Tuesday, 5 November 2019

Jelaskan Apa Yang Membedakan Sebuah Penelitian Kualitatif “Modernisme” Dan “Postmodernisme”?


  1. Jelaskan apa yang membedakan sebuah penelitian kualitatif “modernisme” dan “postmodernisme”?
Jawab:
Sebelum menguraikan tentang perbedaan penelitian kualitatif tersebut, saya akan menguraikan terlebih dahulu apa itu modernisme” dan “postmodernisme
a                Penelitian Kualitatif Modernisme
Modernisme bersumber dari revolusi ekonomi, politik dan filosofis renaisance serta aufklarung abad ke 16 lahir dari akar ideologis: bebas dari agama (gereja) dan; fisika ditempatkan sebagai paradigma humaniora (kemanusian). (Mulkhan, 1999:315). Sementara itu Ahmed (1996:22) menyatakan bahwa modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan pada keinginan untuk simetri dan tertib, serta akan keseimbangan dan otoritas yang juga telah menjadi karakternya. Karakter khas dalam modernisme adalah bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan (episme, wissenschaff) tentang “apa”nya realitas, dengan cara kembali ke subyek yang mengetahui itu sendiri  atau dipahami secara psikologis maupun transendental (Sugiharto, 1996:33).
Dalam bidang filsafat, modernisme diartikan sebagai suatu gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Descrates, kemudian dikokohkan oleh gerakan pencerahan (Aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abad keduapuluh ini melalui dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto, 1996:29). Dalam hubungan ini adalah sangat beralasan jika Garna (1996:183) menyatakan bahwa modernisasi itu adalah penolakan terhadap sejarah.
Modernisme pada awalnya dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai konsekwensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Menurut Soewardi, (1999:346-347) kerusakan lingkungan pada alam dan manusia disebutnya sebagai akibat dari kesalahan ilmu Barat (sains modern), kerusakan pada alam berupa “planetory ecological crisis”, penguasaan sumber daya alam oleh segolongan tertentu, ketimpangan yang semakin menganga, belum lenyapnya kemiskinan. Pada manusia konsekwensi negatif itu dapat berupa sifat resah, berlombanya keganasan, ketidaksudian berpikir (dull mindeniss), kecelakaan mobil dan pesawat udara dan lain-lain.
Sementara menurut Sugiharto (1996:29-30), konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam diantaranya: pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spritual-material, manusia dunia, telah mengakatkan obyektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan semena-mena. Hal ini menyebabkan krisis ekologi; kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivitas dan positivitas akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah obyek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagaikan mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusia; ketiga, dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini nilai moral dan relegius kehilangan wibawanya; keempat, dalam materialisme, bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Meterialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Ada beberapa ciri modernisme yang menyolok, yaitu
1)      Pendewaan Terhadap Rasio. Di awal munculnya modernisme (abad ke-18), rasio (akal) dipandang sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan hidup. Di awal munculnya modernisme itu bahwa agama meskipun penting tetapi agama dipandang tidak lagi terdapat dalam dogma melalui wahyu. Agama sudah harus ditegakkan di atas prinsip rasio. Pengganti agama wahyu (openarungreligie) adalah agama alam (natuurreligie) yang ditegakkan di atas prinsip rasio. Bukan lagi rahmat dari Tuhan yang penting tetapi kemampuan akal sebagai “pembebas” jiwa yang penting. Bukan dosa asal (erfzonde, menurut keyakinan Kristen) yang memenjarakan manusia tetapi kebodohanlah sebagai pangkal kesengsaraan. Brinton (1953) menyatakan kehidupan yang ditegakkan atas prinsip serba rasional itu memunculkan harapan baru ketika itu, bahwa modernisme kelak akan menjadi “surga” bagi manusia. Rasio pertama kali memberantas pandangan-pandangan mitologis dan paham-paham irrasional sampai pada mengecilkan peranan agama dan aplikasi nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia. Di Barat misalnya, muncul paham agnotisme (yakni, dikatakan beragama, tidak; tidak dikatakan tidak beragama pun tidak), bahkan sampai pada paham ateisme. Kepercayaan yang tinggi akan kemampuan rasio kemudian ditunjang oleh pengamatan empiris (dengan metode observasi dan eksperimen) lebih memperkokoh kedaulatan rasio-empiri dalam memahami realitas. Kedua instrumen pengetahuan tersebut menghidupsuburkan sains dan teknologi.
