menurun drastis. Menurut Said hal tersebut tentu saja disebabkan adanya relasi kuasa, meminjam istilah Foucalt, yang membelenggu kaum intelektual. Bahkan Said sendiri mengecam kebiasaan kaum intelektual yang mengetahui sebuah kebenaran tapi memilih ‘diam’ bahkan memilih untuk menjadi seseorang yang tidak terlalu politis karena khawatir akan muncul kontroversi sehingga akan menyulitkan kariernya. Intelektual yang selalu ingin dipuji karena menginginkan sosok yang seimbang, obyektif, moderat tapi dengan cara menjilat kekuasaan adalah intelektual yang menurut Said, intelektual profesional yang memandang perannya sebagai suatu mata pencarian.
Profesionalisme
adalah menganggap pekerjaan anda sebagai intelektual merupakan sesuatu yang
dilakukan untuk penghidupan dan antara pukul sembilan sampai pukul lima, dengan
sebelah mata tertuju pada jam dan sebelah lagi melirik pada apa yang dianggap
pantas, professional. Intelektual tidak pernah lagi menjadi intelektual ketika
sudah dikelilingi, dibujuk, dikepung oleh masyarakat agar berubah menjadi lain.
Empat tekanan yang mengusik ketulusan serta hasrat intelektual, yaitu
spesialisasi. Semakin tinggi sekolah, semakin dibatasi dalam kawasan ilmu.
Spesialisasi membunuh rasa nikmat dan menemukan. Keahlian dan pemujaan pakar
bersertifikat lebih merupakan tekanan khusus di dunia pasca perang. Tekanan
ketiga dari profesionalisme adalah penyimpangan tak terhindarkan ke arah
kekuasaan dan otoritas di lingkungan pendukungnya, ke arah perolehan dan
pemilik kekuasaan, serta ke arah pendayagunaan olehnya.
Persoalan
bagi kaum intelektual ialah mencoba berhadapan dengan kendala profesionalitas
modern. Bukan pura-pura bahwa mereka tidak di sana, atau mengingkari
pengaruhnya. Tapi dengan mempresentasikan serangkaian nilai dan hak khusus yang
berbeda. Semua ini dihimpun menjadi amatirisme.
Yang secara harfiah berarti beraktifitas yang digerakkan oleh kepedulian dan
rasa bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit.
Intelektual saat ini harus menjadi amatir seseorang yang menganggap bahwa
dengan menjadi anggota masyarakat yang
berpikir serta hirau, orang tersebut berhak memunculkan isu moral dalam kegiatan
yang paling teknis dan professional sekalipun yang melibatkan sebuah negara,
kekuasaannya dan cara berinteraksi dengan warga negara.
F.
MENGATAKAN
KEBENARAN KEPADA KEKUASAAN
Intelektual
sesungguhnya bukanlah seorang fungsioner atau sepenuhnya pegawai yang taat
kepada kebijakan pemerintah, perusahaan raksasa atau orang yang berpikiran
seakan profesional. Menurut cara mempertahankan kebebasan intelektual yang
relatif ialah pemilikan sikap amatir (bukan professional). Salah satu yang
terkotor dari seluruh langkah awal intelektual adalah penyalahgunaan dalam
kultur seseorang sembari memaafkan praktek serupa di negeri sendiri. Suara
intelektual adalah suara kesepian, tapi ia bergema hanya karena menghubungkan
dirinya secara bebas dengan realitas sebuah gerakan, aspirasi orang, pengejaran
cita-cita bersama.
G.
DEWA-DEWA
YANG SELALU GAGAL
Aspek
tersulit untuk menjadi intelektual ialah mempresentasikan apa yang anda
nyatakan karya intervensi, tanpa dibekukan ke dalam sebuah institusi atau
sejenis menurut perintah sebuah sistem atau metode.
Jantung
dari fenomena perpalingan (konversi) adalah ketergabungan. Tak hanya dalam
persekutuan, tapi dalam pelayanan, serta kendati orang benci menggunakan
istilah ini, bekerja sama.
Hubungan
cendekiawan dengan kekuasaan adalah sebagai orang yang paling terkemuka
bidangnya kaum cerdik pandai ini sangat lazim digunakan oleh kekuasaan, hal
tersebut membuat para cendekiawan
melupakan tanggung jawab moralnya.
Sesuatu
yang mengendalikan seluruh masyarakat atau negara, seperti yang dikatakan Marx,
bebaskan intelektual dari pertanyaan-pertanyaan yang relatif khas tentang
interpretasi. Sebab perubahan sosial dan transformasi jauh lebih penting.
Analisis
intelektual yang riil tak membolehkan pandangan bahwa satu sisi tidak berdosa
sedangkan sisi lainnya jahat. Sebaliknya intelektual yang benar adalah yang
sekuler. Namun, banyak intelektual berpura-pura bahwa peran mereka adalah
sesuatu yang lebih tinggi, nilai pamungkas, moralitas bermula dengan aktivitas
mereka dalam dunia sekuler kita, dimana ia berlangsung, kepentingan siapa yang
dilayani, bagaimana ia cocok dengan etika yang konsisten dan universal,
bagaimana ia membedakan antara kekuasaan dan keadilan, apa yang ia ungkap
sehubungan dengan pilihan dan prioritas seseorang. Para dewa yang senantiasa
gagal ini pada akhirnya selalu menuntut dari intelektual sejenis kepastian
absolut dan total, pandangan tanpa klaim tentang realitas yang hanya mengakui
murid atau musuh.
