1.
Jelaskan
apa sebenarnya yang dimaksud oleh Jacques Derrida dengan deskonstruksi? Apa
maksudnya sama dengan menghancurkan peradaban lama dengan membangun peradaban?
Jawab:
Jacques
Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh
penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya
dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya,
dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu
subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan
menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu” (Powel, 2006).
Dekonstruksi adalah
suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan,
kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas. Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam
pemikiran Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung
terkait dengan kata destruksi
melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti "untuk menunda" sinonim dengan kata mendekonstruksi. Terdapat tiga poin penting
dalam dekonstruksi Derrida, yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi
terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan
kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup,
termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta
dan tanpa suatu subyek interpretasi (Powel, 2006).
Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui
metode itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur
ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap
kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru
yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan.
Dalam bahasa Derrida dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan
seluruh teks. Menurut Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang
menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak
terduga. Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di
dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, namun sama
nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks (McCance,
2009).
Dekonstruksi,
secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang
bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat
pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman
akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol;
bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu
ini jauh lebih sulit dari penjelasannya.
Derrida memang
mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa.
Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap
kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi
acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi tidak didefinisikan secara cocok.
Derrida sendiri pernah menulis mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor
Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli 1983 (dalam. http://kuliahsosiologi.blogspot.com) demikian isinya :
“…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode
apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun budaya,
khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap
dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau
menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak
dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya
serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat
diklaim bahwa setiap “peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus
tertentu, sedekat mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda
tangan. Juga harus diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun
operasi.”
Yang menarik
dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk menggambarkan sekaligus
mengubah pikiran kita tentang dunia, termasuk di dalamnya tentang kematian,
kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik.
Derrida (Leitch.
1983) tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis,
tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu
yakni deskripsi/penggambaran (description)
dan transformasi (transformation)
dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction).
Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin
membaca secara tepat sekaligus mengembangkan makna teks dengan mengubahnya?
Namun itulah yang kiranya dilakukan Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle
(Hoed. 2007), Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata tersebut. Konsep
itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni
sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan
banyak pemikir lintas displin ilmu.
Di dalam kamus
filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang
dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida (2000), yang bertujuan untuk
membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan,
serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori bahasa.
Dekonstruksi juga menyentuh literatur, politik, seni,
arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu,
dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan
membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam
tulisan-tulisannya, Derrida (2000), berulang
kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah
terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan
kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau
melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan
baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa
di dalam teks.
Dekonstruksi
tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia
menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah
terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program
tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan
mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap
menggerogoti program tersebut. Namun demikian tugas dekonstruksi tidak
semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain.
Seperti yang Derrida (1976) katakan,
…tugas
dekonstruksi adalah …membongkar (deconstruire)
struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk
menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk
mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendeskripsikannya dengan
memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental
yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat
yang positif.
Apa
maksudnya sama dengan menghancurkan peradaban lama dengan membangun peradaban?
Jawab:
Menurut pendapat
saya, maksudnya tidak sama, bukan menghancurkan peradaban lama dengan membangun
peradaban tetapi melanjutkan peradaban dengan cara yang lain sesuai dengan
tugas dekonstruksi yang telah disebutkan di atas. Disini kita melanjutkan
‘jejak-jejak’ langkah ‘Tulisan’ sebelumnya yang telah sampai pada oposisi biner
yang menindas. Mungkin karena ‘peradaban’ kita sekarang salah satunya disokong
‘oppositional thinking’ maka
penindasan masih merajalela di mana-mana. Kita tak bisa berhenti disitu,
mungkin Derrida benar bahwa kita harus melanjutkannya, membawa ke batas-batas
‘terjauh’nya, suatu batas ‘ekstrim’, untuk kemudian berusaha mencari
‘alternatif’ agar paling tidak penindasan itu bisa dilewatkan ‘begitu saja’.
