1. Apa
yang membedakan semiotika Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dengan semiotika Charles Sanders Peirce
(1839-1914)? Apa nilai guna (usevalue) dari kajian semiotika ini bagi IPS?
Jawab:
PERBEDAAN
SEMIOTIKA
|
||||||||||||||||||||||||||||||
Ferdinand
de Saussure (1857-1913)
|
Charles
Sanders Peirce (1839-1914)
|
|||||||||||||||||||||||||||||
Menyebut Semiotika sebagai Semiology pertama
kali diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure yang berasal dari Swiss, mengajar
sansekerta dan liguistik sejarah. Pendekatan Saussure tentang bahasa berbeda
dari pendekatan filolog abad 19, dia mengkaji linguistik secara
sinkronik, bukan diakronik. Catatan diterbitkan dalam buku oleh muridnya
”Cours de Liguistique Generale”. Saussure (1988) mendefinsikan tanda
liguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebut
penanda (signifier); Sisi kedua adalah petanda (signified).
Kajian
Ferdinand de Saussure (1988) tentang tanda bahwa tanda-tanda disusun dari dua
(2) elemen, yaitu:
a
aspek citra tentang bunyi dan
b
sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.
Ia mendefinisikan tanda linguistik sebagai
entitas dua sisi.
a
Sisi pertama disebutnya sebagai penanda (signifier)
b
Sisi kedua disebutnya sebagai petanda (signified
Penanda
(signifier) adalah aspek material dari sebuah tanda, atau aspek citra
tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual). Contoh: orang menyebut
“anjing” (a/n/j/i/n/dan/g), apa yang didengar bukanlah anjing yang
sesungguhnya, melainkan sebuah konsep tentang “keanjingan”, yaitu: berkaki
empat, menggonggong, suka makan tulang, gigi yang tajam.
Petanda (signified)adalah sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.
Contoh: konsep anjing yang sesungguhnya bisa saja berupa jenis buldog,
spaniel, pudel dan lain-lain
Suatu penanda tanpa petanda tidak
berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu
petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda
atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan
suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua
sisi dari sehelai kertas”. (Van Zoest, 1993)
Tanda liguistik (antara penanda dan
petanda) bersifat arbiter. Konsep
tantang anjing tidak harus dibangkitkan oleh penanda dalam bentuk bunyi
a/n/j/i/n/g; karena bagi orang Inggris pengertian anjing diperoleh melalui
kata “dog”.
Terhubungnya sebuah penanda dan
petanda hanya dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sistem relasi atas
kesepakatan (konvensi). Tanda dapat bekerja karena ada difference,
artinya dia dapat dibedakan dengan tanda – tanda lainnya.
Fenomena bahasa dibentuk oleh dua
faktor; parole–ekspresi kebahasaan dan langue–sistem pembedaan
di antara tanda–tanda. Struktur konsepsi dasar tentang langue
berkaitan dengan kombinasi dan substitusi elemen–elemen bahasa (hubungan
paradigmatik-sintagmatik (Hoed, 2002).
Dalam buku Course in General Linguistics (1916) de Saussure membayangkan
suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan
konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi
itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the
linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound
image a sign.
Semiologi didasarkan pada anggapan
bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama
berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi
yang memungkinkan makna itu. Di mana
ada tanda, di sana ada sistem (deSaussure, 1988:26).
Sekalipun hanyalah merupakan salah
satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk
se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional
yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang
sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara,
kepercayaan dan lain-lainya. Bagi de Saussure (1988), bahasa terdiri atas
sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun
dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi
yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas.
de Saussure (1988) memberikan contoh kata arbor dalam
bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas
dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/
disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon
(bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan
alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified).
Hubungan ini disebut arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah
mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to
enable members of society to use their language faculty.
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah
sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang
tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata
bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia
berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak
menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata
antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan
kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi
bunga itu tidak berarti apa-apa (Van Zoest, 1993).
Petanda selalu akan lepas dari
jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap,
karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda
lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam
tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi
sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative
difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui
jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what
is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing
atau bajing.
Semiotics is concerned with everything
that can be taken as a sign. Semiotics adalah
studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan
sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain
seperti words, images, sounds, gesture, dan objects. de Saussure (1988) menyebut ilmu ini dengan semiologi
yakni sebuah studi tentang aturan tanda-tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial (a science which studies the role of signs as a part of
social life (Budiman, 2002).
|
Charles
Sanders Peirce (dalam Van Zoest, 1993), seorang filsuf berkebangsaan Amerika,
mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce,
tanda “is something which stands to somebody for something in some respect
or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant.