2)      Kebenaran Tunggal. Sikap mendewakan rasio dan menempatkan sebagai sumber pengetahuan tertinggi, sehingga rasio dipandang mampu menciptakan kebenaran universal. Di era modernisme kebenaran produk rasio dan empiri sebagai kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal lalu diklaim oleh Barat sebagai pemilik kebenaran tunggal itu. Di luar ilmu Barat tidak ada yang absah dan di luar peradaban Barat tergolong peradaban inferior (rendah). Akibatnya ilmu dan peradaban Barat diupayakan untuk diberlakukan secara universal, akibatnya terjadi imperialisme epistemologis, imperialisme politik, ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam dan kriteria hak asasi manusia menurut pandangan Barat.
3)      Ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai prestasi gemilang modernisme berhasil membawa kemajuan bangsa-bangsa di dunia. Ilmu pengetahuan berupaya memperkokoh dirinya dengan kemampuan internalnya memisahkan diri dari doktrin-doktrin agama. Dengan metode induktif mengamati alam yang bersifat mekanis dan matematis, pencarian hukum sebab akibat yang mengatur alam semesta melahirkan paham naturalisme. Naturalisme melihat alam ini sebagai sebuah mesin raksasa dengan mekanisme kerja secara kausalitas, menyebabkan sebagian ilmuan tidak lagi melihat alam ini sebagai ciptaan Tuhan melainkan adalah produk alam itu sendiri. McKinney (1986), memandang keindahan alam bukan lagi merasakan kebesaran Tuhan melainkan kekaguman pada alam itu sendiri. Alam menyimpan berbagai rahasia yang berguna bagi manusia, maka alam pun dieksploitasi yang pada akhirnya merusak ekosistem yang membawa malapetaka bagi manusia sendiri.
4)      Antroposentrisme. Kemampuan manusia yang demikian tinggi di era modern dibanding era sebelumnya, maka manusia lalu “membesarkan” diri menjadikan dirinya sebagai sentrum alam semesta dan ukuran bagi segala sesuatu. Manusia tidak lagi menghiraukan nilai-nilai dari “luar” dirinya, yakni nilai transenden dari Tuhan, karena memandang dirinya menjadi ukuran (norma) bagi segalanya.
Ketiga karakteristik tersebut di atas tentu saja terjadi dalam masyarakat Barat. Namun dalam perkembangan globalisasi di segala bidang, dikhawatirkan pandangan semacam itu merasuk ke dalam masyarakat Indonesia.
Ketika modernisme muncul di abad ke-16, manusia menggantungkan harapan bahwa modernisme ini kelak akan menjadi "surga" bagi manusia. Betapa tidak, karena di era modern di mana rasio dan empiri memegang kedaulatan dalam dinamika hidup manusia telah berhasil menumpas mitologi-mitologi. Tidak hanya itu, modernisme telah meruntuhkan otoritas gereja dan segala kedaulatan yang bersumber dari luar diri manusia. Modernisme memunculkan apa yang disebut humanisme yang mengakui manusia dengan segala kemampuannya merupakan sumber kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga menyisihkan peranan dan kedaulatan Tuhan. Agama, kemudian disub-ordinasikan karena dipandang melemah-kan kreativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam semesta
b               Penelitian Kualitatif Postmodernisme
Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972. Ketika pertama kali didirkan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis dianggap sebagai lambang arsitektur modern yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenonovasi bangunan tersebut. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Bangunan berpengaruh itu akhirnya diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks (1984), yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.
Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernisme. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan lokal) serta membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme adalah anti-modern.
Kata “postmodern” mencakup lebih dari sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, dan drama. Postmodern telah merasuk kedalam seluruh masyarakat. Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Dalam situs (http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc), dijelaskan pula bahwa postmodernisme adalah sebuah term atau istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak bisa dikatakan mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal (seperti dalam seni, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal tersebut postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang berbeda. Walaupun demikian, dengan mengumpulkan berbagai definisi tersebut kita dapat menemukan inti dari pengertian postmodsernisme.
Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan antimodernisme seperti Pop Art, Concept Art, dan Postminimalisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist. Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme. Postmodernisme sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana :
1)      wacana kritis terhadap estetika modern
2)      wacana kritis terhadap arsitektur modern
3)      wacana kritis terhadap filsafat modern
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan liberty. Menurut Surya (1998), semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat serangan dan kritik sejak Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum benar-benar diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran baru dalam filsafat. Menurut Grenz (2001), dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan awal untuk menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Dalam dunia postmodern, manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu baik. Untuk menghindari mitos Pencerahan, postmodernisme menggantikan optimisme dengan pesimisme. Harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di masa depan pun dianggap kebohongan. Tidak heran jika banyak dikatakan bahwa era postmodern dimulai setelah proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi lambang arsitektur modern diledakkan dengan sengaja oleh para penghuninya. Bangunan yang berusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para penghuni ‘rumah-susun’ itu dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan penghuninya secara utuh. Charles Jencks –seorang arsitektur postmodernis— mengatakan bahwa peristiwa peledakan Pruitt-Igoe ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme.(Jenks, 1984)
Post-Modernisme adalah suatu pandangan yang berupa penolakan terhadap asumsi-asumsi rasionalitas yang telah tertanam kuat, epsitimologi Barat tradisional, atau representasi realitas yang dianggap paling “aman”. Post-modernisme mengarahkan pada mitos tentang subjek yang otonom transendental, dan konsep tentang praksis yang dimarjinalkan demi mendukung ketidakpastian retoris dan analisis tekstual terhadap berbagai praktek sosial. Post-modernisme ini menjadikan gagasan yang menyatakan bahwa makna dibawa oleh kejenakaan yang terus menerus dari sang penanda (signifer) sebagai titik tolaknya. (Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln: 2009, 178).
Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, yaitu dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern tersebut yaitu: Postmodernitas yang berkaitan dengan era post-modern, Post-modernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era post-modern, dan pemikiran post-modern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya post-modern.
Case Kebudayaan Post-Modernisme Adalah sebuah terma yang dipakai untuk menjabarkan masyarakat pada era informasi sekarang ini dimana secara sosial dipenuhi oleh bentuk-bentuk representasi/sajian yang terus meningkat, seperti perfilman, fotografi, elektronik, automotif dan sebagainya. Semua ini telah menimbulkan dampak hebat dalam men­ciptakan narasi kebudayaan yang membentuk identitas kita. Drama kehidupan sedemikian sering ditayangkan di televisi sehingga individu-individu dimana sebagian besar semakin mampu memprediksi berbagai hasil dan memandang hasil-hasil yang demikian yakini sebagai arah kehidupan sosial yang "alami” dan "normal." (Gergen, 1991).
