Jawab:
Francis Fukuyama (2003:49-50) dengan The End of History and The Last Man. Dalam buku ini Fukuyama
berpendapat bahwa munculnya demokrasi liberal Barat dapat merupakan pertanda
titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk akhir pemerintahan. Ungkapan the end of history itulah yang sangat
populer di pengujung abad ke-20, yang menempatkan Francis Fukuyama sebagai
ilmuwan terpopuler bersama Huntington, selama dekade 1990. Setelah menang
melawan Komunisme pada abad ke-20, Barat menjadi penguasa tunggal. Di puncak
piramida kekuasaan, duduk super power
Amerika Serikat, yang memegang kunci-kunci kekuasaan dunia. Dengan segala
kehebatannya itu, ada yang kemudian berpikir bahwa setelah era dominasi
peradaban Barat, maka tidak ada lagi peradaban lain, dengan sistem pemikiran
dan kehidupan yang berbeda dengan peradaban Barat. Ketika itulah manusia sudah
bersepakat untuk menerapkan Demokrasi Liberal. Era ini merupakan akhir sejarah
‘Akhir
sejarah’ (the end of history). (A remarkable consensus concerning the
legitimacy of liberal democracy as a
system of government had emerged throughout the world over the past few years,
as it conquered rival ideologies like hereditary monarchy, fascism, and most
recently communism. More than that, however, I argued that liberal democracy
may constitute the “end point of mankind’s ideological evolution” and the
“final form of human government,” and as such constituted the “end of
history.)” (Fukuyama: 1992:xi)
Dalam bukunya, Fukuyama (2003)
memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem demokrasi liberal,
sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa sesuai ramalan Hegel, maka
akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka untuk menerima Demokrasi
Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang memilih
demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13
negara; tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30
negara; dan 1990, 61 negara. 4 Pada ‘akhir sejarah’, kata Fukuyama, tidak ada
lagi tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal. Di masa lalu,
manusia menolak Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal
adalah inferior terhadap berbagai ideologi
dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia,
kecuali dunia Islam, untuk menerapkan Demokrasi Liberal. Ia menulis:
“At
the end of history, there are no serious ideological competitors left to
Liberal Democracy. In the past, people rejected Liberal Democracy because they
believed that it was inferior to monarchy, aristocracy, theocracy, fascism,
communist totalitarianism, or whatever ideology they happened to believed in,
But now, outside the Islamic world, there appears to be a general consensus
that accepts liberal democracy’s claims to be the most rational form of
government, that is, the state that realizes most fully either rational desire
or rational recognition.”(Fukuyama:
2003)
Fukuyama (2003) pada bab analisisnya
mengenai the last man ‘manusia
akhir’. Dalam hal ini Fukuyama mengadopsi konsep “manusia akhir” Nietzsche yang
syarat dengan kenyamanan pribadi, kesenangan material, secara membabi buta
menerima ‘moralitas gerombolan” serta dogma-dogma politik dan eksis sebelum ubermensch “ manusia unggul’ hadir.
Menurut Fukuyama (2003) kondisi kehidupan manusia yang demikian merupakan
merupakan konsekuensi diterapkannya demokrasi liberal, dimana setiap orang pada
akhirnya menjadi borjuis atau kelas menengah karena sokongan pemerintah pada
berbagai bentuk pertanggungjawaban sosial seperti Social Security and Medical di Amerika Serikat hingga berbagai
sistem kesejahteraan yang lebih komprehensif di Jerman atau Swedia. Singkatnya
kata lain manusia modern adalah manusia terakhir dengan kehidupan penuh
keamanan fisik serta kelimpahan materil.
Fukuyama (2003) menyatakan bahwa keinginan untuk diakui sebagai manusia (the desire of recognition) mengondisikan manusia pertama untuk mempertaruhkan hidup
dalam sebuah pertarungan terus menerus untuk mendapatkan martabat. Inilah
yang disebut thymos, yang diambilnya dari pandangan Plato tentang triparti
jiwa (nous, thymos, epithumia). Konsep ini dimengerti oleh Plato sebagai kondisi
psikologis manusia yang menciptakan kesadaran akan self
esteem (harga diri). Apabila seseorang diperlakukan tidak
sesuai dengan nilai yang dipegangnya, maka ia akan marah. Apabila orang
tersebut tidak mampu untuk hidup menurut nilai yang diyakini itu, maka ia akan
merasa malu. Dan, apabila dia merasa hidupnya telah sesuai dengan nilai
tersebut, maka ia akan merasa bangga. Hasrat untuk mendapatkan pengakuan yang
diikuti oleh perasaan marah, malu dan bangga merupakan bagian penting dalam
kepribadian manusia bagi kehidupan politik.
