BAB I
PENDAHULUAN
Mazhab
Frankfurt ialah sebuah nama yang
diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut
Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang
dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai mulai berkembangnya Mazhab
Frankfurt ini adalah 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur
lembaga riset sosial tersebut. Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai
anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan
Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah
mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab', dan bahwa penamaan ini
diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah
ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme
dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari mempengaruhi munculnya bidang
ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan
cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara
lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain,
yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl
Marx. Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban'
terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama
dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah
berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para
pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa
menjawab tantangan zaman.
Patut
dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab
Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di periode awal secara langsung
menjadi korban Fasisme Nazi. Kejadian
paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh
diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang
lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke
negara lain, terutama Amerika Serikat.
Makalah ini,
difokuskan
pada sejarah, pemikiran tokoh-tokoh Mazhab Frakfurt dan Kritik, Norma, dan Utopia: Telaah
Dasar Teori Kritis Jerman dengan tujuan
sebagai pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan Mazhab
Frankfurt pada khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang
memerlukan energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke relung
terdalam dari ranah filsafat.
BAB II
MAZHAB FRANKFURT
A.
SEJARAH MAZHAB FRANKFURT
Aliran Frankfurt
atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter
Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul
dari lingkungan Institut für
Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis
mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut
membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil
pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer
dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus,
sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich
Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus
sastra) dan lainnya.
Cara
berpikir aliran Frankfurt dapat
dikatakan sebagai teori kritik masyarakat (eine
Kritische Theorie der Gesselschaft). Maksud teori ini adalah membebaskan
manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini
berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan
bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar
filsafat khususnya filsafat sosial pada waktu itu. Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx
sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah
bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran
filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal
Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya
Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir
dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant. Jadi
dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx,
pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom
Immanuel Kant bukan merupakan barang- barang yang asing dalam pemikiran Teori
Kritis.
Dalam
perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan
pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis
(meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai
pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme).
Selain melahirkan Teori Kritis, sesungguhnya masih banyak hal lain yang diupayakan Mazhab Frankfurt. Di antaranya adalah pengawinan Marxisme dengan psikoanalisis, studi tentang otoritarianisme dan kritik budaya massa. Ini semua mereka lakukan dalam rentang waktu 1925 sampai 1950, memotret dinamika yang terjadi di dalam Mazhab Frankfurt, proses yang harus dilewatinya dalam melahirkan karya-karya brilian yang hingga saat ini masih diperhitungkan di kancah ilmu-ilmu sosial, sampai perbenturan pemikiran dan kepentingan dengan pihak kawan maupun lawan.
Selain melahirkan Teori Kritis, sesungguhnya masih banyak hal lain yang diupayakan Mazhab Frankfurt. Di antaranya adalah pengawinan Marxisme dengan psikoanalisis, studi tentang otoritarianisme dan kritik budaya massa. Ini semua mereka lakukan dalam rentang waktu 1925 sampai 1950, memotret dinamika yang terjadi di dalam Mazhab Frankfurt, proses yang harus dilewatinya dalam melahirkan karya-karya brilian yang hingga saat ini masih diperhitungkan di kancah ilmu-ilmu sosial, sampai perbenturan pemikiran dan kepentingan dengan pihak kawan maupun lawan.
Mazhab Frankfurt
beranggotakan cendekiawan - cendekiawan senasib sepenanggungan yang mengalami
remuk redamnya peradaban umat manusia di Eropa pada paruh pertama abad XX.
Mereka gelisah, mereka cemas dan oleh karena itu merasa harus bertindak dengan
cara mereka sendiri demi mempertanggungjawabkan karunia kecerdasan dan hati
nurani yang mereka miliki. Latar belakang inilah yang menyatukan mereka ke
dalam satu visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian mengkristal menjadi
sebuah mazhab.
Pasti
ada yang bisa dipetik dengan membaca sejarah Mazhab Frankfurt, bisa jadi buah yang akan diperoleh itu adalah
kesadaran tentang betapa berharganya integritas dan loyalitas pada kebenaran
bagi seorang cendekiawan. Tidak kurang dari itu, akan disadari pula betapa
pentingnya tradisi pemikiran yang telah menggembleng seseorang sehingga bisa
menjadi cerdik-cendekia, dan bagi Mazhab
Frankfurt, tradisi itu adalah idealisme Jerman dan Marxisme.
B.
PEMIKIRAN
PARA TOKOH DAN TEORI-TEORI MAZHAB FRANKFURT
1.
Rasionalitas
Positif-Negative (J.Hebermass)
"Pemikiran
Habermas menoleh kedalam dua hal, yakni disatu sisi kepada sistem dengan
mekanisme dominasi dan distorsi yang diakibatkannya kepada dunia kehidupan, dan
disisi lain kepada perumusan pemikiran untuk menciptakan tatanan yang lebih
bermoral.merumuskan dua macam rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental,
yang merupakan bentuk rasionalitas yang membenarkan sistem penindasan oleh
logika sistem administrasi dan ekonomi kapitalis untuk mencapai efiensi dan
efektifitas sebesar-besarnya demi keuntungan yang bersifat strategik, dan
rasionalitas komunikatif, yang berupaya mewujudkan penciptaan ruang publik
kritis dan mempunyai potensi untuk mencapai emansipasi melalui komunikasi yang
bebas dominasi dan setara, untuk mudahnya kita bisa membuat distingsi antara
rasionalitas negatif, yakni rasionalitas instrumental, dan rasionalitas
positif, yakni rasionalitas komunikatif. Akar dari semua permasalahan sosial
kontemporer, menurut Habermas, terletak terjadinya distorsi komunikasi yang
diakibatkan oleh logika rasionalitas instrumental didalam sistem birokrasi
pemerintahan dan sistem ekonomi “merangsek” masuk kedalam dunia kehidupan yang
seharusnya bersifat komunikatif".
2.