Saussure (1988) telah meletakkan pondasi yang berguna hingga kita bisa
mengenali bagaimana oposisi biner itu bekerja. Dengan memperkenalkan ‘tanda’,’penanda’,
dan ‘petanda’ kita dapat memahami berbagai ‘fenomena’ peradaban dari berbagai
masa, tapi dengan kemudian berhenti disitu malahan menimbulkan jenis
‘penindasan’ lain. Hubungan penanda dan petanda memang arbitrer tapi ‘kokoh’,
dalam artian penanda selalu menunjuk pada petanda (signified) yang ‘transenden,
ideal’ , suatu ‘makna’ yang sudah ‘fixed’,
yang langsung hadir bersamaan saat suatu tanda dinyatakan atau disebut ‘logos’.
Logos itulah yang jadi ‘sumber’ makna /kebenaran/pengetahuan yang diperebutkan
untuk mendapatkan legitimasi, yang ‘menguasai’nya bisa ‘sewenang-wenang’
terhadap yang tidak punya akses. Legitimasi yang justru malahan semakin
mengokohkan oposisi biner (Hoed, 2007).
Melanjutkan
‘jejak-jejak’ bisa berarti salah satunya menghindarkan bahaya penindasan diatas
dan itu yang dilakukan Derrida (Hoed,
2007), dengan berpijak pada batu-batu pondasi Saussure ia melangkahkan kakinya.
Prinsip-prinsip yang dikemukakan Saussure bahwa ‘makna’ suatu tanda dihasilkan
karena adanya perbedaan, misalnya ‘pohon’ adalah rangkaian huruf ‘p’ yang
berbeda dengan ‘o’,’h’ dan seterusnya sedangkan kata ‘pohon’ sendiri juga
berbeda dengan ‘rumah’ dan sebagainya, kemudian juga dipakai oleh Derrida tapi
status signified yang ‘fixed’ justru
di’tabrak’ hingga status signified
tak berhenti disitu dan tak ‘fixed’
lagi, statusnya menjadi ‘semacam’ signifier baru yang menunjuk pada signified lain, yang kemudian signified
itu hanya ‘fixed’ sementara lalu jadi
signifier baru yang menunjuk pada signified
lainnya lagi begitu terus membentuk rantai pertandaan. Rantai itu membuat makna
menjadi selalu tertunda, misalnya kata ‘pohon’ agar bermakna maka ia harus
mengacu pada sesuatu yang ‘bukan pohon’ misalnya ‘rumah’ (yang saat kata
’pohon’ dinyatakan ‘tidak hadir/absen’). Kemudian ketika kata ‘rumah’
dinyatakan dia mengacu pada yang lain lagi misalnya ‘jalan’ yang saat bersamaan
tidak hadir, begitu seterusnya hingga makna sesuatu selalu ‘bergeser’ , tak
pernah ‘fixed’, menunjuk pada
‘kehadiran’ sesuatu yang lain yang justru saat itu ‘absen’. Dua karakter,
berbeda/difference dan tertunda/deferring, itu kemudian oleh Derrida
disebut ‘DiffĂ©rance‘ atau oleh Spivak disebut ‘Trace’ atau ‘Jejak’. Kita
bisa saja menghapus ‘jejak’ itu tapi hal itu akan menciptakan ‘jejak’ baru,
misalnya menghapus tulisan dengan stip/penghapus akan menimbulkan jejak
kehitaman atau menghapus dengan tip-ex akan menjadi putih dll.
Lahirnya
peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap logos setidaknya demikianlah
yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme. Filsafat yang
notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya mampu
menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika).
Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme.
Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos, energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi,
subjek), aletheia, transendentalitas,
kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya (Derrida, 2000).