BENTURAN
PERADABAN
|
|
Francis Fukuyama
|
Samuel P. Huntington
|
Buku:
The End of History and The Last Man
|
Buku:
The Last of Civilization and The
Remaking of World Order
|
Ø Dalam bukunya yang menjadi sangat popular di seluruh dunia itu,
Fukuyama (2003), mengatakan bahwa akhir evolusi perkembangan politik adalah demokrasi liberal dan akhir evolusi perkembangan ekonomi adalah kapitalisme. Inti
dari dua sistem tersebut pada hakekatnya adalah liberalisme, yaitu
liberalisme politik dan ekonomi.
Ø Francis Fukuyama (2003) khususnya
memperdebatkan bahwa dunia telah mencapai 'akhir sejarah' dalam pengertian
Hegel. Fukuyama menyebutkan bahwa
demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologi. Setelah
Komunisme tergeser dari peradaban dunia, Fukuyama berpandangan bahwa tidak
ada lagi tantangan yang serius bagi demokrasi liberal. Untuk menjaga
eksistensi demokrasi maka Fukuyama menyarankan untuk menjalankan proses
sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi.
Ø Menurut Fukuyama, setelah Barat menaklukkan
rival idiologisnya: monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme, dunia telah
mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia
berasumsi bahwa demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi
idiologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan. Dan, ini sekaligus
sebuah 'akhir sejarah' (the end of history). (Francis Fukuyama, The
End of History and the Last Man, hlm. 11).
Ø Fukuyama memandang bahwa hal yang esensial
dari human nature adalah desire, reason
dan thymos. Akhir dari sejarah
adalah pemuasan dari ketiga komponen human nature ini. Desire berarti kebutuhan-kebutuhan ekonomi manusia, reason adalah kapasitas untuk memahami
dan memanipulasi lingkungan sosial dan natural untuk mencapai tujuan
seseorang, dan thymos adalah
dorongan untuk mendapat penghormatan dari seseorang atau yang lain sebagai
manusia. (Philosophy of History, hlm. 426).
Ø Fukuyama
mengakui kegunaan instrumental dari reason
untuk mencapai sisi praktis dari kehidupan. Aktivitas intelektual
dilakukan bukan demi pemenuhan diri tetapi supaya keluar dari thymos, sebagai ekspresi dari dorongan
untuk dihargai sebagaimana dalam megalathymia
(dihargai sebagai yang paling super). (Philosophy
of History, hlm. 427-428)
Ø Pada akhir sejarah, menurut Fukuyama, tidak
ada lagi tantangan idiologis yang serius terhadap demokrasi liberal. Pada
masa lalu manusia menolak demokrasi liberal sebab mereka percaya bahwa
demokrasi liberal adalah inferior
terhadap berbagai idiologi dan sistem lainnya, seperti monarki, teokrasi, fasisme,
komunisme, totalitarianisme, atau apa pun. Tetapi, sekarang, sudah menjadi
konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan demokrasi
liberal sebagai bentuk pemerintahan yang paling rasional. (Francis Fukuyama, The
End of History and the Last Man, hlm. 211-212).