Seperti ungkapan kebanyakan analis post-modernisme, kita telah menjadi pengekor, sebagai konglomerasi imitatif satu sama lain. Dalam kondisi yang demikian itu kita mendekati kehidupan dengan sedikit perasaan, dengan perasaan bosan post-modern dan kecemasan yang tak bisa dimaafkan. Ikatan-ikatan emosional kita terurai seiring dengan serangan televisi, komputer, handphone, Internet, VCD, dan DVD sehingga kita terharuskan mengikuti dan memeiliki barang-barang tersebut. terhadap kita dengan berbagai sajian yang telah membentuk fasilitas kognitif dan afektif kita melalui cara-cara yang masih belum dipahami dengan memadai. Di bidang politik, kaum tradisionalis menyekat dan membentengi melalui budaya mereka dan menyingkirkan kaum khayalan seperti humanis sekuler, liberal ekstrem," dan kaum utopianis, yang tidak menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan oleh hiperrealitas post-modern terhadap lembaga-lembaga mereka yang disakralkan. Keluarga inti, misalnya, telah menurun nilainya bukan karena serbuan "kaum feminis radikal" namun karena rumah telah didefenisikan kembali melalui kehadiran berbagai komunikasi elektronik yang dipandang wajar.
Transmisi elektronik menghasilkan formasi­-formasi baru, dimana ruang kebudayaan dan menyusun kembali pengalaman akan waktu. Kita sering kali terdorong untuk memperdagangkan keanggotaan komunitas demi kepemilikan semu (pseudobelonging) dunia media (mediascape).
Dengan memfokuskan pada era kemajuan informasi ini, dengan kemajuan yang telah diadopsi dan diyakini sebagai arah kehidupan sosial yang alami dan normal. Pada akhirnya akan berdampak pada bentuk kesadaran individualisme, kritik dan kebebasan terhadap kapitalisme melalui media dan sistem politik yang liberal dimana adanya bentuk-bentuk kesadaran terhadap bentuk penipuan yang dilakukan oleh kemajuan tekhnologi yang hanya mementingkan kelompok kepentingannya dan juga berpretensi untuk menjadikannya sebagai bentuk-bentuk penindasan gaya baru.
Posmodernisme : Pembebasan Kedua? Agak sulit kita identifikasi dari mana dan dari pemikiran siapa yang mendasari kemunculan postmodernisme. Dan juga apakah postmodernisme merupakan perpanjangan dari modernisme atau sebagai reaksi terhadap modernisme? Kami berasumsi bahwa postmodernisme tidak hanya muncul dari satu aliran atau seorang tokoh tertentu. Postmodernisme dikatakan sebagai perpanjangan dari modernisme karena bibitnya telah ada dalam pase modernisme dan elemennya telah ada pada pemikiran tokoh yang mengklaim diri sebagai tokoh modernisme. Tetapi dapat pul dikatakan bahwa postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme yang diambil dari segi-segi tertentu beberapa pemikiran modernisme yang diintegrasikan ke dalam satu pola pemikiran yang memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan modernisme. Meskipun memang diakui ada pemikiran yang khas bercorak postmodernisme yang tidak terdapat elemennya di era modernisme.
Karl R. Popper seorang tokoh modernisme yang mengakui realitas metafisis sebagai kebenaran obyektif, tunggal dan universal. Tetapi di sisi lain menolak epistemologi positivistik, (Kraft, 1974) sebagai anak kandung modernisme. Husserl seorang tokoh fenomenologi mengklaim diri sebagai modernis dengan metode apochenya (keadaan tidak memihak, netral dalam epistemologinya) tetapi dalam fenomenologi transendentalnya ia meletakkan kerangka ilmu-ilmu subyektif sebagai lawan ilmu obyektif dalam modernisme. Ilmu subyektif Husserl memberikan pamaknaan atas dunia sesuai dengan weltanschauung yang dianut, menghargai "dunia nilai" sebagai elemen integral dalam ilmu. Sikap yang sama dianut oleh Jurgen Habermans yang berusaha mengintegrasikan nilai ke dalam kerangka ilmiah.


Berikut ini dikemukakan beberapa ciri postmodernisme  menurut Natanson (1964) sebagai berikut:
1)      Kebenaran pluralistik
Kalau diera modernisme yang dimotori oleh epistemologi positivistik dan strukturalisme memandang kebenaran itu tunggal. Dunia dipersatukan dalam pengambilan keputusan secara generalis yang membentuk generative idea menurut positivisme. Kemudian strukturalisme tampil menyatakan bahwa hukum yang menguasai struktur sebgai keseluruhan atau hukum kesatuan yang konstan san stabil.