H.
INTELEKTUAL
INDONESIA
Zaman Kolonial Belanda
Kaum
cendekiawan menjadi suara kesadaran sosial dan sebagai penggagas reformasi di
kala pergolakan di negeri ini. Dimulai dari hindia Belanda mendirikan
sekolah-sekolah untuk bangsawan dan birokrat pribumi. Keuntungan yang diperoleh
dari pendidikan sekolah tersebut terpenuhinya kebutuhan dari orang-orang
Belanda, pendidikan di dalam dan luar negeri pencerahan untuk melek terhadap
hantu imperialism-kolonialisme dan mendambakan negara bangsa dan terciptanya
intelektual organik seperti; Wahidin, Tjipto Mangunkusumo, Sutomo, Mas Marco,
Tan Malaka dan Adisurjo. Dimana mereka semua termasuk ke dalam intelektual
aktivis yang terlibat dalam praktis bertujuan emansipatoris.
Pasca Kemerdekaan
Setelah pemerintahan sudah
terbentuk, kaum intelektuallah yang menempati posisi penting di birokrasi
seperti; Hatta dan Syahrir, Soekarno, Wilopo, Achmad Soebarjo. Mereka menjadi
penguasa pengganti memainkan peran baru dengan semangat yang berlebihan.
Maklum, gelora revolusi masih berlanjut. Tidak seperti yang digantikan, mereka
mencoba tampil populis dan merasa lebih teremban untuk mencerdaskan dan
memajukan rakyat. Walaupun masuk ke link birokrasi, para cendekiawan ini pada
umumnya tetap tampil sebagai benteng akal sehat yang bisa kritis terhadap
kekuasaan itu sendiri. Sedangkan yang lainnya merambah dunia swasta dengan
menjadi aktivis partai, pengajar, budayawan, atau seniman, wartawan dan
pengacara.
Zaman Orde Lama
Kaum cendekiawan terimbas dengan
munculnya Soekarno dengan iklim politik barunya (Jakarta Centrisme). Terjadinya
pemberian angin kepada PKI dan yang kritis dijebloskan ke penjara seperti
Syahrir, Moh, Roem, Natsir, Mochtar Lubis, akademisinya yaitu H.B Jassin dan
Mochtar Kusumaatmadja.
Zaman Orde Baru
Golkar
sebagai mesin politik, menjadikan kaum terdidik sebagai salah satu rekruitmen
utamanya. Dimana memberikan tempat khusus pada para cendekiawan seperti
Ginanjar Kartasasmita yang menjabat Menko dan kepala Bapenas, Daoed Jusuf, Fuad
Hasan dan Soedjatmoko yang merupakan duta besar RI di PBB. Sebenarnya
pengangkatan tersebut merupakan hal yang lumrah, tetapi menjadi berubah ketika
Leimena, Soemantri Droejonegoro, Emil Salim, Sadli, Ismail Sunny bekerja sama
dengan pemerintahan Soekarno. Mereka di cap sebagai intelektual-intelektual
karena mengabdi kepada kekuasaan yang sudah menyimpang. Kultur politik orde
baru tidak memungkinkan mereka untuk memperlihatkan perbedaan sikap.
Reformasi
Cendekiawan tidak mempunyai cukup
ruang gerak untuk menjalankan peran sesuai dengan nurani intelektual cemerlang
yang menjadi bagian dari birokrasi pun harus disubordinasikan keyakinannya,
dimana kepentingan kekuasaan yang diabdinya. Di masa kampanye mereka harus
menjadi jurkam yang mewartakan kisah-kisah klise sukses pembangunan. Alih-alih
mengawal akal sehat, mereka menjadi tukang propaganda atau yang disebut Benda
sebagai Pengkhianat Intelektual. Masih terdapat intelektual yang gigih yaitu
aktivis dan kaum profesional a’la intelektual organiknya Gramsci seperti Y.B
Mangunwijaya, Arief Budiman, George Yunus Aditjondro, Amien Rais, Sri Bintang
Pamungkas, Mukhtar Pakpahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Said,
Edward. 1998. Peran Intelektual. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR
ISI ............................................................................................. ii
A.
PENGANTAR
............................................................................................. 1
B.
PERAN
INTELEKTUAL .............................................................................. 3
C.
MENGESAMPINGKAN
BANGSA DAN TRADISI ................................. 7
D.
INTELEKTUAL
DI PENGASINGAN: KAUM EXPATRIAT
DAN
KAUM MARJINAL ............................................................................ 8
E.
KAUM
PROFESIONAL DAN AMATIR .................................................... 9
F.
MENGATAKAN
KEBENARAN KEPADA KEKUASAAN .................... 12
G.
DEWA-DEWA
YANG SELALU GAGAL .................................................. 13
H.
INTELEKTUAL
INDONESIA ..................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 17
No comments:
Post a Comment