Ø Tentang hubungan agama dengan sekularisasi,
Fukuyama (2003) mencatat bahwa liberalisme tidak akan muncul jika Kristen
tidak melakukan sekularisasi. Dan itu sudah dilakukan oleh Protestanisme Barat, yang telah
membuat adanya kelas khusus pemuka agama dan menjauhkan diri dari intervensi
terhadap politik. Tulis Fukuyama, "Kristen dalam arti tertentu harus
membentuk dirinya melalui sekularisasi tujuan-tujuannya sebelum liberalisme
bisa lahir. Agen sekularisasi yang umumnya segera bisa diterima di Barat
adalah Protestanisme. Dengan menempatkan agama sebagai masalah pribadi antara
Kristen dan Tuhan, Protestanisme telah menghilangkan kebutuhan akan kelas
pendeta yang terpisah, lebih luas lagi tidak ada juga kebutuhan akan
intervensi agama ke dalam politik." (Francis Fukuyama, The End of
History and the Last Man, hlm. 216)
Ø Fukuyama (2003) menyorot dua kelompok agama
yang menurutnya sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi ortodoks dan
Islam fundamentalis. Keduanya dia sebut sebagai "totalistic religion", yang
ingin mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik
maupun pribadi, termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa
menerima demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya
tentang kebebasan beragama. Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak
mengherankan jika satu-satunya negara demokrasi liberal di dunia Islam adalah
Turki, yang secara tegas menolak warisan tradisi Islam dan memilih bentuk
negara sekular di awal abad ke-20. (Francis Fukuyama, The End of History
and the Last Man, hlm. 217)
Ø Pernyataan Fukuyama (2003) tersebut bukan
saja sangat debatable, tetapi juga
terbukti kontradiktif dengan sikap Barat sendiri. Dalam memandang demokrasi,
Fukuyama (2003) mengadopsi pendapat Huntington tentang perlunya proses
sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Pendapat Fukuyama bahwa
pada masa akhir sejarah tidak ada tantangan serius terhadap Demokrasi Liberal
dan umat manusia di luar dunia Islam telah terjadi konsensus untuk menerapkan
Demokrasi Liberal adalah merupakan statemen yang sangat debatable dan terbukti kontradiktif dengan sikap Barat
sendiri. Karena itu, ketika Islam
dipandang ‘tidak compatible’ dengan
demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang
bersifat sekular sekaligus liberal.
Ø Dalam bukunya, Fukuyama (2003:
49-50) memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem
demokrasi liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa sesuai
Ramalan Hegel, maka akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka
untuk menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss,
dan Prancis, yang memilih demokrasi
liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara; tahun
1919, 25 negara, tahun 1940, 13
negara; tahun 1960, 36 negara; tahun
1975, 30 negara; dan tahun 1990, 61 negara.
Ø Klaim-klaim Fukuyama sebenarnya sangatlah
lemah. Tidaklah benar saat ini tidak ada tantangan serius secara idiologis
terhadap demokrasi liberal. Faktanya, pasca-Perang Dingin, Islam masih
dianggap sebagai tantangan idiologis yang serius. Sehingga, negara-negara
Barat sangat khawatir terhadap munculnya negara yang menerapkan idiologi
Islam.
(dalam http : //www. insist
net. Com).
|
Ø Berbeda dengan Fukuyama yang melihat kecenderungan kearah suatu
ideologi yang hegemonik, yaitu liberalisme, Huntington justru melihat
timbulnya benturan antar peradaban, yaitu antara delapan peradaban besar, di
antaranya yang terpenting adalah Barat (Yahudi-Kristen-Yunani Kuno), Islam
dan Konfusianisme yang mendominasi peradaban Cina-Jepang (walaupun Huntington
melupakan faktor Buddha, Taoisme dan Sinto yang bersama-sama dengan
Konfusianime, mendominasi peradaban di kawasan itu). Huntington (1996) meyakini bahwa sementara era ideologi
berakhir, dunia hanya akan kembali ke keadaan peristiwa normal yang dicirikan
oleh konflik kultural. Dalam tesisnya dia memperdebatkan bahwa sumbu utama
konflik di masa depan akan berputar di sekitar garis keagamaan dan kultural.
Ø Huntington (1996:44) lebih memfokuskan
kepada tema pertembungan/pertentangan peradaban, namun beliau mengakui ada
faktor-faktor yang menyumbang kepada kekuatan sebuah peradaban moden serta
ada faktor-faktor yang menjadi penentu kurangnya pengaruh sebuah peradaban.
Hal ini ditegaskan oleh beliau bahwa peradaban-peradaban senantiasa mengalami
kemunduran sekaligus berkembang. Peradaban bersifat dinamis, bangkit dan
jatuh, menyatu dan saling terpisah, dan sebagaimana halnya dengan apa yang
mereka belajar sejarah, ia juga
tenggelam dan terkubur di dalam pasir-pasir masa
.
