Apa
hubungan kajian fenomenologi dengan hermeneutika? Apa manfaatnya bagi pembelajaran
IPS?
Jawab:
Fenomenologi
Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-1777), seorang filsuf Jerman
dalam bukunya Neues Organon (1764). Sebelum Lambert, istilah
fenomenologi juga pernah dikemukan oleh filsup-filsup lainnya; Immanuel Kant
(1724-1804) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Kemudian Edmund
Husserl (1859–1838) membawa fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu
filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision
dan Lebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap
hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi (Sutrisno, 2004).
Hermeneutik
Hermeneutika secara etimologis,
berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein yang berarti
menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia diterjemahkan penafsiran
atau interpretasi. Kedua kata ini, diasosiasikan pada Dewa Hermes seorang
utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes
adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa
(Palmer, 2005). Akar permulaan hermenēuein dan hermēnia bisa
ditemukan dalam Organon, Peri hermēneias karya Aristoteles, yang
diterjemahkan dengan “On Interpretation” . Kata ini juga ditemukan dalam
Oedipus at Colunus karya Plato, juga beberapa karya lainnya dari penulis
awal yang terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius,
dan Longinu.
Apa
hubungan kajian fenomenologi dengan hermeneutika?
Fenomenologi dan
Hermeneutika adalah teori pengalaman atau lebih khususnya teori tentang
bagaimana kata-kata berhubungan dengan pengalaman, keduanya berhubungan namun
ada perbedaan. Sementara yang pertama, memberikan
atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang yang kedua
berkonsentrasi pada masalah–masalah yang muncul dari interpretasi tekstual,
keduanya membicarakan cara dasar dengan status kita sebagai realita yang
eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya
yang melingkupi. Didefinisikan secara orisinal, hermeneutik merupakan seni
pemahaman dan penginterpretasian tentang karya seni, serta teks-teks historis
(Ricoeur, 1982).
Fenomenologi
dan hermeneutika telah menjadi semakin populer dewasa ini. Keduanya memiliki
karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan
permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi memberikan atensi lebih
besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang hermeneutika berkonsentrasi
pada masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual. Keduanya
membicarakan manusia sebagai realita yang eksistensinya ditentukan oleh
kondisi-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan
hermenutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan dan
kelemahan masing-masing.
Fenomenologi
dengan Edmund Husserl-nya mampu “mengusung”menjadi sebuah disiplin ilmu yang
berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-filsup lain di abad 20, sedangkan
hermeneutik, dengan Friedrich Schleier Macher (dikenal
sebagai Bapak Hermeneutika modern), dijadikan banyak peneliti sebagai
metode-metode penelitian tidak hanya menguak makna teks tetapi juga
interpretasi fenomena sosial (Sumaryono, 1999).
Fenemoneologi
(Ricoeur, 1985) didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan
esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran sedang hermeneutik
merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-teks historis. Fenomenologi
merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek
di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan,
maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Ricoeur (1985), kemudian menyimpulkan
bahwa fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi
hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi tidak berfungsi dengan baik dalam
memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap
pengalaman-pengalaman subjek. Untuk keperluan penafsiran itu, menurut Ricoeur (1985)
sangat dibutuhkan disiplin lain yaitu hermeneutika. Jadi pada dasarnya
fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur
(1985) menggunakan metode fenomenologi hermeneutik. Metode ini dalam literatur
ilmu humaniora diakui sebagai metode penafsiran yang rigorous (ketat), dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang
fenomena secara apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama dalam
menjelaskan tentang identitas diri tanpa mengabaikan aspek objektivitasnya.
Beberapa
persamaan dan perbedaan fenomenologi
dan hermeneutika dikaji berikut ini.
Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral,
kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam
memandang hakikat dan fungsi bahasa: Intensionalisme dan Hermeneutika
Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa
pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir.