Kumpulan logos
tersebut antara lain: Ide, Tuhan, Rasio, Empiri, Kehendak, Roh Absolut, Materi,
Struktur, dan sebagainya. Jadi apa yang ditafsirkan Nietzsche dengan “Tuhan”
sama arti dengan logosentrismenya Derrida. Filsafat Barat mengasumsikan ada
kebenaran esensial yang melatarbelakangi bentuk luar kebenaran (penanda) yang
langsung berkaitan dengan sesuatu yang transendental yang stabil dan kokoh
(logos). Di mana semua bentuk luar kebenaran harus bertolak pada kebenaran
esensial yang transendental.
Dalam debutnya berfilsafat, Derrida
melakukan perlawanan terhadap strukturalisme
(al-binyawiyyah/Arab-Islam). Strukturalisme
adalah gerakan yang berusaha menjauh dari esensi manusia yang berada dalam
naungan eksistensialisme (al-wujudiah/Arab-Islam). Kaum strukturalis
beranggapan bahwa strukturalisme adalah penggerak awal yang
melampaui akal manusia. Hal inilah yang kemudian dijadikan sebagai justifikasi
bahwa struktur bahasa dan kekuasaan lebih dahulu membicarakan manusia. Dengan
kalimat lain, bukan manusia yang berbicara tentang struktur bahasa dan
kekuasaan. Derrida sendiri berkesimpulan bahwa strukturalisme
dikemas dalam metafisika, yaitu eksistensi akal ibarat ungkapan-ungkapan suci
yang melampaui
alam intuisi dan perubahan.
Derrida (2000) memiliki sebuah proyek besar, yaitu upaya
untuk meruntuhkan ontologi Barat
secara menyeluruh yang dibangun dengan pola pemilahan (oposisi) biner, seperti
manusia dan alam, mutlak dan nisbi, tetap dan berubah. Oposisi biner ini bersandar pada pertanda transendensi yang
tsabit. Derrida berusaha meruntuhkan pertanda transendensi tsabit tersebut
(logos, mutlak, dan tetap) dari sisi agama dan materi dengan menetapkan oposisi binernya. Dengan demikian, ia
mampu menghancurkan batasan-batasan oposisi yang tersusun dalam pertanda
transenden menuju suatu alam baru tanpa batas, asas, dan tanpa dasar ketuhanan,
bahkan tanpa landasan sama sekali.
Proyek Derrida ini memiliki kata kunci yang
menggiurkan: pluralisme
dan relatifisme. Hal ini
disebabkan oleh kondisi alam petanda dan pertanda yang dipahami terpisah secara
mutlak. Karena itu, bagi kaum
postmodernisme tidak ada bahasa (kalau pun ada hanya sekadar bahasa
tubuh intuisi). Realitas teks saling tumpang tindih. Teks tidak bisa lagi
dihadapkan pada realitas ataupun teks dengan makna teks. Pandangan nihilisme ala posmodernisme ini akan menjadi dekonstrukter, ketika dijadikan
metode dalam membaca sebuah teks (dalam, http://bambangsukmawijaya.wordpress.com).
Oleh karena itu
dengan proyek dekonstruksinya,
Derrida berusaha menghancurkan batasan-batasan kata, kalimat, dan makna dengan
menciptakan makna-makna baru. Ia memainkan bahasa provokatif dengan tetap
menjaga keseimbangan bahasa tersebut. Bahkan, dalam sebuah ulasan, Derrida
menjelaskan bahwa nama adalah fenomena peradaban manusia, sama dengan bahasa.
Menurutnya, nama adalah tanda yang tidak terpisah dari yang ditandai, ada
hubungan pertautan dan pemisahan antar keduanya.
Derrida (Powell.