Postmodernisme tampil menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang konstan dan stabil, karena stabilitas hanya bermakna statis dan mandeg. Kebenaran terpecah menjadi majemuk karena selalu berada dalam ruang, waktu dan konteks yang berpengaruh terhadap kebenaran itu. Pemikiran yang relevan dalam hal ini adalah fenomenologi transendental dari Husserl yang menyatakan bahwa: To exist does not mean the same thing in every region".(Levinas, 1973), untuk berada tidak berarti sesuatu itu sama dalam setiap wilayah. "Each region is the object of regional ontology” (Setiap wilayah merupakan obyek ontology regional).
Dengan demikian, kebenaran selalu berada dalam wilayah tertentu. Atau, menurut Lyotard, pengetahuan manusia terlokasikan sehingga tidak tunggal dan tidak universal lagi. Murphy (1986) bahwa, terpecahnya kebenaran dalam kemajemukan bukan saja disebabkan oleh wilayah atau kawasan tetapi juga oleh pecahnya akal dan subyek manusia. Muldoon menjelaskan bahwa: "The postmodern moment has been characterized as a kind of explosion of the modern episteme in which reason and its subject -- as the source of "unity" and of "whole" are blown to pieces". Muldoon  (Gerakan postmodern dicirikan oleh semacam ledakan epistemologi modern dimana akal dan subyeknya sebagai sumber "kesatuan" dan "keseluruhan" terpecah dalam potongan-potongan). Subyek-cogito dalam rasionalisme Descartes yang dipandang sebagai realitas otonom, konstan dan mutlak; dalam pandangan postmodernisme tidak lagi dipandang otonom dan mutlak. Subyek-cogito sudah harus "mencair" dengan realitas dunia di luar dirinya, sehingga ia tiada tanpa dunia dan dunia tiada tanpa ia.
Di era postmodernisme tidak ada lagi konstruksi tetapi dekonstruksi, tidak ada sentral tetapi desentral, terjadi penyebaran-penyebaran. Atau, menurut Lyotard tidak ada homologi (sistem tunggal) tetapi paralogi (sistem plural). "Cerita besar" sebagai grand-narasi yang menjadi meta-narasi mulai pudar digantikan oleh narasi-narasi lokal. Dengan demikian, kebenaran menjadi konsektual, lokal dan historik.



2)       Peniadaan yang mutlak
Sebagai kelanjutan dari kebenaran pluralistik adalah peniadaan kebenaran mutlak, karena kebenaran selalu dalam konteks dan konteks selalu berubah. Maka postmodernisme meniadakan kebenaran mutlak. Filsafat GWF Hegel (1770-1831) yang mengakui ada Roh Mutlak yang menjadi sasaran tertinggi dialektika pemikiran manusia ditolak oleh postmodernisme. Bagi postmodernisme tidak ada lagi "payung" mutlak yang menaungi segala realitas. Karena, sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang konstan, tidak berubah dengan perubahan konteks, atau dapat dikatakan bahwa sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang "asli", tidak tercemar oleh konteks. Murphy menjelaskan, bahwa: "... postmodern science cannot generate pristine facts, but only ones that are context-bound". Murphy (1986)... ilmu pengetahuan postmodernisme tidak dapat menghasilkan fakta-fakta asli melainkan fakta yang terikat-konteks). Dengan demikian kemutlakan menjadi tiada.