Teori
Ingatan dan Sejarah Masa Lalu Manusia (Walter Benjamin 1892-1940)
Menurut
Benjamin, masa lalu dan masa kini memiliki hubungan sekaligus berada dalam
sebuah konstelasi, bukan demi memiliki dirinya sendiri. Masa lalu memiliki
potensi sejarah di masa kini dan masa mendatang. Singkatnya, masa lalu sendiri
memiliki arti bagi masa kini. Sehinga manusia kini selalu harus mampu merajut
relasi yang bermakna dengan pergulatan historis masa lalu dalam wujud sikap
solidaritas, yakni kita berjalan maju dalam sejarah dengan "muka menghadap
masa lalu dan punggung membelakangi masa depan".
Paham
atau pemikiran Benjamin demikian muncul dari refleksi dirinya atas sejarah
kehidupan manusia dalam bentuk kritik dirinya terhadap paham historisisme, yang
juga secara khusus ia kenakan kepada diri Horkheimer yang mengatakan bahwa
sejarah manusia adalah tertutup (closed).
Artinya, sejarah kemanusiaan masa lalu sudah tertutup di masa lalu dan tidak
memiliki relevansi apa pun dengan sejarah masa kini.
3.
Teori
Keterpisahan Eksistensial (Erich Fromm)
"Fromm,
merumuskan keterpisahan eksistensial ini dalam kecemasan. Ia berusaha
mengangkat perasaan cemas dan kekalutan yang dialami manusia bahwa mereka akan
ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka kasihi atau mereka akan lebih dulu
meninggalkan orang-orang terkasihnya. Kecemasan akibat keterpisahan
eksistensial ini sama dengan sebuah kesendirian."
Salah
satu cara untuk memenuhi kebutuhan mengatasi keterpisahan itu dengan
menenggelamkan diri dalam keadaan orgiastik.
Mereka menghendaki pengalaman trance
untuk melepaskan keterpisahan. Trance
ini sendiri bisa melalui dalam diri manusia yakni pada apa yang disebutnya
kondisi terdalam kemanusiaan, spiritualitas, atau rohani. Bisa juga dengan
bantuan alkohol dan obat bius namun sifatnya sementara. Cara lain adalah
melalui aktivitas seksual.
4.
Teori
Tindakan komunikatif (Communicative Action
Theory), J.Hebermas
Teori
tindakan komunikatif menyatakan adanya situasi ideal (ideal speech situation) yang memungkinkan manusia melakukan
komunikasi secara terbuka dan setara sebagai basis bagi terciptanya kesungguhan
(sincerity), kejujuran (truthfulness) dan interaksi yang
intelektual (intelligibility).
5.
Framing Analysis (Erving Goffman 1974)
"Goffman
bergeser dari cara pandang interaksionisme simbolik menuju studi struktur
kehidupan sosial berskala kecil. Ia melakukan kajian atas sekian banyak struktur
yang tidak terlihat dalam masyarakat yang membangun kejadian atau tindakan
manusia yang bermakna. Kerangka (frame
adalah prinsip organisasi yang memberi definisi atas pengalaman kita. Frame memberikan kita asumsi terhadap
apa yang kita lihat dalam kehidupan sosial) "
6.
Symbolik Interactionalism Theory (Mead)
Menurut
perspektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari sudut
pandang subyek. Teori ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Inti pada penelitian ini
adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yang
merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan
sesame. Makna yang mereka berikan kepada objek berasal dari interaksi sosial
dan dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Inti dari teori interaksi
simbolik adalah “self” atau diri. Mead menganggap konsep diri adalah suatu
proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain ( D.
Mulyana, 2001:73 ).
Makna
adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek,
melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan
karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan
atau peristiwa, bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu
( D.Mulyana 2001:72).
Terbentuknya
makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan
respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon
lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia)
yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan
berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih
bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka
alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat memberikan
pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.
Namun,
makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke
waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk
fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan
terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan
faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan
dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau
merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi
terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia
ucapkan.
BAB III
KRITIK, NORMA,
DAN UTOPIA:
TELAAH TEORI
DASAR TEORI KRITIS JERMAN
A. PENGANTAR
Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan
yang sedemikian pesat. Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia
dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang
sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan teknologi
yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan
manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.
Bahkan, teknologi telah merasuki
simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia. Kehidupan manusia bisa
sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak” dalam keterbatasannya
sebagai manusia. Giddens (1990) pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas,
komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan
transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan, penerangan
listrik, komunitas melting pot, dan
masih banyak lagi. Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan
janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin
pintar, lebih bahagia dan sebagainya1.
Tapi di lain
pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa dipisahkan dengan
aspek-aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan
juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia2. Dalam akumulasi
kemajuan teknologi yang ada, tetap dilihat sebuah proses di mana manusia dibuat
mabuk kepayang oleh modernitas, komunikasi dan teknologi modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern
bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia.
Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.Maka diperlukan
sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat secara
arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia peroleh. Manusia boleh
memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap menjadi subjek dalam
setiap proses kemajuan yang ada.
Sejarah ilmu pengetahuan pada
umumnya, dan filsafat pada khususnya – mencatat bahwa Teori Kritis yang
berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt
Jerman telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan
memahami modernitas manusia.
Kehadiran Max Horkheimer, Theodor.
W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan kawan-kawan telah memberikan
angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena modernitas
yang menjanjikan tapi juga kalau tidak hati-hati –menjerumuskan. Meski
sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa
dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis.
Untuk memahami secara lebih luas
Teori Kritis, penulis mencoba untuk membuat wacana kecil yang didasarkan dari
buku Seyla Benhabib yang berjudul“CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA: A Study of The Foundations of Critical
Theory” (selanjutnya akan disebut CNU). Buku Seyla Ben Habib ini dipilih
karena dalam buku ini termuat beberapa argumen inti pemahaman Seyla Benhabib
terhadap Teori Kritis. Argumentasi Seyla Benhabib begitu solid dan komprehensif
mengkritisi beberapa kata kunci dalam aliran Teori Kritis.