Kajian
Peirce (dalam, Abrams, M.H, 1981) tentang tanda bahwa tanda-tanda berkaitan
dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab
akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda
tersebut. Peirce menggunakan istilah (level
objek):
a Ikon untuk kesamaannya
Ikon adalah tanda
yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk
alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau
acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto.
b Indeks untuk hubungan sebab akibat
Indeks adalah
tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang
bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu
pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu
adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol.
c Simbol untuk asosiasi konvensional
Jadi, simbol
adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan
petandanya.
Berbeda dengan Saussure (tanda memiliki dua sisi),
Peirce meyakini bahwa tanda dibentuk melalui hubungan segi tiga.
a
Representamen (tanda)
b
Objek (sesuatu yang
dirujuk)
c
Interpretant (“hasil”
hubungan Representamen dengan
Objek)
Objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh Tanda, tetapi
Objek bisa jadi berupa: sebuah Objek Representasi (Immediate Object) atau sebuah Objek Dinamik (Dynamic Object)
Atas
dasar hubungan triadic antara ground, object, dan interpretant tersebut. Peirce (van
Zoest, 1993:10) membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign,
dan legisign.
a
Qualisigns adalah kualitas yang ada pada tanda. Tanda-tanda yang merupakan tanda
berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin.
b
Sinsigns adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda.
Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua
pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau
kegembiraan.
c
Legisigns adalah norma yang dikandung oleh tanda. Tanda-tanda yang merupakan
tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah
kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan
mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya. Untuk tanda dan
denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik,
indeksikal dan simbol.
Level Interpretant
a
Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan
berdasarkan pilihan.
(kemungkinan)
b
Dicent sign atau dicisign adalah tanda
sesuai dengan kenyataan. (fakta)
c
Argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. (logika)
Pierce membedakan 3 konsep dasar semiotik, yaitu
:
a
Sintaksis Semiotik
Mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem
yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem
tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam
membentuk keutuhan wacana iklan.
b
Semantik Semiotik
Mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya
c
Pragmatik
Mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda.
Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses
semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan
tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung
keutuhan wacana. Peirce (Aminuddin, 1988) memperkenalkan
sifat dinamisme internal dalam tanda. Interpretant yang tersamar memungkinkan
ia menjelma menjadi tanda baru (rantai semiosis).
Peirce
menegaskan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda, manusia
hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dimaksud dapat
berupa tanda visual yang bersifat nonverbal, maupun yang bersifat verbal
(Peirce dalam van Zoest, 1993). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu.
Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan (Peirce
dalam Hoed, 2002). Jika sesuatu, misalnya A adalah asap hitam yang mengepul di
kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya sebuah kebakaran
(pengalaman). Tanda semacam itu dapat disebut sebagai indeks; yakni antara A
dan B ada keterkaitan (contiguity).
Sebuah foto atau gambar adalah tanda yang disebut ikon. Foto mewakili suatu
kenyataan tertentu atas dasar kemiripan atau similarity (foto Angelina Jolie,
mewakili orang yang bersangkutan, jadi merupakan suatu pengalaman).
Peirce
((Sobur, 2004), juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap.
Ada tahap kepertamaan (firstness)
yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness
adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain ,
keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ (secondness) saat tanda dimaknai secara
individual, dan kemudian ‘keketigaan’ (thirdness)
saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini
penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda
tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut
Menurut
Peirce kata ‘semiotika’, sudah digunakan sejak abad kedelapan belas oleh ahli
filsafat Jerman Lambert, merupakan sinonim kata logika. Logika harus
mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut hipotesis Pierce
yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan manusia
berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang
ditampilkan oleh alam semesta (sumber: http://studioarsitektur.com)
|
Jawab: Apa nilai guna (usevalue)
dari kajian semiotika ini bagi IPS?
Semiotika
merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial
dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang
disebut “tanda”. Semiotika berasal dari kata yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai
sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial
(Umberto Eco: 1976; 16). Istilah semiotika sering digunakan dengan istilah
semiologi. Biasanya semiotika lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara
istilah semiologi banyak digunakan oleh saussure. Keduanya merupakan ilmu yang
mempelajari hubungan antara signs
(tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu, tanda-tanda tersebut akan tampak
pada tindakan komunikasi manusia lewat bahasa, baik lisan maupun isyarat.
Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaanya
merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konmensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi antara
komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan
masyarakat penggunanya. Semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga
cabang penyelidikan, yaitu sintaktika (sintaksis), semantika (semantik) dan
pragmatika (pragmatik). Sintaktika adalah cabang penyelidikan semiotika yang
mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda lain. Dengan
kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang
mengendalikan tuturan dan interpretasi, maka pengertian sintaktik kurang lebih
adalah semacam “gramatika”. Semantika adalah cabang penyelidikan semiotika yang
mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan design atau obyek-obyek yang
diacunya. Yang dimaksud designata
adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
Pragmatika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan
diantara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai
tanda-tanda. Pragmati secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi,
khususnya fungsi-fungsi situsional yang melatari tuntutan (Budiman 2002;5). Pemikiran
Saussure juga mempunyai gaung yang kuat dalam rumpun ilmu-ilmu sosial budaya
secara umum dan akhirnya menjadi sumber ilham bagi sebuah paham pemikiran yang
dinamakan strukturalisme. Prinsip-prinsip linguistik Saussure dapat
disederhanakan kedalam butir-butir pemahaman sebagai sebagai berikut :
a
Bahasa
adalah sebuah fakta sosial. Sebagai fakta sosial, bahasa bersifat laten, bahasa
bukanlah gejala-gejala permukaan melainkan sebagai kaidah-kaidah yang
menentukan gejala-gejala permukaan, yang disebut sengai langue. Langue
tersebut termanifestasikan sebagai parole,
yakni tindakan berbahasa atau tuturan secara individual
b
Bahasa adalah suatu sistem atau struktul tanda-tanda.
Karena itu, bahasa mempunyai satuan-satuan yang bertingkat-tingkat, mulai dari fonem, morfem, kalimat, hingga wacana.
c
Unsur-unsur dalam setiap tingkatan tersebut saling
menjalin melalui cara tertentu yang disebut dengan hubungan paradigmatik dan
sintakmatik.
d
Relasi atau hubungan-hubungan antara unsur dan
tingkatan itulah yang sesungguhnya membangun suatu bahasa. Relasi menentukan
nilai, makna, pengertian dari setiap unsur dalam bangunan bahasa secara
keseluruhan. Untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang
prinsip-prinsipnya yang telah disebut diatas, bahasa dapat dikaji melalui suatu
pendekatan sinkronik, yakni pengkajian bahasa yang membatasi fenomena bahasa
pada satu waktu tertentu, tidak meninjau bahasa dalam perkembangan dari waktu
ke waktu (diakronis).
Sebagai
makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan
masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling
memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya
adalah tanda. Agar tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan
konsep yang sama agar tidak terjadi missunderstanding atau salah
pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa dipahami
secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki
interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang
melatarbelakanginya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik (the
study of signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan
tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari-hari kita seperti tanda-tanda lalu
lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda
lainnya.Semiotik meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut
sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda
visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih banyak hal lain
yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan
dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau
tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language).
(dalam, http://goestoge.wordpress.com//ilmu-semiotika/).
Di dalam pembelajaran IPS, semiotik diperlukan sebagai
pemberi citra yang akan mencirikan karakteristik pembelajaran IPS. Selain itu,
dapat juga membantu memperkuat kesan yang ada dalam kajian IPS
terutama tentang realitas sosial masyarakat. Namun, semiotik sendiri ternyata memiliki sebuah
kelemahan, dimana tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama akan suatu
hal. Jadi ketika melihat sebuah tanda yang sama, belum tentu setiap orang
menafsirkan sesuatu yang sama juga. Semiotik sendiri nantinya akan sangat berguna bagi para
praktisi IPS
dalam membuat sebuah semua model pembelajaran yang menarik. Dengan menggunakan tanda-tanda yang ada,
diharapkan inovasi
yang terbentuk juga akan menjadi lebih kreatif.
Referensi
Abrams,
M.H. 1981. A Glosary of Literary
Term. New York: Holt, Rinehart and Wiston.
Aminuddin.
1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Budiman,
Manneke. 2002. Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
de
De de Saussure, F.. 1988. Course in General Linguistics . Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Eco,
Umberto. 1976. A Theory of Semiotics.
Bloomington: Indiana University Press.
Hoed,
Benny H. 2002. Strukturalisme, Prag -matik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,”
dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
http://studioarsitektur.com)
Sobur,
Alex,. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Teew,
A. 1984. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Van
Zoest, Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita
Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung
No comments:
Post a Comment