3)       Ilmu Tidak Netral
Postmodernisme cenderung pada pandangan bahwa ilmu pengetahuan tidak netral melainkan selalu memihak pada nilai, sarat nilai (value-bound). Pendapat yang relevan dengan hal tersebut adalah pendapat Frankfurt Jurgen Habermasn seorang tokoh kontemporer mazhab Frankfurt Jerman yang dikenal sebagai aliran kritik sosial. Menurut Hubermans, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai karena setiap produk ilmu terlebih dahulu ditetapkan secara normatif. Karena itu, ilmu pengetahuan selalu dibungkus oleh kepentingan-kepentingan yang dengan sendirinya tidak netral. Tidak ada fakta yang ditangkap yang benar-benar murni, tetapi selalu dibungkus oleh kepentingan-kepentingan oleh pengamat fakta itu. (Suseno,1992)
4)      Pencarian Makna-makna: Implikasi Spritualisme
Salah satu lagi ciri postmodernisme adalah tidak menjadikan rasio sebagai hakim segalanya. Rasio hanya salah satu tangga kebenaran sesudah empiri. Kebenaran tertinggi ditangkap secara intuitif. Demikian pendapat seorang tokoh postmodernis, Henri Bergson. Intuisi menangkap makna-makna dunia yang tidak ditangkap oleh rasio kuantitatif dan eksak. Intuisi menangkap kaulitas-kualitas hidup. Intuisi memberontak terhadap struktur yang memenjara dan mematikan kehidupan. Dalam strukturalisme, manusia berpikir, bersikap dan berkelakuan sesuai apa yang didiktekan oleh struktur terhadapnya. Manusia akhirnya hidup dalam kejenuhan. rutinitas yang disajikan oleh struktur menyebabkan manusia menjadi robot hampa, tidak bermakna. Tesis tersebut di atas mengimplikasikan lahirnya kecenderungan spritualisme. Spritualisme di Barat telah muncul selama berabad-abad, antara lain dari pemikiran Pascal dan Montaigne di abad ke-16/17. Di awal abad ke-20 dikembangkan kembali oleh sejumlah pemikir seperti: Octave Hamelin, Lavelle dan Le Senne dan berbagai tokoh lainnya. Spritualisme mereka ini mengakui realitas benda material tetapi dalam taraf rendah. Roh merupakan tujuan tertinggi. Spritualisme dengan konsep ontologik semacam itu tertekan oleh kemajuan modernisme. Akan tetapi kini muncul lagi kecenderungan spritualisme itu. Dalam tampilannya dalam masyarakat Barat, muncul spritualisme tanpa ikatan agama (spriritualism without organized religion) yang hanya diakarkan pada pandangan filosofis. Jefferson dan Naisbitt Aburdene melihat peranan agama formal akan menurun dan digantikan oleh spritualisme. Dengan demikian akan muncul manusia "tak beragama" tetapi "berkerohanian". Sayyed Hossein Nasr sebaliknya melihat bahwa spritualitas tanpa agama adalah utopis. Ia melihat bahwa sprotualitas yang didominasi oleh agama di masa lalu akan tampil di masa akan datang. Jadi, agama masa akan datang adalah agama masa lalu dan masa kini. Nasr (1993), kecenderungan seperti di atas perlu diantisipasi oleh generasi muslim masa kini. Hal yang perlu adalah menampilkan Islam tidak dalam bentuk apologik atau hanya dalam bentuk formal yang normatif semata, tetapi bagaimana menampilkan Islam sehingga manusia merasakannya sebagai "air sejuk" untuk penyegar di tengah-tengah kekeringan spritual.
Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
Ditambahkan oleh situs http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc bahwa salah satu dari elemen utama dari postmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility of the Real. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Pada situs lain, yaitu situs http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektifpsikologisosial.doc disebutkan bahwa teori postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991, http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektifpsikologisosial.doc).


c                Penelitian kualitatif “Modernisme” dan “Postmodernisme
Dalam situs http://www.fni.com/cim/briefing/decon.doc disebutkan perbedaan mendasar mengenai modernisme dan postmodernisme. Situs tersebut menyebutkan bahwa modernisme adalah kata lain dari penerangan humanis. Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode ini dimulai dari runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.