Penulis akan membagi tulisan dalam
makalah ini dalam tiga bagian inti. Bagian pertama penulis akan lebih banyak
menulis tentang Teori Kritis dari tinjauan historis dan beberapa istilah dan
pemahaman kunci dalam Teori Kritis. Bagian kedua, penulis mencoba untuk melihat
secara ringkas pandangan Seyla Benhabib beberapa aspek teknis dan metodologis
penulisan buku. Bagian ketiga, meski dalam bentuk yang sangat sederhana,
penulis mencoba merekonstruksi bangun argumentasi Seyla Benhabib mengenai dasar-dasar
Teori Kritis dalam buku tersebut. Pada bagian ini juga, penulis memberikan
beberapa konsiderasi kritis atas bangun argumentasi yang dibangun oleh Seyla
Benhabib3.
B. ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory): Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci
Aliran Frankfurt atau sering dikenal
sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan
sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir
sosial Frankfurt ini membuat refleksi
sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang
rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.
Aliran Frankfurt dipelopori oleh
Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika
aliran Frankfurt dipimpin oleh Max
Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno
(musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang
fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog),
Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya4.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat
dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan
manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini
berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan
bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar
filsafat khususnya filsafat sosial pada waktu itu5. Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai
titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa
Sekolah Frankfurt tetap mengambil
semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari
pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran
kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat
cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant.
Jadi dapat
dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran
ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel
Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah
Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke
dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis
menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme).
Lalu, bagaimana empat inspirasi
intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan pemikiran Teori
Kritis? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi
sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi
ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud.
Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant,
karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk
pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai
pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan
oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak
perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai
kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia.
Tapi masalahnya, Teori Kritis
melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis.
Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas
dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat
abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant,
karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi
inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan
Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari
soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant
tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi
aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis
mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang
dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant.
Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat
oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio
manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan
rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus
semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna.
Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas
manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang
diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah
proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip
working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif
empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan
teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah
simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin Jay, pp. 42).
Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh
Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk
mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan
pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas kesadaran, tapi
asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran
rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas
kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta
mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat
bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel,
penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih
tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui
(aufheben). Padahal, problematika
manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap
ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.
ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.
Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel
atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran
filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme
dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa
kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik
kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian
emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin
menyatakan bahwa filsafat tidak hanya
merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan
untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan
determinisme ekonomis.
Teori Kritis mengambil pengertian
emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik
dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada
tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan
pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia
atas praksis kapitalistis.
Persoalan menjadi muncul ketika
hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern.
Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis
telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan
bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru
dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi
dengan situasi modern.
Hal tersebut menjadikan Teori Kritis
menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada
faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi
dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan
individu. Adagium ini semakin
diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik.
Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio
manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat
bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada
pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia.
Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan
menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme
modern yang semakin kompleks.
Keempat, Teori kritis mencoba untuk
melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi
pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia.
Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi
Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna
ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi
menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia6. Namun kritik
ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung
ditentukan oleh kenyataan(Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang”
pada ruang bangunan atas yang sarat ideologidengan basis yang bersifat
sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh
Marcuse sebagai “kesadaran palsu”.
Teori Kritis melihat bahwa
psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya
Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat
integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam
usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang
individual – dalam tataran mikro – dan masyarakat –dalam tataran makro sosial
kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam
penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien
über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).
Setelah mengetahui beberapa asumsi
dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi
proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara
rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat
akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan.
Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman
rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur
dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang
keliru tentang rasionalitas.
Sasaran atau objek kritik
rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan.
Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia
dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial
yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas
adalah pembebasan manusia atas perbudakan
alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak
berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi
rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi.Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan
oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam
dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi.
Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri
(Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics
of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).
Selain bahwa pencerahan mengalami
kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap
masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa
masyarakat mengalami satu dimensi7
(Marcuse, One Dimensional Man, 1964
selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek
sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya. Dalam
masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang
sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus
dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas
logika Aristotelian.Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.
C. RANCANG BANGUN Seyla Benhabib DALAM BUKU CRITIQUE,
NORM AND UTOPIA
Seyla Benhabib (seorang perempuan)
adalah seorang pemikir teori kritis. Dia merupakan intelektual sistematik yang
mempelajari seluk beluk Teori Kritis. Dia adalah penerima bea siswa Alexander
von Humboldt dari juni 1979 sampai Desember 1981 pada Max Planck Institutes fur Erforschung der Leben. Seyla Benhabib
belajar langsung di bawah bimbingan Jurgen Habermas dan C.F. von Weizsacker.
Seyla Benhabib menulis buku ini dengan membagi dua bagian besar buku yang mempunyai
isi yang berbeda. Meski berbeda tapi dua bagian besar itu tetap memperlihatkan
hubungan yang sangat erat.
Bagian
pertama buku ini lebih banyak berisi pandangan dan perspektif Seyla Benhabib
atas konsep kritik dalam karya Hegel berikut transformasi pengertian kritik
dalam pandangan Karl Marx. Dalam bagian kedua, Seyla lebih banyak menyatakan
transformasi konsep kritik dalam pengertian Hegel dan Marx diradikalisasikan
oleh Sekolah Frankfurt, khususnya dalam pandangan Horkheimer dan Adorno. Pada
bagian ini, Seyla Benhabib juga menambahkan refleksi kritik akal budi
fungsionalis dalam masyarakat pasca-kapitalis yang dikembangkan oleh Jurgen
Habermas.
Seyla Benhabib
dalam buku ini lebih kuat dalam penalaran penelusuran tematik yang
dibicarakannya dengan menyertakan konteks sosial, historis, konseptual dari
ragam teori yang dibicarakan.
Seyla
Benhabib berkata:
…in general, to understand a philosophical argument and to evaluate its
cogency, it is necessary to know the questions and puzxles which such an
argument proposes to answer. To understand these questions and puzzles, in
turn, it is necessary to reconstruct those social, historical dan conceptual
contexts which form the horizon of inquiry of different theories.(CNU,hal. x)
Tujuan utama penulisan buku ini
adalah pengembalian dan penyusunan kembali ketidakjelasan-ketidakjelasan” dalam
proyek-proyek Teori Kritis terutama dalam konteks perkembangan teoritis yang
ada8.