Sementara Hermeneutika Gadamerian (Eagleton. 2006) sebaliknya memandang makna
dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir
dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa berubah tergantung
dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya. Hermeneutika Gadamerian dianggap
sebagai sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini
memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih
kreatif dan menjelajah dunia makna dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna
tidak saja ada di belakang teks (meaning
behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the texts). Makna di balik teks, berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan teks
berarti (invented ) ditemukan (Raharjo, 2009).
Pada
dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis pengalaman yang
bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi, keinginan, kehendak yang
diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial termasuk aktivitas berbahasa. Fenomenolgi
yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat lebih jauh dalam
kehidupan sehari-hari atau di tipifikasikan, maka bahasa menjadi medium sentral
untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang dapat ditemukan dalam
tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini memberikan orientasi metodologi
bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan memberikan perhatian lebih
kepada relasi antara bahasa yang digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan
demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi
sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat
diungkap. Sedang makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat tidak dengan menunggu
secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif terhadap
tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui bahasa,
peneliti fenomenologis harus berusaha menemukan makna tersebut. Dalam
keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan makna (create a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial, sehingga
mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Bahasa jelas merupakan
sangat esensial bagi fenomenologi dan hermeneutika. Kedua disiplin ini tidak
mungkin bisa menjalankan perannya tanpa menggunakan bahasa dalam
“program-programnya”(Hasan, 1993).
Fenomenologi
dan hermeneutik juga menganggap bahwa pemaknaan linguistik merupakan watak
turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran
yang selalu tertuju kepada objek menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya
(noesis) untuk memperoleh gambaran
perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema).
Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan
linguistik yang memadai untuk melakukan pengertian, predikasi, hubungan
sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi
hermeneutik,penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk
memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip
yang mendasari proses penafsiran.
Ricoeur
(1985) menggunakan analogi sebuah permainan dari pengalaman seni yang pada
dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik. Pengalaman seni yang dimaksud
adalah yang mengandung unsur permainan. Ketika seseorang mendapatkan pengalaman
seni, dan suatu waktu ia memamerkan atau menampilkan pengalaman tersebut. Maka
secara tidak langsung, kegiatan memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan
darimedium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh penontonnya
juga melalui medium linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunandari
pengalaman yang dihayati subjek, baik sebagai pameran maupun penonton. Selain
bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan sebagai teori pengalaman atau
teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan pengalaman. Fenomenologi
memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedangkan
hermeneutik berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari interpretasi
tekstual tersebut. Keduanya membicarakan objek sebagai realita yang
eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya
yang melingkupi. Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi terlihat
dalam penggunaan konsep Labenswelt
(dunia-kehidupan) dalam fenomenologi, oleh hermeneutik dipahami sebagai
perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang
memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam
kehidupan manusia.
Ricoeur
(1985) dengan konsep Labenswelt,
dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi
kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis. Hermeneutik dan
fenomenologi juga memiliki persamaan yang memungkinkan subjek untuk memaknai
pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya akan tradisi historis. Fenomenologi
harus dibiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran
kita padanya. Seperti kata Husserl dengan menyebutnya dengan ”kembalilah pada realitas itu sendiri”.
Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena
yang adadengan pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berbicara apa
adanya.Hal ini disebabkan karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat
oleh pengalaman indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena
adalah realitas yang bersifat obyektif. Berbeda dengan hermeneutika, dalam
dalam menjalankan tugasnya hermeneutika harus memperhatikan sejarah, konteks, prinsip,
religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Dengan memperhatikan beberapa
kaidah tersebut hasil kajian hermeneutika akan jauh lebih sempurna. Jika
dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan hermeneutika jelas sangat berbeda.
Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy,
dengan pertanyaan utama ”apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala
ini bagi masyarakat tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar dari teologi,
filsafat,dan kritik sastra, dengan pertanyaan utama, ”apa kondisi-kondisi yang melahirkan
perilaku atau produk yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran makna?