Ø Bagi Huntington (1996), konflik antara
peradaban merupakan fase yang terbaru dalam konflik dunia moden khususnya
selepas era perang dingin. Menurutnya identitas peradaban akan menjadi lebih
penting pada masa depan, dan sebagian dunia akan dibentuk oleh interaksi
antara delapan peradaban:
·
Peradaban
Tionghoa
(berkembang sejak 1500 SM
·
Peradaban Jepang (sejak 100 dan
400 M)
·
Peradaban Hindu (sejak 1500 SM)
·
Peradaban Islam (sejak abad ke-7/622M)
·
Peradaban Orthodoks/Rusia
·
Peradaban Barat (sejak 700/800 M)
·
Peradaban Amerika Latin
·
Peradaban Afrika
Ø Peradaban besar itu termasuklah peradaban
Barat, Confucios, Jepang, Islam, Hindu, Slavic-Orthodox, Latin Amerika dan
mungkin juga peradaban Afrika. Konflik yang paling penting pada masa hadapan
dijangka akan berlaku pada garis keretakan yang memisahkan
peradaban-peradaban ini.
Ø Huntington (1992:6) memperturunkan enam
faktor yang menyebabkan berlakunya keretakan atau pertembungan antara
peradaban.
a
Faktor
yang pertama ialah peradaban dibedakan antara satu sama lain oleh sejarah,
bahasa, budaya, tradisi dan yang paling penting ialah agama. Justru,
masyarakat daripada peradaban yang berbeda mempunyai pandangan yang berlainan
tentang banyak hal. Menurut Huntington perbedaan ini timbul dalam proses yang
lama dan perbedaan ini tidak mudah lenyap kerana sifatnya lebih asasi,
berbanding dengan perbedaan ideologi politik dan rejim kerajaan yang
berasaskan politik.
b Kedua, interaksi antara manusia daripada
berlainan peradaban semakin bertambah kerana dunia kini semakin mengecil.
Peningkatan interaksi ini memperdalamkan lagi kesedaran di kalangan kelompok
itu sendiri. Orang Amerika misalnya lebih bersifat negatif terhadap
pelabur-pelabur Jepang daripada pelabur dari Kanada dan negara-negara Eropa
yang lain.
c
Ketiga,
proses pemordenan ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia telah memisahkan
orang daripada identitas yang telah lama berakar dan proses ini melemahkan
negara bangsa sebagai asas identitas. Bagaimanapun menurut Huntington, agama
telah berjaya menembusi jurang selalunya dalam bentuk gerakan yang dilabelkan
sebagai fundamentalis. Golongan fundamentalis terdiri daripada kalangan anak
muda, lulusan universitas, sekolah menengah, para profesional dan ahli
perniagaan.
d Keempat, kesadaran tamadun akan semakin
meningkat dan akan dipercepatkan oleh dua peranan Barat. Pada satu pihak,
Barat berada di puncak kekuasaan dan pada masa yang sama sebagai kesan
kekuasaan Barat menyebabkan dunia Barat mencari jalan keluar seperti
pengislaman semula Timur Tengah.
e
Kelima,
ciri dan perbedaan kebudayaan agak sukar untuk diubah sesuai dan oleh itu
sukar dikompromikan berbanding dengan ciri-ciri ekonomi dan politik. Malah
lebih daripada persoalan etnik, agama merupakan tekanan yang hebat di
kalangan umat manusia. Seseorang itu mungkin boleh dianggap separuh Perancis
dan separuh Arab dan seterusnya menjadi warga dua negara. Namun tidak mungkin
boleh menjadi separuh Katolik dan separuh Islam.
f
Yang
terakhir ialah ekonomi semakin meningkat menyebabkan kerjasama serantau
menguntungkan negara-negara anggota kesatuan berdasarkan peradaban yang sama.
Salah satu kejayaan Barat ialah kerjasama serantau yang diamalkan dan
dikongsi bersama seperti Kesatuan Ekonomi Eropah (EEC). Bergantung kepada
asas-asas dalam budaya di Eropah dan Kristian Barat tetapi kejayaan ini tidak
mutlak akibat timbul masalah tentang tiadanya persefahaman seperti itu.
Penggunaan mata wang Euro memperlihatkan Britain enggan menyertainya.
Sungguhpun peradaban-peradaban lain di Asia Selatan dan Asia Tenggara
mempunyai organisasi mereka sendiri seperti South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) dan Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN), namun kejayaan kerjasama dalam bidang ekonomi masih kurang.