Seyla Benhabib memulai diskusi proyek Teori Kritis
dengan mencoba untuk menarik kilas dasar metode kritik imanen Hegelian. Dalam
wacana filsafat modern, metode imanen sering disebut dengan metode penelitian
filsafat non kriteriologis. Metode non kriteriologis
ini menarik untuk dibahas karena peneliti diperkenankan untuk
mengkritisi argumen kontra dengan memperlihatkan inkonsistensi internal atau kontradiksi internal yang ada dalam setiap teks proposisi
filosofis yang dikritisi. Hegel mengkritisi teori hak
kodrat dengan mengkritisi aspek internalnya. Sedemikian juga halnya, Marx
mengkritisi teori hak kodrat modern John Locke dan Kant
sebagai hal yang preskriptif dan ideologis.
Bab kedua memperlihatkan dasar
temuan Hegelian atas makna kerja dan prinsip emansipasi. Seyla Benhabib lebih
condong memprioritaskan tulisannya pada tulisan Hegel yang berjudul “The
phenomenology of Spirit”. Secara umum, tulisan pada bab II ini lebih banyak
mendiskusikan filsafat subjek. Filsafat subjek tidak ditolak tapi justru
dipertegas melalui tulisan Marx dalam Manuscripts 1844. Model tindakan sosial
manusia dan dasar rasionalitas kritik sangat diperlukan dalam seluruh pemahaman
Teori Kritis. Model kerja tersebut sebetulnya telah diperkenalkan oleh Hegel dalam prosesekst ernalisasi manusia, tapi hal itu diubah oleh Karl Marx sebagai produksi9. Tindakan kerja manusia ini juga akan menjadi tema utama dalam Teori Kritis. Pengembangan lebih lanjut filsafat subjek yang akhirnya menempatkan kerja sebagai unsur vital dalam Teori Kritis selain dalam pemikiran Marxisme Ortodox.
Teori Kritis. Model kerja tersebut sebetulnya telah diperkenalkan oleh Hegel dalam prosesekst ernalisasi manusia, tapi hal itu diubah oleh Karl Marx sebagai produksi9. Tindakan kerja manusia ini juga akan menjadi tema utama dalam Teori Kritis. Pengembangan lebih lanjut filsafat subjek yang akhirnya menempatkan kerja sebagai unsur vital dalam Teori Kritis selain dalam pemikiran Marxisme Ortodox.
Bab keempat buku Seyla Benhabib
lebih banyak berisi argumentasi Seyla Benhabib melawan makna tindakan dan
filsafat subjek. Dalam argumentasinya, Seyla Benhabib mencoba membagi dua dimensi
inti argumennya, yaitu dimensi klarifikasi filosofis atas konsep tindakan,
interpretasi dan otonomi. Dimensi lainnya adalah dimensi kritik Seyla Benhabib
atas model kerja dari tindakan dan filsafat subjek berikut implikasinya terhadap
teori sosial yang ada. Kritik Seyla Benhabib ini terpecah dalam soal analisis
Marx atas kapitalisme, diagnose Aliran Frankfurt
atas masyarakat state-capitalist dan teori Habermas atas
masyarakat kapitalisme lanjut.
Tataran wacana terakhir akan menyatakan
pandangan Seyla Benhabib tentang pertanyaan: apa yang bisa dipelajari dari
kritik Hegel atas teori Kant dalam konteks pengembangan program etika komunikatif
dan otonomi? Keberatan Hegel atas prinsip universalibitas Kant menjadi pegangan
teks terakhir ini. Dalam kaitan ini, prinsip kritik Hegel ini akan
dielaborasikan dengan prinsip keadilan prosedural John Rawls sebagai penganut neo-kantisme (Rawls, 1974)10.
Konsep norma dan utopia selalu
mengandaikan politik pemenuhan dan politik transfigurasi. Dalam hal ini, Seyla
Benhabib melihat bahwa politik pemenuhan dan politik transfigurasi juga mempengaruhi
pola pandangan Teori Kritis dalam seluruh perkembangannya. Hal-hal di atas
merupakan beberapa hal pokok terutama ketika kita melihat beberapa konsep kunci
yang diperlihatkan oleh Seyla Benhabib. Seyla Benhabib sebagai seorang penulis
tidak hanya sekedar menulis mengenai apa saja dasar-dasar Teori Kritis tapi
secara jeli juga memberikan penilaian kritis terhadap Teori Kritis itu sendiri.
Itulah sifat kritik imanen yang dikembangkan terus oleh Seyla Benhabib dalam
bukunya.
D. BEBERAPA WACANA KUNCI ARGUMENTASI Seyla Benhabib: Kritik,
Norma Etis dan Utopia
Setelah kita melihat rancang bangun
buku yang ditulis oleh Seyla Benhabib, maka penulis akan mencoba untuk
mendalami beberapa argumentasi yang dia bangun secara sistematis. Dalam bukunya
ini, Seyla Benhabib banyak mengandaikan kemampuan pembaca untuk berdialog
dengan para pemikir Jerman baik dalam era Aufklarung
maupun era Modern.
Wacana I: KRITIK
Berbicara tentang Teori Kritis tidak
bisa dipisahkan dengan wacana kritik. Kekuatan Teori Kritis terletak pada
kemampuan elaborasi kritik dalam situasi dan kondisi tertentu. Sudah sejak awal
Teori Kritis mengambil sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan dalam hal ini
teori tradisional dan masyarakat. Teori Kritis secara lengkap memberikan
pendasaran kritik pada krisis teori tradisional yang melulu mempertahankan
status quo yang ada, teori yang memisahkan teori dan praksis – tidak
berkecimpung dalam penerapan praktis sistem teoritis konseptualnya. Oleh sebab
itu, penolakan Teori Kritis terhadap preskriptivisme dan filsafat sosial
tradisional merupakan warisan Hegel.
Kritik imanen menjadi sangat krusial
dalam seluruh pembangunan sebuah teori yang akhirnya memerdekakan manusia.
Kritik imanen adalah kritik yang pertama dan utama atas dogmatisme dan formalisme
pengetahuan yang ada. Kritik imanen yang dikembangkan oleh Teori Kritis adalah
kritik dogmatisme positivisme yang mendasarkan
pada pemikiran August Comte dan Francis Bacon, juga kritik atas formalisme
deduktif Aristotelianisme yang kaku.