(dalam, http://akhozinaffandi.blogspot.com)
Disamping
persamaan dan perbedaan, fenomenologi
dan hermeneutika juga mempunyai kekuatan dan kelemahan. Salah satu
kekuatan filsafat fenomenologi adalah fenemenologi sebagai suatu metode keilmuan
dapat mendiskripsikan fenomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi
data, aneka macam teori dan pandangan. Fenomenologi menekankan upaya menggapai
“hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah
menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus
mengarahkan pengalaman. Tidak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama,
dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak
boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam
pengalaman itu sendiri. Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan
diri dari ikatan historis apapun apakah itu tradisi metafisika, epistimologi,
atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke
penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman
manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan.
Kekuatan
fenomenologi (Eagleton, 2006) lainnya adalah dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana
adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori da pandangan yang
didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun
ilmu pengetahuan harus buang dulu, ini dimaksudkan agar hasil dalam mengungkap
pengetahuan atau kebenaran benar-benar objektif. Kekuatan lainnya,
fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak
terpisah dari objek lainnya, dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan
holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh
mengenai objek yang diamati. Di samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas
dari kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu
sendiri. Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni
objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat,
agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi
sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound).
Hal ini dipertegas oleh Derrida yang
menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi
filosofis status pengetahuan (Adian, 2002). Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau
penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang
ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan
adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis
tidak pernah dapat terwujud. Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran
terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak
antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya
berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
tidak dapat digeneralisasi.
Fenomenologi dan hermeneutika akhirnya dikawinkan oleh Ricoeur
(1985) fenomenologi dianggap tidak bisa berdiri sendiri, harus didampingi oleh
hermeneutika. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang “tak tergantikan” bagi
hermeneutika, dan sebaliknya fenomenologi tidak bisa menjalankan programnya
dengan baik jika tidak didukung oleh hermeneutika. Bahasa merupakan peran yang sangat esensial
bagi fenomenologi dan hermeneutika, melalui bahasa makna sebuah fenomena bisa
diinterpretasi dengan baik.
Terlepas
dari kelebihan dan kekurangan, kedua disiplin ilmu ini jika digabungkan tentu
akan akan untuk mendapatkan “efek luar biasa”. Ricoeur (1985), Fenomenologi dan Hermeneutis seperti
sepasang suami istri yang ideal untuk “disandingkan”, mereka saling melengkapi
kekurangan masing-masing, dan juga saling “meninggikan” dengan kelebihan yang
dimiliki.
Apa manfaatnya bagi pembelajaran IPS?
Jawab:
Fenomenologi
dan hermeneutika dapat digunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran IPS, Seperti
telah disinggung di atas, fokus utama problem hermeneutika adalah terutama
untuk menerobos otoritas paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan
humanities. Secara demikian, pembahasan hermeneutika pada umumnya sebenarnya
merupakan problem filsafat ilmu (atau lebih tepatnya, problem metodologi),
bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Ia merupakan cara pandang
untuk memahami realitas, terutama realitas sosial yang juga merupakan kajian
pembelajaran IPS, sepcrti 'teks' scjarah dan tradisi (Adian, 2002)
Adalah
Wilhelm Dillhey yang mengajukan sebuah dikotomi antara metode erklaren untuk
ilmu-ilmu alam (naturwissenchaften)
dan metode verstehen untuk ilmu-ilmu
sosial (geisteswissenchaften). Metode
erklaren (menjelaskan) adalah metode khas posilivistik yang dituntut menjelaskan
objeknya yang berupa 'prilaku' alam menurut hukum sebab-akibat, sedang metode verstehen
(memahami), yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan-tindakan
sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia-kehidupan sosial.
Sudah disebutkan, sebagai sebuah pendekatan dalam IPS, hermeneutika tidak bisa
dipisahkan dengan pendekatan sebelumnya fenomenologi. Keterkaitan antara
keduanya tarnpak jelas, terutama dalam filsafat Heidegger. Dalam sebuah
artikcl, Muslih (2005) mengutip pemyataan Heidegger:
Makna metodologis dari
deskripsi fenomenologis adalah penafsiran. Logos dari fenomenologi Dasein
memiliki ciri Itermemtdn... Fenomenologi Dasein adalah hermeneutik dalam
pengertian asli kata itu, menunit pengertian pokoknya, yaitu kesibukan
penafsiran.
