Tuesday 5 November 2019

Ibn Khaldun Di Dalam Muqadimmahnya Mencoba Menampilkan Hukum-Hukum Yang Berlaku Umum (General Laws) Untuk Masyarakat Dan Sejarah. Bagaimana Teorinya Tentang Bangkit dan Runtuhnya Peradaban

Ibn Khaldun di dalam Muqadimmahnya mencoba menampilkan hukum-hukum yang berlaku umum (General Laws) untuk masyarakat dan sejarah. Bagaimana teorinya tentang bangkit dan runtuhnya peradaban?

Ibnu Khaldun (1332-1406M/732-808H) adalah seorang sejarawan muslim dari Tunisia. Beliau sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi dengan tajam menganalisa penyebab jatuh bangunnya sebuah peradaban dengan menjadikan manusia sebagai pusat analisanya. Beliau menjelaskan berbagai fenomena jatuh bangunnya suatu peradaban yang sangat bergantung pada kesejahteraan manusia. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tergambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.

Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Berikut ringkasan keseluruhan variabel analisa Ibnu Khaldun sebagaimana yang pernah beliau sampaikan sebagai nasihat bagi para raja di zamannya:
a         Kekuatan kedaulatan (al-mulk) tidak dapat dipertahankan kecuali dengan mengimplementasikan syariah.

b        Syariah tidak dapat diimplementasikan kecuali oleh sebuah kedaulatan (al-mulk).
c         Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal).
d        Sumber daya manusia tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda (al-mal).
e         Harta benda tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-imarah).
f         Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (al’adl).
g        Keadilan merupakan tolok ukur (al-mizan) yang dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia.
h        Kedaulatan mengandung tanggung jawab untuk menegakkan keadilan.

Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah’, Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal 1967:175) membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
a  Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
b    Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
c   Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
d        Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
e     Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.

Tahap-tahap tersebut menurut Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal 1967:175) memunculkan tiga generasi, yaitu:
a         Generasi Pembangun, dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
b        Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
c         Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.

Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun (dalam, www.Uwplatt.edu/-Soofi/Khaldun2) menyatakan:
Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat di kalangan mereka, jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.”

Tindakan-tindakan amoral di atas menurut Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 238-239), menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan keterampilan.

Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban. Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 286)

Lebih lanjut ia menyatakan:
Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan. Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 289)

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun (dalam, Soltanzadeh 2006: 3-7), kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada sepuluh, yaitu:
a         Rusaknya moralitas penguasa
b        Penindasan penguasa dan ketidak adilan
c         Despotisme atau kezaliman
d        Orientasi kemewahan masyarakat
e         Egoisme
f         Opportunisme
g        Penarikan pajak secara berlebihan
h        Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat
i          Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan
j          Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.

Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo. Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 434)

Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh sejarawan Muslim Ibn Khaldun tentang kemunduran peradaban Islam. Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.

Sebaliknya bangkitnya suatu peradaban membutuhkan perbaikan moral dan penguasaan ilmu pengetahuan, jika umat Islam ingin membangun kembali peradabannya, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa ini kebangkitan Islam hanya akan menjadi utopia belaka.
Bagi Ibn Khaldun (Soltanzadeh 2006) letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone ini peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll.

Salah satu ciri terpenting peradaban Islam adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, dan ini telah terbukti bahwa perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang masing-masing. salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti adalah merosotnya cendikiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran bidang ekonomi, politik dan budaya (Saiful, 2004).

Kondisi umat saat ini tak ubahnya seperti seekor domba yang berada di tengah-tengah srigala lapar. Dicabik dari kanan dan kiri, digerogoti dari depan dan belakang serta terkoyak-koyak dari segala arah. Menjauhkan umat ini dari tuntunan yang syar’i dan syamil telah membuat umat ini terombang-ambing ditengah laut luas. Umat kehilangan jati diri dan Izzah (kemuliaan). umat ini menjadi umat yang terpinggirkan, teraniaya, tersiksa tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqoroh : 155).
Tetapi garis kebangkitan itu adalah suatu keniscayaan, kemenangan Al-Haq atas kebathilan adalah sunnatulloh yang pasti terjadi, karenanya kita harus menumbuhkan optimisme dalam diri kita akan datangnya kemenangan itu. walau untuk menebusnya harus melalui perjuangan melelahkan dan berdarah-darah. Kita sebagai anak yang lahir dari rahim Islam seharusnya menyadari dan mampu memerankan diri sebagai arsitek-arsitek peradaban Islam. Seorang arsitek peradaban Islam dituntut untuk menciptakan desain terlebih dahulu untuk peradaban yang akan ia bangun, kita harus mampu menghadirkan dalam fikiran kita, peradaban yang bagaimana yang kita inginkan.

Menurut Ibn Khaldun peradaban adalah sebuah fase alami. Munculnya peradaban berarti menandai berakhirnya kehidupan baduwi. Akan tetapi saat kehidupan baduwi mencapai taraf kehidupan yang tinggi dan berkembang pesat dalam industrinya, maka secara perlahan akan menuju pada kehancuran. Karena sesungguhnya peradaban itu secara tersirat membawa benih-benih kerusakan. Negara semakin menua dan pada gilirannya akan runtuh. Masa tua bagi sebuah negara menurut Ibn Khaldun adalah sebuah daur kehidupan yang alami. Ia merupakan penyakit kronis yang tidak mungkin diobati (dalam, http://muhsinhar.staff.umy.ac.id).

Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negara-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya (http:// www.scribd.com)

Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.

Referensi:
Amin, Husain Ahmad. 2000. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya
Economic of Ibn Khaldun,: Revisited, www.Uwplatt.edu/-Soofi/Khaldun2, hal 16
El-Saha.M.Ishom. 2002. 55 Tokoh Muslim Terkemuka. Jakarta: Darrul Ilmi
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id
http://www.alquran-indonesia.com.
http://www.wikipedia.org.
Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N.J Dawood. 1967. The Muqaddimah: An Introduction To History. Princeton University Press.
Ishom, M. dan Hadi, Saiful. 2004. Profil Ilmuan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern. Jakara: Fuzan Intan Kreasi.
Mehdi, Soltanzadeh. 2006. Factor Affecting a Siciety’s Life Span, According to Ibn Khaldun, a paper disampaikan pada International Conference:Ibn Khaldun’s Legacy and Its Contemporary Significance, 20th-22th November.  ITAC-IIUM, Kuala Lumpur, hal.3-7 
Murtiningsih, W. 2008. Biografi Para Ilmuan Muslim. Yogyakarta: Insan Madani

No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...