Ø Samuel Huntington (1996), menyanggah
orang-orang yang mengatakan bahwa peradaban Barat adalah peradaban universal
bagi seluruh umat manusia, melalui perkataannya, “Jika memang benar bahwa
peradaban Barat mampu menembus seluruh dunia, maka konsep-konsep Barat
mempunyai perbedaan mendasar dengan apa yang telah berlaku secara umum di
berbagai peradaban lain. Pemikiran-pemikiran Barat tentang individualisme,
liberalisme, demokrasi, pasar bebas, sekulerisme, bukanlah sebuah konvensi
yang punya daya tarik dalam tsaqofah
Islam, Konfuisme, Sinto, Hindu, Budha, atau Ortodoks. Sebuah konsep yang
mengatakan adanya peradaban universal merupakan produk pemikiran Barat,
sangat tampak pertentangannya dengan karakteristik mayoritas masyarakat Asia,
dimana banyak perkara telah mengakar di dalam masyarakat tersebut yang
membedakan satu bangsa dengan yang lain.
Ø Menurut Huntington (1996), Islam adalah satu-satunya peradaban
yang pernah membuat Barat tidak merasa aman. Kasus dukungan Barat terhadap
pembatalan pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS menunjukkan bahwa
Barat menganggap ada tantangan serius terhadap idiologi FIS. Menurut
Christoper Ogden, dalam artikel View from Washington, Times, 3 Februari 1992,
tindakan AS yang mendukung permainan kekuasaan anti-demokrasi merupakan suatu
tindakan yang sangat keliru. Sikap AS dan Prancis yang menyatakan bahwa
kudeta Aljazair "konstitusional" tidak lain merupakan gejala
penyakit gila paranoid (ketakutan tanpa dasar) terhadap Muslim fundamentalis
Ø Dalam kajiannya tentang ‘Gelombang Demokratisasi Ketiga’,
Huntington mengungkap penelitian yang menunjukkan adanya hubungan
negatif antara Islam dan
demokratisasi. Sebaliknya, ada korelasi yang tinggi antara agama Kristen
Barat dengan demokrasi. Di tahun 1988, agama Katolik dan/atau Protestan
merupakan agama dominan pada 39 dari 46 negara demokratis. Ke-39 negara
demokratis itu merupakan 57 persen dari 68 negara dimana Kristen Barat
merupakan agama dominan. Sebaliknya, papar Huntington, dari 58 negara yang
agama dominannya bukan Kristen Barat, hanya ada 7 negara (12 persen) yang
dapat dikategorikan negara demokratis. Jadi, simpul Huntington, demokrasi sangat
jarang terdapat di negeri-negeri di mana mayoritas besar penduduknya beragama
Islam, Budha, atau Konfusius
Ø Kebangkitan Islam ini dalam makna
yang paling dalam dan paling luas, merupakan fase akhir dari hubungan antara Islam dengan Barat: sebuah upaya untuk menemukan “jalan keluar”
yang tidak lagi melalui ideologi-ideologi Barat, tapi dalam Islam. Ia
merupakan perwujudan dari penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap
kebudayaan Barat dan rekomitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam
dunia modern. Mengingkari pengaruh kebangkitan Islam terhadap kehidupan
politik masyarakat Timur akhir abad XX sama artinya dengan mengingkari
pengaruh reformasi Protestan terhadap kehidupan politik masyarakat Eropa
akhir abad XIX. Proses Islamisasi pertama kali terjadi dalam wilayah kultural
dan kemudian bergerak ke bidang politik dan sosial. (Huntington, 1996)
|
Referensi
Samuel
P. Huntington. 1996. The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, New York: Touchstone
Samuel
P. Huntington. 1992. Pertembungan
Peradaban, (terjemahan) Kuala Lumpur: ISIS Malaysia.
Fukuyama, Francis. 2003. The End of History and The
Last Man, Yogyakarta:
Penerbit Qalam.
Jennifer M. Webb (ed.) 2002. Powerful Ideas: Perspectives on
the Good Society, Victoria, The Cranlana Program, 2002), vol 2, hal.
231-240
http : //www. insist net. Com
http: //www.pustakabersama.net/buku.php
http:
//www.hidayatullah.com/.../ramalan-fukuyama
No comments:
Post a Comment