Seperti dalam fenomenologi sosial dalam
hermeneutika peranan subjek yang menafsirkan juga sangat jelas. Dunia kehidupan
sosial yang merupakan kajian IPS bukan hanya dunia yang hanya dihayati
individu-individu dalam masyarakat, melainkan juga merupakan objek penafsiran
yang muncul karena penghayatan itu.
Dengan demikian, hermeneutika merupakan
penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini. Konsep penafsiran dan pemahaman ini
sekali lagi merupakan usaha untuk mengatasi objektivisme dari positivisme yang
secara berat sebelah melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan
sosial. Jelasnya, apa yang dalam fenomenologi disebut ‘kesadaran yang
mengkonstitusi (membentuk) kenyataan’ dan yang kemudian dalam hermeneutik
ditunjukkan dalam pengertian kata hermeneutik itu sendiri (yakni penafsiran),
adalah menunjukkan peranan subjek dalam kegiatan pengetahuan (Sutrisno, 2005).
Sebagai
suatu metode keilmuan, fenomenologi dan hermeneutika dapat mendeskripsikan
fenomena dalam pembelajaran IPS sebagaimana
adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang
pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan
atau kebenaran yang benar-benar objektif. Selain itu, fenomenologi memandang
objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial,
sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini
menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi dan hermeneutika, sehingga banyak dipakai oleh
ilmuwan-ilmuwan, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian
agama. Subjek terteliti dapat berupa beragam
bentuk interaksi, baik antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, dalam penelitian ini interaksi yang dimaksud berupa perilaku guru dan
peserta didik, dalam proses pembelajaran mata pelajaran IPS berbasis kecakapan
hidup yang Islami (dalam, http://akhozinaffandi.blogspot.com
/fenomenologi.html)
Kemiskinan adalah salah satu tema kajian
pembelajaran IPS. Dengan fenomenologi dan hermeneutika sebagai salah satu
pendekatan, atau kaidah dalam filsafat. Maka, tidak berpangku pada data empirisme,
atau penerapan empirikal. Sebaliknya, harus mampu untuk mendiskripsikan fenomena
sosial kemiskinan tersebut, juga mendiskripsikan sesuatu yang nampak dalam kesadaran
kita. Dan, nampak dalam kesadaran itu tidak harus dibatasi dengan nampak pada
mata saja. Contoh penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann dalam The Social
Construction of Reality, menjelaskan bagaimana mengenai gejala intentionalitization.
Referensi
Adian,
Donny
Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat
Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Afandi, Abdullah Khozin. Fenomenologi. Int.
(http://akhozinaffandi.blogspot.com fenomenologi.html/diakses Desember 2011)
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif,
terj. Harfiah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hadiwijono, Hasan. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9.
Yogyakarta: Kanisius
Kuswarno, Engkus. Fenomenologi:
Metode Penelitian Kualitati. Int. (http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-penelitian-kualitatif/
diakses tanggal Desember 2011)
Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar,
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai
Interpretasi, Terj. Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara
Intersionalisme dan Gadamerian. Jogjakarta: Ar-Ruzmedia.
Raharjo, Mudjia. Hermeneutika. Apa Manfaatnya? (http://mudjiarahardjo.com/
artikel/103-hermeneutika-apa-manfaatnya.html diakses pada Desember 2011)
Ricouer, Paul. 1985. Hermeneutics
and The Human Sciences. Melbourne, Sydney: Cambridge University Press.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik
(Sebuah metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius, 1999
Suryaman, Oni. 2005. Hermeneutika, Selayang Pandang. Int.,
(http://id.wordpress.com/tag/hermeneutika/, diakses Desember 2011)
Sutrisno, et.al. 2005. Para Filusuf Penentu Gerak Zaman.
Yogyakarta: Kanisius.
No comments:
Post a Comment