Kritik imanen mau mengatakan bahwa isi dan bentuk, yang apa adanya dan
seharusnya, harus direfleksikan pada dasar kesadaran yang terikat pada bentuk
kehidupan.
Seyla Benhabib mengatakan bahwa
Hegel mengkritisi bifurkasi (entzweiung)
masyarakat modern yang tercermin melalui teori hak kodrati dari titik pijak
utopia yang retrospektif. Menurut Marx, bifurkasi lebih bersifat prospektif:
penyatuan yang universal dengan yang partikular. Dalam dua kasus tersebut, masyarakat
modern dan teori hak kodrati dikritik dalam dalih atas nama idea kebersatuan.
Kritik dalam pengertian Hegel dipengaruhi oleh keberadaan polis. Sementara itu,
kritik Marx dilihat dalam kondisi medan sosial yang antagonistik. Seyla
Benhabib melihat bahwa proses berpikir bifurkasi – de-diferensiasi Hegel dan
Marx untuk konteks di atas tetap tidak dapat dipisahkan dari pandangan
kehidupan etis dan politis yang de fakto
antagonistik dalam masyarakat modern.
Seyla Benhabib berpendapat bahwa
pemahaman yang luas warisan Hegel dan ajaran Marx di atas harus dipahami dalam
kritik yang lebih konkret. Maka Seyla Benhabib memberikan beberapa tesis pelengkap
atas kritik yang ada. Pertama adalah fakta kritik Hegelian atas teori
preskripsi normatif yang ada dan memang terjadi perubahan mendasar dari
pemikiran praktis Aristotelian menuju
filsafat praksis. Maka, Seyla Benhabib menambahkan konsepintersubjektivitas dan
trans ubjektivitas11 dalam
wacana subjek Hegelian. Tidak berhenti di situ saja, Seyla Benhabib juga
memberikan kritik tajam atas pandangan Marx tentang emansipasi. Menurutnya,
emansipasi harus dibagi dalam dua pengertian yang jelas: pemenuhan dan transfigurasi.
Terminologi pemenuhan (fulfillment) dan transfigurasi adalah
konsep yang berbeda dengan emansipasi. Terminologi pemenuhan dan transfigurasi
lebih bersifat substantif dan normatif. Sifat yang sama juga dialami oleh term
intersubjektivitas dan transubjektivitas. Terminologi pemenuhan lebih mengacu
pada nilai Marxian sementara transfigurasi lebih mengacu pada ide Hegel.
Intersubjektivitas dan transubjektivitas lebih bersifat konstitutif pada negara
modern. Dalam masyarakat seperti inilah, wilayah tindakan dilembagakan dan
dilaksanakan melalui hukum yang terbuat secara tidak sengaja oleh agen sosial
atau hanya bisa diselidiki oleh subjek transubjektif.
Menurut Seyla Benhabib, Teori Kritis
bermaksud untuk mendemistifikasikan kekuatan domain sosial tersebut atas
kehidupan individu, dan mengembalikan seluruh interpretasi dan tindakan sosial
pada masing-masing individu itu sendiri. Seyla Benhabib berpendapat bahwa
kelemahan pandangan Marx dalam hal ini lebih terletak pada term re-approsiasi.
Re-approsiasi lebih bermakna ketika filsafat subjek
dikembalikan lagi pada posisi sosialnya dari pada hanya sekedar mengedepankan intersubjektivitas.
dikembalikan lagi pada posisi sosialnya dari pada hanya sekedar mengedepankan intersubjektivitas.
Seyla Benhabib mengembangkan
argumentasi intersubjektivitas dan transubjektivitas.
Tesis Seyla Benhabib adalah diskursus intersubjektivitas dan transubjektivitas
menjadi pokok masalah dalam pembahasan Teori Kritis. Hegel dan Marx tidak
mengasumsikan kerja sebagai karya individu yang terisolasi. Kerja selalu
bersifat sosial. Oleh sebab itu, kerja sebagai proses realisasi diri tidak
dipahami
sebagai kerja individual tapi komutatif atau kolektif. Hegel dan Marx ternyata justru bersifat transubjektif dalam melihat kerja kolektif .
sebagai kerja individual tapi komutatif atau kolektif. Hegel dan Marx ternyata justru bersifat transubjektif dalam melihat kerja kolektif .
Kritik Hegelian dan keberatan atas
teori hak kodrati merupakan kesatuan bersama pada tingkatan kehidupan etis.
Menurut Seyla Benhabib, Hegel melihat sejarah sebagai keniscayaan sosial, etika
dan idealisme nilai. Filsafat sebetulnya dipakai untuk mengurangi bifurkasi
dalam kehidupan manusia. Tapi masalah dalam epistemologinya, Hegel tidak
memberikan pandangan yang utuh atas seluruh proses manusia, termasuk di
dalamnya cara pandang, tata nilai, interpretasi dan tindakan sosial. Kritik anthropologis
Marx terhadap Hegel lebih memanusiakan filsafat sejarah Hegel. Tapi tetap saja,
kritik Marx merupakan model normatif atas emansipasi. Ketidakakurasian kategori
Marxian atas objektifikasi untuk mengkarakterisasikan aktivitas komunikatif dan
kegagalan paradigma Hegel atas nilai eksternalisasi membawa pengaruh yang tidak
sedikit dalam pemahaman Teori Kritis. Objektifikasi dan eksternalisasi
didasarkan pada model teleologis intensional tindakan manusia.
Wacana II: Norma dan Transformasi Kritik
Dalam wacana selanjutnya, Seyla
Benhabib mencoba mencatat tingkat radikalisasi dan transformasi kritik Hegel
dan Marx yang dilakukan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Dalam kaitan
dengan kritik rasionalitas, Teori Kritis jelas telah mengambil sikap dalam
empat karakter utama, yaitu Teori Kritis selalu bersifat historis. Perkembangan
Teori Kritis selalu mengacu pada situasi masyarakat yang konkret dan berpijak
dan tidak berjarak dari realitas, Teori Kritis disusun dalam keterlibatan aktif
dan historis dari para pemikirnya, Teori Kritis tersusun dalam proses
kecurigaan kirtis terhadap masyarakat aktual, yang bermaksud untuk menelanjangi
manipulasi-manipulasi ideologi–ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat.
