Ibn Khaldun di dalam Muqadimmahnya mencoba menampilkan hukum-hukum yang berlaku umum (General Laws) untuk masyarakat dan sejarah. Bagaimana teorinya tentang bangkit dan runtuhnya peradaban?
Ibnu Khaldun (1332-1406M/732-808H) adalah seorang
sejarawan muslim dari Tunisia.
Beliau sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi,
sosiologi dan ekonomi dengan tajam menganalisa penyebab jatuh bangunnya sebuah
peradaban
dengan
menjadikan manusia sebagai pusat analisanya. Beliau menjelaskan berbagai
fenomena jatuh bangunnya suatu peradaban yang sangat bergantung pada
kesejahteraan manusia.
Sebagai ilmuwan
sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat
tergambarkan tanpa
menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan
faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.
Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya
dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah mencoba untuk
menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti
yang berkuasa (daulah) dan peradaban
('umran). Tetapi bukan hanya itu saja
yang dibahas, Muqaddimah juga berisi
diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil
Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Berikut ringkasan
keseluruhan variabel analisa Ibnu Khaldun sebagaimana yang pernah beliau
sampaikan sebagai nasihat bagi para raja di zamannya:
a
Kekuatan kedaulatan (al-mulk) tidak dapat
dipertahankan kecuali dengan mengimplementasikan syariah.
b
Syariah tidak dapat diimplementasikan kecuali oleh
sebuah kedaulatan (al-mulk).
c
Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali bila
didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal).
d
Sumber daya manusia tidak dapat dipertahankan kecuali
dengan harta benda (al-mal).
e
Harta benda tidak dapat diperoleh kecuali dengan
pembangunan (al-imarah).
f
Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali dengan
keadilan (al’adl).
g
Keadilan merupakan tolok ukur (al-mizan) yang
dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia.
h
Kedaulatan mengandung tanggung jawab untuk menegakkan
keadilan.
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah’, Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal 1967:175)
membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah
peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
a Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas
negara didukung oleh masyarakat (ashabiyyah)
yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
b Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat
sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang
mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang
ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan
untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
c Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati.
Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
d
Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap
ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para
pendahulunya.
e Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini,
penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan
kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.
Tahap-tahap tersebut menurut Ibn Khaldun (dalam
Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal 1967:175) memunculkan tiga generasi, yaitu:
a
Generasi Pembangun, dengan segala kesederhanaan dan
solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
b
Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena
diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak
peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
c
Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosional
dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa
mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga
ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu dan
menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.
Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih
bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena
timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya
hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif
tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun
(dalam, www.Uwplatt.edu/-Soofi/Khaldun2)
menyatakan:
“Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan
penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat di kalangan mereka, jiwa manusia
dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan
menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka
berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan
riba.”
Tindakan-tindakan
amoral di atas menurut Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah,
Terjm. F.Rosenthal hal. 238-239), menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat
yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan
moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya
Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja
terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada
turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan
ilmu pengertahuan dan keterampilan.
Dalam
peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian
kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas
masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang
mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
…..mata
pencaharian mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus,
maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka
benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan
kehancuran peradaban. Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 286)
Lebih lanjut ia menyatakan:
Jika
kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya
juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan. Ibn Khaldun
(dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal
hal. 289)
Intinya,
dalam pandangan Ibn Khaldun (dalam, Soltanzadeh 2006: 3-7), kehancuran suatu
peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara
intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap
peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh
menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan
bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian
al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah
merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada sepuluh, yaitu:
a
Rusaknya moralitas penguasa
b
Penindasan penguasa dan ketidak
adilan
c
Despotisme atau kezaliman
d
Orientasi kemewahan masyarakat
e
Egoisme
f
Opportunisme
g
Penarikan pajak secara berlebihan
h
Keikutsertaan penguasa dalam
kegiatan ekonomi rakyat
i
Rendahnya komitmen masyarakat
terhadap agama dan
j
Penggunaan pena dan pedang secara
tidak tepat.
Kesepuluh
poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya
penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi
moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur
dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan
kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan
Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak
berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak
menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi
berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania
atau ke Barat yaitu Cairo. Ibn Khaldun (dalam Muqaddimah, Terjm. F.Rosenthal hal. 434)
Itulah
sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh sejarawan
Muslim Ibn Khaldun tentang kemunduran peradaban Islam. Ibn Khaldun mengamati
peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih
diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar,
agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.
