Tuesday, 5 November 2019

Jelaskan Apa Sebenarnya Yang Dimaksud Oleh Jacques Derrida Dengan Deskonstruksi? Apa Maksudnya Sama Dengan Menghancurkan Peradaban Lama Dengan Membangun Peradaban?

1.      Jelaskan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Jacques Derrida dengan deskonstruksi? Apa maksudnya sama dengan menghancurkan peradaban lama dengan membangun peradaban?
Jawab:
 Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis.  Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi.  Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu” (Powel, 2006).

Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas. Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam pemikiran Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti "untuk menunda" sinonim dengan kata mendekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida, yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi (Powel, 2006).

Dekonstruksi  adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks (McCance, 2009).

Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya.

Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli 1983 (dalam. http://kuliahsosiologi.blogspot.com) demikian isinya :
    “…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”
Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk menggambarkan sekaligus mengubah pikiran kita tentang dunia, termasuk di dalamnya tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik.

Derrida (Leitch. 1983) tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation) dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin membaca secara tepat sekaligus mengembangkan makna teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle (Hoed. 2007), Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak pemikir lintas displin ilmu.

Di dalam kamus filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida (2000), yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori bahasa.

Dekonstruksi  juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya,  Derrida (2000), berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks.  Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.

Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program tersebut. Namun demikian tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida (1976) katakan,

…tugas dekonstruksi adalah …membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendeskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat yang positif.


Apa maksudnya sama dengan menghancurkan peradaban lama dengan membangun peradaban?

Jawab:

Menurut pendapat saya, maksudnya tidak sama, bukan menghancurkan peradaban lama dengan membangun peradaban tetapi melanjutkan peradaban dengan cara yang lain sesuai dengan tugas dekonstruksi yang telah disebutkan di atas. Disini kita melanjutkan ‘jejak-jejak’ langkah ‘Tulisan’ sebelumnya yang telah sampai pada oposisi biner yang menindas. Mungkin karena ‘peradaban’ kita sekarang salah satunya disokong ‘oppositional thinking’ maka penindasan masih merajalela di mana-mana. Kita tak bisa berhenti disitu, mungkin Derrida benar bahwa kita harus melanjutkannya, membawa ke batas-batas ‘terjauh’nya, suatu batas ‘ekstrim’, untuk kemudian berusaha mencari ‘alternatif’ agar paling tidak penindasan itu bisa dilewatkan ‘begitu saja’. Saussure (1988) telah meletakkan pondasi yang berguna hingga kita bisa mengenali bagaimana oposisi biner itu bekerja. Dengan memperkenalkan ‘tanda’,’penanda’, dan ‘petanda’ kita dapat memahami berbagai ‘fenomena’ peradaban dari berbagai masa, tapi dengan kemudian berhenti disitu malahan menimbulkan jenis ‘penindasan’ lain. Hubungan penanda dan petanda memang arbitrer tapi ‘kokoh’, dalam artian penanda selalu menunjuk pada petanda (signified) yang ‘transenden, ideal’ , suatu ‘makna’ yang sudah ‘fixed’, yang langsung hadir bersamaan saat suatu tanda dinyatakan atau disebut ‘logos’. Logos itulah yang jadi ‘sumber’ makna /kebenaran/pengetahuan yang diperebutkan untuk mendapatkan legitimasi, yang ‘menguasai’nya bisa ‘sewenang-wenang’ terhadap yang tidak punya akses. Legitimasi yang justru malahan semakin mengokohkan oposisi biner (Hoed, 2007).

