Tuesday 5 November 2019

Apa Hubungan Kajian Fenomenologi Dengan Hermeneutika? Apa Manfaatnya Bagi Pembelajaran IPS?

Apa hubungan kajian fenomenologi dengan hermeneutika? Apa manfaatnya bagi pembelajaran IPS?
Jawab:
Fenomenologi
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-1777), seorang filsuf Jerman dalam bukunya Neues Organon (1764). Sebelum Lambert, istilah fenomenologi juga pernah dikemukan oleh filsup-filsup lainnya; Immanuel Kant (1724-1804) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Kemudian Edmund Husserl (1859–1838) membawa fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision dan Lebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi (Sutrisno, 2004).

Hermeneutik
Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini, diasosiasikan pada Dewa Hermes seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa (Palmer, 2005). Akar permulaan hermenēuein dan hermēnia bisa ditemukan dalam Organon, Peri hermēneias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On Interpretation” . Kata ini juga ditemukan dalam Oedipus at Colunus karya Plato, juga beberapa karya lainnya dari penulis awal yang terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinu.

Apa hubungan kajian fenomenologi dengan hermeneutika?
Fenomenologi dan Hermeneutika adalah teori pengalaman atau lebih khususnya teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan pengalaman, keduanya berhubungan namun ada perbedaan. Sementara yang pertama, memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang yang kedua berkonsentrasi pada masalah–masalah yang muncul dari interpretasi tekstual, keduanya membicarakan cara dasar dengan status kita sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi. Didefinisikan secara orisinal, hermeneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang karya seni, serta teks-teks historis (Ricoeur, 1982).

Fenomenologi dan hermeneutika telah menjadi semakin populer dewasa ini. Keduanya memiliki karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang hermeneutika berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita yang eksistensinya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan hermenutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Fenomenologi dengan Edmund Husserl-nya mampu “mengusung”menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-filsup lain di abad 20, sedangkan hermeneutik, dengan Friedrich Schleier Macher  (dikenal sebagai Bapak Hermeneutika modern), dijadikan banyak peneliti sebagai metode-metode penelitian tidak hanya menguak makna teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial (Sumaryono, 1999).

Fenemoneologi (Ricoeur, 1985) didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran sedang hermeneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-teks historis. Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Ricoeur (1985), kemudian menyimpulkan bahwa fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi tidak berfungsi dengan baik dalam memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subjek. Untuk keperluan penafsiran itu, menurut Ricoeur (1985) sangat dibutuhkan disiplin lain yaitu hermeneutika. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur (1985) menggunakan metode fenomenologi hermeneutik. Metode ini dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode penafsiran yang rigorous (ketat), dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang fenomena secara apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama dalam menjelaskan tentang identitas diri tanpa mengabaikan aspek objektivitasnya.

Beberapa persamaan dan perbedaan fenomenologi dan hermeneutika dikaji berikut ini.  Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam memandang hakikat dan fungsi bahasa: Intensionalisme dan Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir. Sementara Hermeneutika Gadamerian (Eagleton. 2006) sebaliknya memandang makna dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya. Hermeneutika Gadamerian dianggap sebagai sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks (meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the texts). Makna di balik teks, berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan teks berarti (invented ) ditemukan (Raharjo, 2009).

Pada dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis pengalaman yang bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi, keinginan, kehendak yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial termasuk aktivitas berbahasa. Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau di tipifikasikan, maka bahasa menjadi medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat diungkap. Sedang makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat tidak dengan menunggu secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif terhadap tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui bahasa, peneliti fenomenologis harus berusaha menemukan makna tersebut. Dalam keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan makna (create a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial, sehingga mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Bahasa jelas merupakan sangat esensial bagi fenomenologi dan hermeneutika. Kedua disiplin ini tidak mungkin bisa menjalankan perannya tanpa menggunakan bahasa dalam “program-programnya”(Hasan, 1993).

Fenomenologi dan hermeneutik juga menganggap bahwa pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada objek menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik yang memadai untuk melakukan pengertian, predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik,penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses penafsiran.