Sebaliknya bangkitnya suatu peradaban membutuhkan
perbaikan moral dan penguasaan ilmu pengetahuan, jika umat Islam ingin
membangun kembali peradabannya, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, tanpa ini kebangkitan Islam hanya akan menjadi utopia belaka.
Bagi Ibn Khaldun
(Soltanzadeh 2006) letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam
merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin
sangat menguntungkan. Di dalam zone ini peradaban besar lahir dan bertahan
lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India,
China, Mesir dll.
Salah satu
ciri terpenting peradaban Islam adalah perhatiannya terhadap ilmu
pengetahuan, dan ini telah terbukti bahwa perjalanan panjang peradaban Islam
diwarnai oleh lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi
dalam bidang masing-masing. salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang
banyak disoroti adalah merosotnya cendikiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran bidang ekonomi,
politik dan budaya (Saiful, 2004).
Kondisi umat saat ini tak ubahnya seperti seekor
domba yang berada di tengah-tengah srigala lapar. Dicabik dari kanan dan kiri,
digerogoti dari depan dan belakang serta terkoyak-koyak dari segala arah.
Menjauhkan umat ini dari tuntunan yang syar’i dan syamil telah membuat umat ini
terombang-ambing ditengah laut luas. Umat kehilangan jati diri dan Izzah
(kemuliaan). umat ini menjadi umat yang terpinggirkan, teraniaya, tersiksa
tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Dan
sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqoroh : 155).
Tetapi garis
kebangkitan itu adalah suatu keniscayaan, kemenangan Al-Haq atas kebathilan
adalah sunnatulloh yang pasti terjadi, karenanya kita harus menumbuhkan
optimisme dalam diri kita akan datangnya kemenangan itu. walau untuk menebusnya
harus melalui perjuangan melelahkan dan berdarah-darah. Kita sebagai anak yang
lahir dari rahim Islam seharusnya menyadari dan mampu memerankan diri sebagai
arsitek-arsitek peradaban Islam. Seorang arsitek peradaban Islam dituntut untuk
menciptakan desain terlebih dahulu untuk peradaban yang akan ia bangun, kita
harus mampu menghadirkan dalam fikiran kita, peradaban yang
bagaimana yang kita inginkan.
Menurut Ibn
Khaldun peradaban adalah sebuah fase alami. Munculnya peradaban berarti
menandai berakhirnya kehidupan baduwi.
Akan tetapi saat kehidupan baduwi
mencapai taraf kehidupan yang tinggi dan berkembang pesat dalam industrinya,
maka secara perlahan akan menuju pada kehancuran. Karena sesungguhnya peradaban
itu secara tersirat membawa benih-benih kerusakan. Negara semakin menua dan
pada gilirannya akan runtuh. Masa tua bagi sebuah negara menurut Ibn Khaldun
adalah sebuah daur kehidupan yang alami. Ia merupakan penyakit kronis yang
tidak mungkin diobati (dalam, http://muhsinhar.staff.umy.ac.id).
Ibnu Khaldun
sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negara-negara berdiri bergantung
pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk
mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan
dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang
generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh
materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan
negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan
musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya (http:// www.scribd.com)
Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban
besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras,
kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas
dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah
di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita
mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan
sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti
dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di
atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal
dengan Teori Siklus.
Referensi:
Amin, Husain Ahmad.
2000. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya
El-Saha.M.Ishom.
2002. 55 Tokoh Muslim Terkemuka.
Jakarta: Darrul Ilmi
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id
http://www.alquran-indonesia.com.
http://www.wikipedia.org.
Ibn Khaldun, Franz
Rosenthal, N.J Dawood. 1967. The Muqaddimah: An Introduction To History.
Princeton University Press.
Ishom, M. dan Hadi,
Saiful. 2004. Profil Ilmuan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern. Jakara: Fuzan Intan Kreasi.
Mehdi, Soltanzadeh.
2006. Factor Affecting a Siciety’s Life
Span, According to Ibn Khaldun, a paper disampaikan pada International
Conference:Ibn Khaldun’s Legacy and Its Contemporary Significance, 20th-22th November. ITAC-IIUM, Kuala Lumpur, hal.3-7
Murtiningsih, W. 2008. Biografi Para Ilmuan
Muslim. Yogyakarta: Insan Madani
No comments:
Post a Comment