Melanjutkan ‘jejak-jejak’ bisa berarti salah satunya menghindarkan bahaya penindasan diatas dan itu yang dilakukan  Derrida (Hoed, 2007), dengan berpijak pada batu-batu pondasi Saussure ia melangkahkan kakinya. Prinsip-prinsip yang dikemukakan Saussure bahwa ‘makna’ suatu tanda dihasilkan karena adanya perbedaan, misalnya ‘pohon’ adalah rangkaian huruf ‘p’ yang berbeda dengan ‘o’,’h’ dan seterusnya sedangkan kata ‘pohon’ sendiri juga berbeda dengan ‘rumah’ dan sebagainya, kemudian juga dipakai oleh Derrida tapi status signified yang ‘fixed’ justru di’tabrak’ hingga status signified tak berhenti disitu dan tak ‘fixed’ lagi, statusnya menjadi ‘semacam’ signifier baru yang menunjuk pada signified lain, yang kemudian signified itu hanya ‘fixed’ sementara lalu jadi signifier baru yang menunjuk pada signified lainnya lagi begitu terus membentuk rantai pertandaan. Rantai itu membuat makna menjadi selalu tertunda, misalnya kata ‘pohon’ agar bermakna maka ia harus mengacu pada sesuatu yang ‘bukan pohon’ misalnya ‘rumah’ (yang saat kata ’pohon’ dinyatakan ‘tidak hadir/absen’). Kemudian ketika kata ‘rumah’ dinyatakan dia mengacu pada yang lain lagi misalnya ‘jalan’ yang saat bersamaan tidak hadir, begitu seterusnya hingga makna sesuatu selalu ‘bergeser’ , tak pernah ‘fixed’, menunjuk pada ‘kehadiran’ sesuatu yang lain yang justru saat itu ‘absen’. Dua karakter, berbeda/difference dan tertunda/deferring, itu kemudian oleh Derrida disebut ‘DiffĂ©rance‘ atau oleh Spivak disebut ‘Trace’ atau ‘Jejak’. Kita bisa saja menghapus ‘jejak’ itu tapi hal itu akan menciptakan ‘jejak’ baru, misalnya menghapus tulisan dengan stip/penghapus akan menimbulkan jejak kehitaman atau menghapus dengan tip-ex akan menjadi putih dll.

Lahirnya peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap logos setidaknya demikianlah yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme. Filsafat yang notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya mampu menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika). Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme. Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos, energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya (Derrida, 2000).

Kumpulan logos tersebut antara lain: Ide, Tuhan, Rasio, Empiri, Kehendak, Roh Absolut, Materi, Struktur, dan sebagainya. Jadi apa yang ditafsirkan Nietzsche dengan “Tuhan” sama arti dengan logosentrismenya Derrida. Filsafat Barat mengasumsikan ada kebenaran esensial yang melatarbelakangi bentuk luar kebenaran (penanda) yang langsung berkaitan dengan sesuatu yang transendental yang stabil dan kokoh (logos). Di mana semua bentuk luar kebenaran harus bertolak pada kebenaran esensial yang transendental.
Dalam debutnya berfilsafat, Derrida melakukan perlawanan terhadap strukturalisme (al-binyawiyyah/Arab-Islam). Strukturalisme adalah gerakan yang berusaha menjauh dari esensi manusia yang berada dalam naungan eksistensialisme (al-wujudiah/Arab-Islam). Kaum strukturalis beranggapan bahwa strukturalisme adalah penggerak awal yang melampaui akal manusia. Hal inilah yang kemudian dijadikan sebagai justifikasi bahwa struktur bahasa dan kekuasaan lebih dahulu membicarakan manusia. Dengan kalimat lain, bukan manusia yang berbicara tentang struktur bahasa dan kekuasaan. Derrida sendiri berkesimpulan bahwa strukturalisme dikemas dalam metafisika, yaitu eksistensi akal ibarat ungkapan-ungkapan suci yang melampaui alam intuisi dan perubahan.

Derrida (2000) memiliki sebuah proyek besar, yaitu upaya untuk meruntuhkan ontologi Barat secara menyeluruh yang dibangun dengan pola pemilahan (oposisi) biner, seperti manusia dan alam, mutlak dan nisbi, tetap dan berubah. Oposisi biner ini bersandar pada pertanda transendensi yang tsabit. Derrida berusaha meruntuhkan pertanda transendensi tsabit tersebut (logos, mutlak, dan tetap) dari sisi agama dan materi dengan menetapkan oposisi binernya. Dengan demikian, ia mampu menghancurkan batasan-batasan oposisi yang tersusun dalam pertanda transenden menuju suatu alam baru tanpa batas, asas, dan tanpa dasar ketuhanan, bahkan tanpa landasan sama sekali.

Proyek Derrida ini memiliki kata kunci yang menggiurkan: pluralisme dan relatifisme. Hal ini disebabkan oleh kondisi alam petanda dan pertanda yang dipahami terpisah secara mutlak. Karena itu, bagi kaum postmodernisme tidak ada bahasa (kalau pun ada hanya sekadar bahasa tubuh intuisi). Realitas teks saling tumpang tindih. Teks tidak bisa lagi dihadapkan pada realitas ataupun teks dengan makna teks. Pandangan nihilisme ala posmodernisme ini akan menjadi dekonstrukter, ketika dijadikan metode dalam membaca sebuah teks (dalam, http://bambangsukmawijaya.wordpress.com).