Ricoeur (1985) menggunakan analogi sebuah permainan dari pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik. Pengalaman seni yang dimaksud adalah yang mengandung unsur permainan. Ketika seseorang mendapatkan pengalaman seni, dan suatu waktu ia memamerkan atau menampilkan pengalaman tersebut. Maka secara tidak langsung, kegiatan memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan darimedium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh penontonnya juga melalui medium linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunandari pengalaman yang dihayati subjek, baik sebagai pameran maupun penonton. Selain bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan sebagai teori pengalaman atau teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan pengalaman. Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutik berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual tersebut. Keduanya membicarakan objek sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi. Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Labenswelt  (dunia-kehidupan) dalam fenomenologi, oleh hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia.

Ricoeur (1985) dengan konsep Labenswelt, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis. Hermeneutik dan fenomenologi juga memiliki persamaan yang memungkinkan subjek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya akan tradisi historis. Fenomenologi harus dibiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Seperti kata Husserl dengan menyebutnya dengan ”kembalilah pada realitas itu sendiri”. Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang adadengan pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berbicara apa adanya.Hal ini disebabkan karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena adalah realitas yang bersifat obyektif. Berbeda dengan hermeneutika, dalam dalam menjalankan tugasnya hermeneutika harus memperhatikan sejarah, konteks, prinsip, religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Dengan memperhatikan beberapa kaidah tersebut hasil kajian hermeneutika akan jauh lebih sempurna. Jika dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan hermeneutika jelas sangat berbeda. Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy, dengan pertanyaan utama ”apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar dari teologi, filsafat,dan kritik sastra, dengan pertanyaan utama, ”apa kondisi-kondisi yang melahirkan perilaku atau produk yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran makna? (dalam, http://akhozinaffandi.blogspot.com)

Disamping persamaan dan perbedaan, fenomenologi dan hermeneutika juga mempunyai kekuatan dan kelemahan. Salah satu kekuatan filsafat fenomenologi adalah fenemenologi sebagai suatu metode keilmuan dapat mendiskripsikan fenomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tidak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan.

Kekuatan fenomenologi (Eagleton, 2006) lainnya adalah dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori da pandangan yang didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu, ini dimaksudkan agar hasil dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran benar-benar objektif. Kekuatan lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Di samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri. Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound).

 Hal ini dipertegas oleh Derrida yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan (Adian, 2002). Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.
Fenomenologi dan hermeneutika akhirnya dikawinkan oleh Ricoeur (1985) fenomenologi dianggap tidak bisa berdiri sendiri, harus didampingi oleh hermeneutika. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang “tak tergantikan” bagi hermeneutika, dan sebaliknya fenomenologi tidak bisa menjalankan programnya dengan baik jika tidak didukung oleh hermeneutika.  Bahasa merupakan peran yang sangat esensial bagi fenomenologi dan hermeneutika, melalui bahasa makna sebuah fenomena bisa diinterpretasi dengan baik.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, kedua disiplin ilmu ini jika digabungkan tentu akan akan untuk mendapatkan “efek luar biasa”. Ricoeur (1985), Fenomenologi dan Hermeneutis seperti sepasang suami istri yang ideal untuk “disandingkan”, mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing, dan juga saling “meninggikan” dengan kelebihan yang dimiliki.

Apa manfaatnya bagi pembelajaran IPS?
Jawab:
Fenomenologi dan hermeneutika dapat digunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran IPS, Seperti telah disinggung di atas, fokus utama problem herme­neutika adalah terutama untuk menerobos otoritas paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humanities. Secara demi­kian, pembahasan hermeneutika pada umumnya sebenarnya merupakan problem filsafat ilmu (atau lebih tepatnya, problem metodologi), bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Ia merupakan cara pandang untuk mema­hami realitas, terutama realitas sosial yang juga merupakan kajian pembelajaran IPS, sepcrti 'teks' scjarah dan tradisi (Adian, 2002)