Teori Kritis, terutama ditujukan untuk menjadi teori yang bertujuan praktis.
Teori Kritis mengambil sikap untuk tidak netral.
Seyla Benhabib pada bagian ini lebih
mau mendiskusikan posisi Teori Kritis dalam seluruh konteks transformasi kritik
Hegelian dan Marxian dalam perspektif Teori Kritis. Keterbatasan dan kelemahan
metodologis epistemologi Hegel dan Karl Marx memperlihatkan perlunya
penjernihan makna kritik dan norma sosial. Kelemahan kedua filsuf itu terletak
pada ketidakmampuan kedua filsuf tersebut membumikan proses kritik imanen dan
pencerahan yang sebetulnya menjadi cita-cita teori yang mereka buat. Dengan
demikian perlu ada eksplorasi transformasi proyek kritik dengan menggunakan
konsep kritik imanen, kritik
defetishsasi dan kritik sebagai diagnosa krisis. Pola dominan yang dipunyai
Teori Kritis dalam pembahasan ini adalah bahwa kritik Hegelian dan Marxian
ditransformasikan menjadi kritikatas rasio instrumental12.
Inti kritik rasio instrumental
Horkheimer, menurut Seyla Benhabib, adalah bahwa telah terjadi penjerumusan
akal budi objektif dengan mengemukakan akal budi yang semata-mata instrumental.
Usaha manusia untuk semakin dikuasai oleh rasionalitas justru membuat manusia
masuk pada kehancuran diri (self-destruction).
Untuk itu, manusia mengusahakan akal budi yang murni subjektif. Akal budi
subjektif
adalah akal budi yang mengarah pada manfaat.
adalah akal budi yang mengarah pada manfaat.
Akal budi subjektif, dalam pandangan
Seyla Benhabib, selalu mengandaikan dan melanggengkan self-preservation13, di mana akal dimanfaatkan untuk menjadi alat
perhitungan kemungkinan-kemungkinan tercapainya tujuan subjek14
(Horkheimer, 1964). Lawan akal budi subjektif (instrumental) adalah akal budi objektif. Seyla Benhabib melihat
bahwa Horkheimer berpendapat bahwa akal budi objektif mempunyai wewenang
terhadap manusia. Rasio objektif tidak netral. Dengan demikian,
Horkheimer menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi moral dan reflektivitas moralitas yang tangguh dalam seluruh proses pemilihan tindakan sosial yang ada. Akal budi instrumentalis padadasarnya netral karena rasio instrumental bisa digunakan sebagai tujuan di luar dirinya sendiri15 (Sindhunata, 1983).
Horkheimer menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi moral dan reflektivitas moralitas yang tangguh dalam seluruh proses pemilihan tindakan sosial yang ada. Akal budi instrumentalis padadasarnya netral karena rasio instrumental bisa digunakan sebagai tujuan di luar dirinya sendiri15 (Sindhunata, 1983).
Pada proses selanjutnya, manusia
tidak lagi percaya pada konsep nilai dalam rasio objektif. Akal budi
diformalitaskan. Formalisasi akal budi memudahkan terjadi instrumentalisasi
akal budi manusia. Hal ini terjadi ketika akal budi manusia dimasukkan dalam
proses kapitalisasi kolektif dalam perspektif ekonomi politik Karl Marx.
Pergeseran demi pergeseran mengubah manusia dalam kungkungan ideologi
di mana manusia tidak bisa lagi kritis dengan keadaan sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri. Masalahnya, Seyla Benhabib mencatat adanya ambivalensi posisi Teori Kritis dalam kritik rasio instrumentalis. Di satu pihak, Teori Kritis memang menangkap maksud pemikiran Weberian dalam proses rasionalisasi tapi di lain pihak Teori Kritis juga menerapkan utopia rasionalisasi kemasyarakatan dan kebudayaan.
di mana manusia tidak bisa lagi kritis dengan keadaan sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri. Masalahnya, Seyla Benhabib mencatat adanya ambivalensi posisi Teori Kritis dalam kritik rasio instrumentalis. Di satu pihak, Teori Kritis memang menangkap maksud pemikiran Weberian dalam proses rasionalisasi tapi di lain pihak Teori Kritis juga menerapkan utopia rasionalisasi kemasyarakatan dan kebudayaan.
Berkaitan dengan konteks di atas,
Seyla Benhabib melihat bahwa konsep self-preservation mengimplikasikan cara
berelasi, keperluan dan keinginan diri sebagai sesuatu yang tidak berubah dan ahistoris.
Meskipun demikian konsepself-preservation
tetap memperhatikan kondisi sosial, sejarah. Otonomi manusia mangandaikan
tindakan reflektif. Tindakan reflektif ini akan dinilai oleh prinsip etis sosial
yang terkait dengan latar belakang kolektif yang ada. Menurut Seyla Benhabib,
Horkheimer mempertahankan wacana etika formalisme Kantian. Pada dasarnya, Teori
Kritis mengembangkan etika material atas nilai. Horkheimer mencoba
memperlihatkan dan mengeksplorasi seperangkat norma yang seharusnya memberikan
makna kehidupan manusia apa adanya.
Maka dapat dikatakan bahwa dalam
seluruh wacana II ini dapat diperlihatkan bahwa terjadi kompleksitas baru dalam
pandangan Horkheimer, Adorno, Marcuse dan lainnya. Tetap terjadi ketegangan antara
filsafat yang praksis dengan pemikiran yang memperlihatkan momen emansipasi
tidak terbatas lagi dalam aktivitas konkret individu tapi juga dalam tataran
nilai yang mempengaruhi rasio dan sistem nilai orang atau individu.
Dalam Negative Dialectics, Adorno mencoba membuka untuk melihat secara
jelas posisi premis kesejarahan dalam seluruh pengalaman manusia individual.
Harus ada posisi sosial yang memberikan pengaruh pada pemikiran identitas.