2006) menentang filsafat Barat yang beranggapan bahwa tulisan adalah terkutuk,
menghancurkan ingatan sejati, dan tidak murni karena dinodai oleh suatu
mediasi. Berbeda dengan ucapan (lisan) yang dianggap mewakili langsung maksud
dan emosi pembicara. Oleh karena itu, Derrida pun mencoba menyisipkan racun
kedalam filsafat Barat, yaitu keraguan dengan sejuta pertanyaan tentang logika
biner dalam cara berpikir filsafat Barat. Dalam oposisi Biner, apa yang
disebutkan pertama kali adalah hal yang lebih unggul daripada yang berikutnya;
seperti jiwa/tubuh, Barat/Timur, laki-laki/perempuan, ucapan/tulisan. Namun
baginya dia berpendapat bahwa tulisan memiliki karakteristik yang tidak bisa
diputuskan begitu saja dengan oposisi biner. Tak lama kemudian dia menghadirkan
kritik tentang metafisika sebagai metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Namun yang menjadi analisis kritis
adalah, Benarkah ucapan lebih tinggi kedudukannya daripada tulisan? Benarkah
tulisan adalah penghancur ingatan sejati? Bukankah peradaban dan sejarah pun
ditandai dengan munculnya tulisan? (dalam, http://yesalover.wordpress.com)
Namun di sisi
lain (dalam, http://bambangsukmawijaya.wordpress.com)
berbeda dengan pandangan yang menyatakan bahwa “ Untuk menaklukan sebuah
masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku,
kebudayaan dan sejarahnya lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku,
membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat
itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya”. Hal ini serupa dengan
sebuah film yaitu “Stargle”, di dalam
film ini dikisahkan tentang sebuah gerbang yang dapat mengantarkan manusia ke
peradaban lain di planet lain. Poin utama yang patut digaris bawahi dalam
cerita ini adalah kisah tentang para tokoh utamanya yang sampai pada sebuah
planet yang peradabannya menyerupai bumi dimasa lalu, dan mereka menyembah
dewa-dewa yang dipercayai disana, salah satunya adalah Dewa Ra (Dewa Matahari
Mesir Kuno). Ra memperbudak mereka dan melarang mereka untuk belajar menulis
dan membaca agar mereka tidak ingat akan sejarah mereka yang sebenarnya.
Demikian film “Stargle” tersebut sama dengan kisah yang dituturkan dalam novel
“KAFKA” tentang sebuah kota tanpa ingatan.
Pada dasarnya
tulisan menjadi suatu pengait antara masa lalu dengan masa kini, juga masa kini
dengan masa depan. Namun sama halnya dalam novel Kafka “Sebuah Kota Tanpa
Ingatan” itu, kota itu bahkan lupa pada namanya sendiri. Waktu dalam novel
kafka adalah waktu pada saat sebuah peradaban kehilangan hubungan dengan
keberadaban. Demikian manusia senantiasa lupa akan sejarah dan manusia tidak
pernah belajar dari sejarah. Tetapi kembali pada tugas dekonstruksi menurut Derrida
adalah …membongkar (deconstruire)
struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk
menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendeskripsikannya
kembali dengan cara lain mengingatkan saya terhadap salah satu istilah yang
diungkapan Presiden Soekarno “Jas
Merah”, yang artinya Jangan Melupakan Sejarah.
Referensi
Benny H. Hoed. 2007. Derrida
VS Strukturalisme De Saussure' dalam Majalah BASIS No.11- 12,
November-Desember 2007. 27.
Dawne McCance. 2009. Derrida
on Religion: Thinker of Difference. London: Equinox Publshing. Hlm 22
de De de Saussure, F.. 1988. Course in General
Linguistics . Yogyakarta: Gajah Mada University Press
http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/kritik-teori-dekonstruksi-derrida/
http://yesalover.wordpress.com/dekonstruksi-derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-konsep/
Jacques Derrida. 2000. Dissemination. London: The Athlone Press. Hlm xiv
Jason Powell. 2006. Jacques
Derrida: A Biography. London: Continuum. 50, 11, 149, 158.
Vincent B. Leitch. 1983. Deconstructive Criticism: an Advance Introduction. New York:
Columbia University Press. Hlm. 41
No comments:
Post a Comment