Adalah Wilhelm Dillhey yang mengajukan sebuah dikotomi antara metode erklaren untuk ilmu-ilmu alam (naturwissenchaften) dan metode verstehen untuk ilmu-ilmu sosial (geisteswissenchaften). Metode erklaren (menjelaskan) adalah metode khas posilivistik yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa 'prilaku' alam menurut hukum sebab-akibat, sedang metode verstehen (memahami), yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan-tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia-kehidupan sosial. Sudah disebutkan, sebagai sebuah pendekatan dalam IPS, hermeneutika tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan sebelumnya fenomenologi. Keterkaitan antara keduanya tarnpak jelas, terutama dalam filsafat Heidegger. Dalam sebuah artikcl, Muslih (2005) mengutip pemyataan Heidegger:
Makna metodologis dari deskripsi fenomenologis adalah penafsiran. Logos dari fenomenologi Dasein memiliki ciri Itermemtdn... Fenomenologi Dasein adalah hermeneutik dalam pengertian asli kata itu, menunit pengertian pokoknya, yaitu kesibukan penafsiran.
Seperti dalam fenomenologi sosial dalam hermeneutika peranan subjek yang menafsirkan juga sangat jelas. Dunia kehidupan sosial yang merupakan kajian IPS bukan hanya dunia yang hanya dihayati individu-individu dalam masyarakat, melainkan juga merupakan objek penafsiran yang muncul karena penghayatan itu.

Dengan demikian, hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia-kehidupan sosial ini. Konsep penafsiran dan pemahaman ini sekali lagi merupakan usaha untuk mengatasi objektivisme dari positivisme yang secara berat sebelah melenyapkan peranan subjek dalam membentuk kenyataan sosial. Jelasnya, apa yang dalam feno­menologi disebut ‘kesadaran yang mengkonstitusi (membentuk) kenyataan’ dan yang kemudian dalam hermeneutik ditunjukkan dalam pengertian kata hermeneutik itu sendiri (yakni penafsiran), adalah menunjukkan peranan subjek dalam kegiatan pengetahuan (Sutrisno, 2005).

Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dan hermeneutika dapat mendeskripsikan fenomena dalam pembelajaran  IPS sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif. Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi dan hermeneutika, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama. Subjek terteliti dapat berupa beragam bentuk interaksi, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dalam penelitian ini interaksi yang dimaksud berupa perilaku guru dan peserta didik, dalam proses pembelajaran mata pelajaran IPS berbasis kecakapan hidup yang Islami (dalam, http://akhozinaffandi.blogspot.com /fenomenologi.html)

Kemiskinan adalah salah satu tema kajian pembelajaran IPS. Dengan fenomenologi dan hermeneutika sebagai salah satu pendekatan, atau kaidah dalam filsafat. Maka, tidak berpangku pada data empirisme, atau penerapan empirikal. Sebaliknya, harus mampu untuk mendiskripsikan fenomena sosial kemiskinan tersebut, juga mendiskripsikan sesuatu yang nampak dalam kesadaran kita. Dan, nampak dalam kesadaran itu tidak harus dibatasi dengan nampak pada mata saja. Contoh penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality, menjelaskan bagaimana mengenai gejala intentionalitization.
Referensi
Adian, Donny Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Afandi, Abdullah Khozin. Fenomenologi. Int. (http://akhozinaffandi.blogspot.com fenomenologi.html/diakses Desember 2011)
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Harfiah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hadiwijono, Hasan. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9. Yogyakarta: Kanisius
Kuswarno, Engkus. Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitati. Int. (http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-penelitian-kualitatif/ diakses tanggal Desember 2011)
Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian. Jogjakarta: Ar-Ruzmedia.
Raharjo, Mudjia. Hermeneutika. Apa Manfaatnya? (http://mudjiarahardjo.com/ artikel/103-hermeneutika-apa-manfaatnya.html diakses pada Desember 2011)
Ricouer, Paul. 1985. Hermeneutics and The Human Sciences. Melbourne, Sydney: Cambridge University Press.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik (Sebuah metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius, 1999
Suryaman, Oni. 2005. Hermeneutika, Selayang Pandang. Int., (http://id.wordpress.com/tag/hermeneutika/, diakses Desember 2011)
Sutrisno, et.al. 2005. Para Filusuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius.

No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...