Oleh karena itu dengan proyek dekonstruksinya, Derrida berusaha menghancurkan batasan-batasan kata, kalimat, dan makna dengan menciptakan makna-makna baru. Ia memainkan bahasa provokatif dengan tetap menjaga keseimbangan bahasa tersebut. Bahkan, dalam sebuah ulasan, Derrida menjelaskan bahwa nama adalah fenomena peradaban manusia, sama dengan bahasa. Menurutnya, nama adalah tanda yang tidak terpisah dari yang ditandai, ada hubungan pertautan dan pemisahan antar keduanya.

Derrida (Powell. 2006) menentang filsafat Barat yang beranggapan bahwa tulisan adalah terkutuk, menghancurkan ingatan sejati, dan tidak murni karena dinodai oleh suatu mediasi. Berbeda dengan ucapan (lisan) yang dianggap mewakili langsung maksud dan emosi pembicara. Oleh karena itu, Derrida pun mencoba menyisipkan racun kedalam filsafat Barat, yaitu keraguan dengan sejuta pertanyaan tentang logika biner dalam cara berpikir filsafat Barat. Dalam oposisi Biner, apa yang disebutkan pertama kali adalah hal yang lebih unggul daripada yang berikutnya; seperti jiwa/tubuh, Barat/Timur, laki-laki/perempuan, ucapan/tulisan. Namun baginya dia berpendapat bahwa tulisan memiliki karakteristik yang tidak bisa diputuskan begitu saja dengan oposisi biner. Tak lama kemudian dia menghadirkan kritik tentang metafisika sebagai metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Namun yang menjadi analisis kritis adalah, Benarkah ucapan lebih tinggi kedudukannya daripada tulisan? Benarkah tulisan adalah penghancur ingatan sejati? Bukankah peradaban dan sejarah pun ditandai dengan munculnya tulisan? (dalam, http://yesalover.wordpress.com)

Namun di sisi lain (dalam, http://bambangsukmawijaya.wordpress.com) berbeda dengan pandangan yang menyatakan bahwa “ Untuk menaklukan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan dan sejarahnya lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku, membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya”. Hal ini serupa dengan sebuah film yaitu “Stargle”, di dalam film ini dikisahkan tentang sebuah gerbang yang dapat mengantarkan manusia ke peradaban lain di planet lain. Poin utama yang patut digaris bawahi dalam cerita ini adalah kisah tentang para tokoh utamanya yang sampai pada sebuah planet yang peradabannya menyerupai bumi dimasa lalu, dan mereka menyembah dewa-dewa yang dipercayai disana, salah satunya adalah Dewa Ra (Dewa Matahari Mesir Kuno). Ra memperbudak mereka dan melarang mereka untuk belajar menulis dan membaca agar mereka tidak ingat akan sejarah mereka yang sebenarnya. Demikian film “Stargle” tersebut sama dengan kisah yang dituturkan dalam novel “KAFKA” tentang sebuah kota tanpa ingatan.

Pada dasarnya tulisan menjadi suatu pengait antara masa lalu dengan masa kini, juga masa kini dengan masa depan. Namun sama halnya dalam novel Kafka “Sebuah Kota Tanpa Ingatan” itu, kota itu bahkan lupa pada namanya sendiri. Waktu dalam novel kafka adalah waktu pada saat sebuah peradaban kehilangan hubungan dengan keberadaban. Demikian manusia senantiasa lupa akan sejarah dan manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Tetapi kembali pada tugas dekonstruksi menurut Derrida adalah …membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendeskripsikannya kembali dengan cara lain mengingatkan saya terhadap salah satu istilah yang diungkapan Presiden Soekarno “Jas Merah”, yang artinya Jangan Melupakan Sejarah.

Referensi
Benny H. Hoed. 2007. Derrida VS Strukturalisme De Saussure' dalam Majalah BASIS No.11- 12, November-Desember 2007. 27.
Dawne McCance. 2009. Derrida on Religion: Thinker of Difference. London: Equinox Publshing. Hlm 22
de De de Saussure, F.. 1988. Course in General Linguistics . Yogyakarta: Gajah Mada University Press
http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/kritik-teori-dekonstruksi-derrida/
http://yesalover.wordpress.com/dekonstruksi-derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-konsep/
Jacques Derrida. 2000. Dissemination. London: The Athlone Press. Hlm xiv
Jason Powell. 2006. Jacques Derrida: A Biography. London: Continuum. 50, 11, 149, 158.
Vincent B. Leitch. 1983. Deconstructive Criticism: an Advance Introduction. New York: Columbia University Press. Hlm. 41

No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...