Tuesday 5 November 2019

Apa Yang Membedakan Semiotika Ferdinand de Saussure (1857-1913) Dengan Semiotika Charles Sanders Peirce (1839-1914)? Apa Nilai Guna (usevalue) Dari Kajian Semiotika Ini Bagi IPS?


1.   Apa yang membedakan semiotika Ferdinand de  Saussure (1857-1913) dengan semiotika Charles Sanders Peirce (1839-1914)? Apa nilai guna (usevalue) dari kajian semiotika ini bagi IPS?
Jawab:
PERBEDAAN SEMIOTIKA
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigy7Pum62-b7IKBHfRBnGGG6BL1O0J_xFqG9ALhx_s6Is_5cup4QqqxVidWIs41pvjqhTCE-IV54gx2XXwMjbSMJ59gvVL159rULuUx2Dtflx0G77gXv8MWJMGYITCmvULV_qWGQF42UOg/s200/Ferdinand+DeSaussure.jpg
Ferdinand de  Saussure (1857-1913)
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgniL_cLavc4KhD-y4xq98IypNSFPhifEOdntQuoKaoF-VyUTOAqKEYTHxkfliX3d7hWCdQ2bgh1Z7EEPz3WJXG_AgjApKb7dzY_MFAH9CXW29hfnGHxks33PQN2dhyphenhyphenqICfNLdU6-TWjRLo/s200/Charles+Sanders+Peirce.jpg
Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Menyebut Semiotika sebagai Semiology pertama kali diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure yang berasal dari Swiss, mengajar sansekerta dan liguistik sejarah. Pendekatan Saussure tentang bahasa berbeda dari pendekatan filolog abad 19, dia mengkaji linguistik secara sinkronik, bukan diakronik. Catatan diterbitkan dalam buku oleh muridnya ”Cours de Liguistique Generale”. Saussure (1988) mendefinsikan tanda liguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebut penanda (signifier); Sisi kedua adalah petanda (signified).

Kajian Ferdinand de Saussure (1988) tentang tanda bahwa tanda-tanda disusun dari dua (2) elemen, yaitu:
a         aspek citra tentang bunyi dan
b        sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.

Ia mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi.
a         Sisi pertama disebutnya sebagai penanda (signifier)
b        Sisi kedua disebutnya sebagai petanda (signified
TANDA

Penanda

Petanda

Citra-Bunyi

Konsep

Penanda (signifier) adalah aspek material dari sebuah tanda, atau aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual). Contoh: orang menyebut “anjing” (a/n/j/i/n/dan/g), apa yang didengar bukanlah anjing yang sesungguhnya, melainkan sebuah konsep tentang “keanjingan”, yaitu: berkaki empat, menggonggong, suka makan tulang, gigi yang tajam.
Petanda (signified)adalah sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan. Contoh: konsep anjing yang sesungguhnya bisa saja berupa jenis buldog, spaniel, pudel dan lain-lain







 









Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas”. (Van Zoest, 1993)

Tanda liguistik (antara penanda dan petanda) bersifat arbiter. Konsep tantang anjing tidak harus dibangkitkan oleh penanda dalam bentuk bunyi a/n/j/i/n/g; karena bagi orang Inggris pengertian anjing diperoleh melalui kata “dog”.

Terhubungnya sebuah penanda dan petanda hanya dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sistem relasi atas kesepakatan (konvensi). Tanda dapat bekerja karena ada difference, artinya dia dapat dibedakan dengan tanda – tanda lainnya.
Fenomena bahasa dibentuk oleh dua faktor; parole–ekspresi kebahasaan dan langue–sistem pembedaan di antara tanda–tanda. Struktur konsepsi dasar tentang langue berkaitan dengan kombinasi dan substitusi elemen–elemen bahasa (hubungan paradigmatik-sintagmatik (Hoed, 2002).

Dalam buku Course in General Linguistics (1916) de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign.

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di  mana ada tanda, di sana ada sistem (deSaussure, 1988:26).

Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya. Bagi de Saussure (1988), bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas.

de Saussure (1988)  memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty.

Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa (Van Zoest, 1993).
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.

Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture, dan objects.  de Saussure (1988) menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda-tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (a science which studies the role of signs as a part of social life (Budiman, 2002).
Charles Sanders Peirce (dalam Van Zoest, 1993), seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant.

Kajian Peirce (dalam, Abrams, M.H, 1981) tentang tanda bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.  Peirce menggunakan istilah (level objek):
a   Ikon untuk kesamaannya
Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto.
b  Indeks untuk hubungan sebab akibat
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol.
c   Simbol untuk asosiasi konvensional
Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya.
Trikotomi Ikon/Indeks/Simbol Pierce
Tanda
Ikon
Indels
Simbol
Ditandai dengan
Persamaan (Kesamaan)
Hub. Sebab-akibat
Konvensi
Contoh
Gambar-gambar
Patun-patung
Tokoh Besar
Foto Reagan
Asap/api
Gejala/penyakit

(Bercak merah/campak)
Kata-kata
Isyarat
Proses
Dapat dilihat
Dapat diperkirakan
Harus Dipelajari

Berbeda dengan Saussure (tanda memiliki dua sisi), Peirce meyakini bahwa tanda dibentuk melalui hubungan segi tiga.
a         Representamen (tanda)
b        Objek (sesuatu yang dirujuk)
c         Interpretant (“hasil” hubungan Representamen dengan Objek)

Objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh Tanda, tetapi Objek bisa jadi berupa: sebuah Objek Representasi (Immediate Object) atau sebuah Objek Dinamik (Dynamic Object)
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGFz5MDhjSCqt3a_Up2FSTQAg0a1O8ht6FKqqUdV9G8YXRwM_pBCTRZcpWlTtZYi9gxuc7QDYezBmugLywTohImRnzMm5P_OJfjaD0mX30G89XQCYHvjcEDQokj3WQRxegQ28azrywA8Q/s320/Untitled-3.jpg
Atas dasar hubungan triadic antara ground, object, dan interpretant tersebut. Peirce (van Zoest, 1993:10) membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign.
a         Qualisigns adalah kualitas yang ada pada tanda. Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin.
b        Sinsigns adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan.
c         Legisigns adalah norma yang dikandung oleh tanda. Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya. Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol.
Level Interpretant
a         Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. (kemungkinan)
b        Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. (fakta)
c         Argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. (logika)

Pierce membedakan 3 konsep dasar semiotik, yaitu :
a         Sintaksis Semiotik
Mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan.
b        Semantik Semiotik
Mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya
c         Pragmatik
Mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda.

Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Peirce (Aminuddin, 1988) memperkenalkan sifat dinamisme internal dalam tanda. Interpretant yang tersamar memungkinkan ia menjelma menjadi tanda baru (rantai semiosis).
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicI7jBXWsCxmpEX3-XB_g-x0RqbAzIqayJMpzClSPHSL9M0do0sS9ilmllqa2I_rN29TfkHRtzGI4qITuFfaWvbMtek4TCneuc_BHEDHteTnYBF9H9Jnktku-07_BAyV-1N-BFZVHbhoof/s320/semiotik.png
Peirce menegaskan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dimaksud dapat berupa tanda visual yang bersifat nonverbal, maupun yang bersifat verbal (Peirce dalam van Zoest, 1993). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan (Peirce dalam Hoed, 2002). Jika sesuatu, misalnya A adalah asap hitam yang mengepul di kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam itu dapat disebut sebagai indeks; yakni antara A dan B ada keterkaitan (contiguity). Sebuah foto atau gambar adalah tanda yang disebut ikon. Foto mewakili suatu kenyataan tertentu atas dasar kemiripan atau similarity (foto Angelina Jolie, mewakili orang yang bersangkutan, jadi merupakan suatu pengalaman).
Peirce ((Sobur, 2004), juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ (secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ (thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut
Menurut Peirce kata ‘semiotika’, sudah digunakan sejak abad kedelapan belas oleh ahli filsafat Jerman Lambert, merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut hipotesis Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta (sumber: http://studioarsitektur.com)



Jawab: Apa nilai guna (usevalue) dari kajian semiotika ini bagi IPS?
Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut “tanda”. Semiotika berasal dari kata yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial (Umberto Eco: 1976; 16). Istilah semiotika sering digunakan dengan istilah semiologi. Biasanya semiotika lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi banyak digunakan oleh saussure. Keduanya merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara signs (tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu, tanda-tanda tersebut akan tampak pada tindakan komunikasi manusia lewat bahasa, baik lisan maupun isyarat.

 Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaanya merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konmensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya. Semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan, yaitu sintaktika (sintaksis), semantika (semantik) dan pragmatika (pragmatik). Sintaktika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda lain. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, maka pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam “gramatika”. Semantika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan design atau obyek-obyek yang diacunya. Yang dimaksud designata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu. Pragmatika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai tanda-tanda. Pragmati secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situsional yang melatari tuntutan (Budiman 2002;5). Pemikiran Saussure juga mempunyai gaung yang kuat dalam rumpun ilmu-ilmu sosial budaya secara umum dan akhirnya menjadi sumber ilham bagi sebuah paham pemikiran yang dinamakan strukturalisme. Prinsip-prinsip linguistik Saussure dapat disederhanakan kedalam butir-butir pemahaman sebagai sebagai berikut :
a         Bahasa adalah sebuah fakta sosial. Sebagai fakta sosial, bahasa bersifat laten, bahasa bukanlah gejala-gejala permukaan melainkan sebagai kaidah-kaidah yang menentukan gejala-gejala permukaan, yang disebut sengai langue. Langue tersebut termanifestasikan sebagai parole, yakni tindakan berbahasa atau tuturan secara individual
b        Bahasa adalah suatu sistem atau struktul tanda-tanda. Karena itu, bahasa mempunyai satuan-satuan yang bertingkat-tingkat, mulai dari fonem, morfem, kalimat, hingga wacana.
c         Unsur-unsur dalam setiap tingkatan tersebut saling menjalin melalui cara tertentu yang disebut dengan hubungan paradigmatik dan sintakmatik.
d        Relasi atau hubungan-hubungan antara unsur dan tingkatan itulah yang sesungguhnya membangun suatu bahasa. Relasi menentukan nilai, makna, pengertian dari setiap unsur dalam bangunan bahasa secara keseluruhan. Untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang prinsip-prinsipnya yang telah disebut diatas, bahasa dapat dikaji melalui suatu pendekatan sinkronik, yakni pengkajian bahasa yang membatasi fenomena bahasa pada satu waktu tertentu, tidak meninjau bahasa dalam perkembangan dari waktu ke waktu (diakronis).

Sebagai  makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Agar tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama agar tidak terjadi missunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki interpretasi  makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik (the study of signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari-hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya.Semiotik  meliputi studi seluruh  tanda-tanda tersebut sehingga masyarakat  berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan  foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language). (dalam, http://goestoge.wordpress.com//ilmu-semiotika/).

Di dalam pembelajaran IPS, semiotik diperlukan sebagai pemberi citra yang akan mencirikan karakteristik pembelajaran IPS. Selain itu, dapat juga membantu memperkuat kesan yang ada dalam kajian IPS terutama tentang realitas sosial masyarakat. Namun, semiotik sendiri ternyata memiliki sebuah kelemahan, dimana tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama akan suatu hal. Jadi ketika melihat sebuah tanda yang sama, belum tentu setiap orang menafsirkan sesuatu yang sama juga. Semiotik sendiri nantinya akan sangat berguna bagi para praktisi IPS dalam membuat sebuah semua model pembelajaran yang menarik. Dengan menggunakan tanda-tanda yang ada, diharapkan inovasi yang terbentuk juga akan menjadi lebih kreatif.

Referensi
Abrams, M.H. 1981.  A Glosary of Literary Term. New York: Holt, Rinehart and Wiston.
Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Budiman, Manneke. 2002. Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
de De de Saussure, F.. 1988. Course in General Linguistics . Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Hoed, Benny H. 2002. Strukturalisme, Prag -matik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
http://studioarsitektur.com)
Sobur, Alex,. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Teew, A. 1984.  Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung

No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...