Kritik filsafat anthropologi Teori Kritis tidak bisa dilihat lagi sebagai filsafat
kesejarahan. Konsep otonomi tidak bisa dilihat sebagai kategori aktualisasi
diri. Otonomi seharusnya dilihat dalam perspektif anthropologi filosofis atau
filsafat sejarah. Yang jelas problem otonomi manusia harus dilihat dalam dua
tahap yang jelas, yaitu tahapan bahwa otonomi melampaui soal preservasi diri.
Wacana III: Transformasi Kritik dan Tranformasi Etika
Komunikatif
Dalam pandangan Seyla Benhabib, di
sana-sini terjadi kebuntuan dalam Teori Kritis dalam memahami proses kritik
sosial. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx sudah disibukkan dengan usaha
mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan manusia
tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan
mendorong praksis perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta
atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia
sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi oleh kesadaran rasional.
sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi oleh kesadaran rasional.
Seyla Benhabib melihat bahwa
Habermas sudah meneliti bahwa Hegel menjadi pelopor tradisi ilmu sosial kritis
untuk memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja” tapi juga merupakan proses “tindakan
komunikatif”. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio tidak hanya
tampak dalam aktivitas menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam
interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja
membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari
persepsi langsung sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya
dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.
Seyla Benhabib juga melihat bahwa
Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham ilmu kritis juga menampakkan
kebuntuan dengan kepentingan emansipatorisnya. Sesungguhnya teori ini ingin membantu
manusia untuk semakin otonom dan dewasa. Otonomi kolektif berhubungan dengan pencapaian
konsensus bebas dominasi. Konsensus bisa dicapai dalam masyarakat yang
reflektif dan berhasil melakukan komunikasi secara memuaskan. Tentu saja
paradigma komunikasi meliputi klaim kesahihan yang terdiri dari klaim
kebenaran, klaim ketepatan, klaim otentisitas dan klaim komprehensibilitas
(Habermas, 1983).
Dalam wacana ini, Seyla Benhabib
berpendapat bahwa Habermas memberikan tawaran wacana komunikatif untuk
“menambal” kelemahan Teori Kritis dalam menghadapi masalah modernitas. Teori Kritis,
meski demikian, memperlihatkan rasio yang dikondisikan secara kontekstual.
Teori Kritis tetap memperlihatkan pencerahan tidak bisa diatasi dengan
meninggalkan kompleksitas sosial modern tapi
dengan pencerahan lebih lanjut. Menurut Seyla Benhabib, Habermas tetap konsisten mengatakan bahwa negasi tetap atas rasio yang berpusat pada subjek dengan rasio yang dipahami sebagai tindakan komunikatif.
dengan pencerahan lebih lanjut. Menurut Seyla Benhabib, Habermas tetap konsisten mengatakan bahwa negasi tetap atas rasio yang berpusat pada subjek dengan rasio yang dipahami sebagai tindakan komunikatif.
Rasio komunikatif merupakan sikap
mengobjektifkan yang membuat subjek pengetahuan memandang dirinya sebagai
entitas-entitas di dunilai luar tidak lagi terprevilegikan. Hubungan
ambivalensi dari subjek kepada dirinya dihancurkan oleh intersubjektivitas yang
memungkinkan. Rasio tidak mengasimilasikan diri pada kekuasaan tapi lebih
langsung atau tidak langsung berasimilasi pada klaim kebenaran, ketepatan
normatif, otentisitas dan keselarasan estetik. Seyla Benhabib melihat bahwa
titik tolak Habermas atas rasionalisasi selalu menghasilkan tiga segi. Segi
pertama adalah reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru
yang muncul, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi
pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsensus. Segi kedua adalah integrasi
sosial yang menjamin bahwa dalam situasi baru, koordinasi tindakan tetap
terpelihara dengan sarana hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim.
Segi ketiga adalah sosialisasi yang menjamin bahwa dalam situasi baru,
perolehan kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap
terjamin.
BAB
IV
PENUTUP
Refleksi:
Wacana Alternatif
Setelah
membaca buku Seyla Benhabib ini ada beberapa konsiderasi reflektif yang mungkin
perlu diungkapkan sebagai usaha proses pendalaman isi reflektif buku yang
dibaca. Pertama, salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu
proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu.
Proses rasionalitas adalah proses menuju otonomi dan kedewasaan. Dalam hal ini
Teori Kritis berhutang besar pada “patron sosiologi” Max Weber atas sumbangan
tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang sama juga, Teori
Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis
atas seluruh proses rasionalitas. Teori Kritis melalui Habermas dan Seyla
Benhabib mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis
yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi modernitas
ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan
kemakmuran ekonomis. Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain
yang perlu dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak
pernah bisa berkembang. Dalam hal ini proyek emansipatoris mengalami hambatan
yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana rasionalitas praktis-moral
mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi masyarakat.
Seyla
Benhabib tidak melihat secara komprehensif potensi krisis yang dialami oleh
masyarakat. Seyla Benhabib secara jelas mencoba mengikuti Profesornya, yaitu
Habermas, bahwa ancaman krisis yang paling mencolok adalah krisis
sosio-kultural. Meminjam istilah Habermas, krisis legitimasi dimulai dengan
krisis motivasi. Dalam pengalaman empiris, Seyla Benhabib mengikuti Habermas
menunjukkan
bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial memang habis. Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah? Kiranya justru sekarang utopia bergeser pada arah komunikasi sosial. Teori Kritis mencoba untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada masyarakat kapitalisme lanjut.
bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial memang habis. Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah? Kiranya justru sekarang utopia bergeser pada arah komunikasi sosial. Teori Kritis mencoba untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada masyarakat kapitalisme lanjut.
CATATAN AKHIR
1.
Ideologi
modernitas lebih melihat bahwa kemajuan tidak terelakkan. Manusia bergerak maju
tanpa pernah ada kata mundur. Linearitas perkembangan ini menandakan
dinamika linear kebudayaan manusia. Manusia adalah
penguasa alam. Manusia adalah pencipta teknologi. Segala daya upaya dilakukan
untuk mendapatkan situasi macam itu.
2.
Keterasingan
manusia dalam kemajuan teknologi sudah dimulai ketika manusia berorientasi pada teknologi itu sendiri.
Keterasingan manusia dikaitkan dengan proses industrialisasi yang semakin
menempatkan kerja manusia tidak dihargai. Kerja bukan dilihat sebagai ekspresi
kemanusiaan tapi justru diubah menjadi komoditas kapitalistik belaka.
3.
Meskipun
demikian, penulis juga akan memberikan konsiderasi-konsiderasi kritis pada
setiap bagian
yang dibahas dalam makalah ini.
4.
Dari
keragaman tokoh Teori Kritis yang beragam pula induk pengetahuannya, maka
terlihat jelas dari
sejak awal aliran Frankfurt merupakan
aliran pemikiran sosial yang interdisipliner.
5.
Filsafat
abad ke 20 diwarnai oleh empat aliran besar filsafat: fenomenologi dan
Eksistensialisme, Neo
Thomisme,
Filsafat Analitis dan Aliran Neo Marxisme.
Teori Kritis termasuk pada aliran yang terakhir.
6.
Menurut
Marx, ideologi itu adalah ilusi atau kesadaran yang palsu. Ideologi tidak
menggambarkan
situasi nyata mnusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan
kenyataan yang terdistorsi. Bukan artinya bahwa ideologi
keliru menggambarkan kenyataan, tapi bahwa ideologi menggambarkan kenyataan dan interpretasi yang dibalik. Apa yang tidak baik dan tidak
wajar dikatakan dan diusahakan sedemikian rupa sehingga
tampak baik dan wajar.
7.
Pandangan
manusia satu dimensi ini lebih banyak direfleksikan oleh Herbert Marcuse.
Menurutnya,
masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Masyarakat satu dimensi bersifat
represif dan totaliter. Artinya manusia modern tidak bisa lepas dari penguasaan
kapitalisme dan peraturan logika kapitalistik
8.
……..From
the beginning there was a lack of clarity concerning the normative foundation
of Marxian social theory. This theory was
not meant to renuew the ontological claims of classical natural law nor to
vincate the descriptive claims on nomological sciences; it was supposed to be a
critical social theory but only to the extent that it could avoid the
naturalistic fallacies of implicitly evaluative theories. Marx believed he had
solved this problem with a coup de main, namely, with a declaredly materialist
appropriatiion of Hegellian logic. Of course, he did no have to occupy himself
especially with this task; for his practical research pruposes he could be
conten to take at its word and to criticize immanently……
(Jurgen Habermas)
(Jurgen Habermas)
9.
Kerja
menurut Hegel memang dipahami sebagai ekspresi eksternalisasi roh yang ada
dalam diri
manusia. Pendapat itu semakin diradikalkan oleh Marx yang menyatakan bahwa
kerja merupakan ekspresi total manusia untuk memproduksi supaya dirinya tidak
teralienasikan.
10.
Prinsip otonomi dan subjektivitas menjadi hal yang
penting dalam seluruh bangunan teori keadilan John Rawls. Prosedur keadilan
ditarik dalam tingkat universal.
11.
Intersubjektivitas dan transubjektivitas ini
berkaitan dengan kesadaran yang menjadi bagian pokok argumentasi Hegel. Seyla
Benhabib memberikan presuposisi dalam menanggapi hal tersebut, yaitu kesatuan
model tindakan, model subjek yang transubjektif, sejarah sebagai cerita
transubjektif dan identitas subjektivitas yang terkonstitutif. Argumen pokoknya
adalah bahwa empat presuposisi ini terkandung dalam seluruh pembahasan filsafat
subjek.
12.
Sebetulnya tradisi rasio instrumental berangkat dari
pemikiran Max Weber yang menyatakan ada dua rasionalitas, yakni rasionalitas
instrumental yang formal dan rasional pilihan yang bersifat substantif dan
strategis.
13.
Konsepself-preservation juga mengandaikan
pemahaman yang jelas atas otonomi manusia dalam sense moral yang ada dan
dianut. Tujuan preservasi diri adalah fakta pencapaian kemandirian, kesesuaian
hukum alam yang ada. Pemikiran Hobbes, Locke dan lainnya akan mengarahkan
preservasi diri dalam proses
rasionalitas subjektif
14.
Tradisiself-preservation semakin dikukuhkan oleh
tradisi empirisme positivistis.
15.
Horkheimer menyejajarkan pendapat tentang perbedaan
akal budi instrumental dengan akal budi objektif dengan pendapat Weber tentang
perbedaan rasionalitas fungsional dengan rasional substansial. Rasionalitas
fungsional merupakan reduksi rasionalitas manusia pada tingkat instrumentalnya.
Rasionalitas substantif adalah rasionalitas yang kaya makna dalam dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arato, T.W. 1976. The Essential Frankfurt School
Reader. Oxford: Basil Blackwell
Benhabib,
Seyla. 1986. CRITIQUE,
NORM, AND UTOPIA: A Study of The Foundation of Critical Theory. New York: Columbia
University Press
Bertens,
K. 1983. Filsafat Barat Abad XX:
Inggris dan Jerman.Jakarta, Gramedia.
Habermas,
J. 1979.
Communication and The Evolution of
Society. London:
Heinemann
Hardiman,
Budi, F. 2004. KRITIK IDEOLOGI:
Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit
Buku Baik
_________________.
1993. Menuju Masyarakat
Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius
Horkheimer, M.
1973.
The Dialetical of Enlightment. London: Allen
Lane
Jay, M., 1973.
The Dialectical Imagination, London:
Heinemann
Kolakowski,
L. 1978.
Main Currents of Marxism: Its Origin,
Growth and Dissolution. Vol III. Oxford: Clarendon
Magnis-Suseno,
Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu
Kritis.
Yogyakarta: Kanisius
Marcuse.
1964. One Dimensional Man: Studies
in The Ideology of Advanced Industrial Society. London: Routledge
Mulyana,
Dedy. 2001. Metodologi Penelitian
Kualitatif (Paradigma Baru Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya). Bandung:
Remaja Rosdakarya
Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta:
Gramedia
No comments:
Post a Comment