Bagi Lyotard postmodern berarti ketidakpercayaan terhadap narasi-narasi besar (metanarratives). Postmodernisme merupakan suatu reaksi perlawanan terhadap paham modernisme universal, yang pada umumny bersipat positivistik, teknosentrik, rasionalistik (David Harvey, 1996). Modernisme memiliki keyakinan akan kemajuan yang linear, kebenaran-kebenaran absolut, perencanaan rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi.
Kaum postmodern mengidentifikasi tiga metanarasi dari pencerahan sebagai target subjek atau agen manusia yang rasional, konsep kemajuan, atau sains dalam arti luas yaitu mencakup seluruh konstelasi dari pondasi-pondasi filosofis dan metafisis (Joice Appleby, 1996).
Modernisme terkenal dengan proyek pencerahan yang dilakukan untuk membebaskan manusia dari pengetahuan manusia yang bersipat mistis dan sakral. Modernisme melakukan demistifikasi dan desakralisasi pengetahuan serta organisasi dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan diarahkan untuk menemukan suatu kebenaran yang berlaku universal dan bersipat final. Terhadap suatu hal, termasuk perilaku manusia dan masyarakat, modernisme meyakini adanya suatu penjelasan tunggal atau satu-satunya. Oleh karena itu, pengenalan yang akurat atas faktor yang menjelaskan perilaku tertentu adalah jalan bagi pengendalian yang penuh.
Dalam modernisme, kebenaran berkenaan dengan signifikansi fakta. Oleh karena itu, modernisme bersipat positivistik dan menekankan objektivitas atau imparsialitas dalam ilmu pengetahuan sebagai jalur penemuan kebenaran. Sekali lagi, modernisme meyakini adanya satu kebenaran yang tunggal dalam menjelaskan fenomena tertentu.
Modernisme merupakan gerakan pemikiran dan gambaran dunia yang dikokohkan oleh gerakan pencerahan dan mengabadikang dirinya hingg abad kedua puluh melalui dominasi sains dan kapitalisme. Gambaran dunia ini, dan tataran sosial yang diakibatkannya, ternyata melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam, paling jelas dalam enam bentuk (Bambang Sugiharto, 1996), yaitu
a.       Pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan telah mengakibatkan pengobjekan, pengurasan dan perusakan alam.
b.      Pandangannya yang bersipat objektivitas dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat sebagai objek dan dapat direkayasa layaknya mesin.
c.       Pengacuan pada ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan wibawa, dengan konsekuensi, disorientasi nilai-nilai moral religius.
d.      Ditetapkannnya materialisme sebagai kenyataan terdasar (ontologi) mendukung pola hidup yang berorientasi pada kompetensi (dalam pasar bebas) untuk memperebutkan penguasaan hal-hal material, dengan konsekuensinya adalah perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan–perusahaan modern.
e.       Kecenderungan pada militerisme, kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan, untuk mengatur manusia akibat dilemahkannya norma-norma moral dn religius.
f.       Bangkitnya kembali tribalisme. Mentalitas mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Suatu konsekuensi logis dari hukum “survival of the fittest” dan penggunaan kekuasaan koersif.

Postmodernisme, sebaliknya menekankan heterogenitas dan perbedaan sebagai kekuatan-kekuatan liberatif dalam mendefinisikan ulang wacana kultural. Pemikiran postmodernisme ditandai oleh pragmentasi, interdeminasi, dan ketidakpercayaan yang mendalam atas semua wacana universal (universal or totalizing discourse). Secara singkat postmodernisme menolak narasi-narasi besar (metanarratives), yaitu interpretasi teori-teori besar yang mengklaim penerapan yang universal (David Harvey, 1996).
Eagleton mendeskripsikan  postmodernisme sebagai berikut
Postmodernism signals the death of such “metanarratives” whose secretly terroristic function was to ground and legitimate the illusion of a “universal” human history. We are now in the process of wakening from the nightmare of modernity, with its manipulative reason and fetish of the totality, into the laid-back pluralsm of the postmodern, that heterogeneous range of the lifestyles and languange games which has renounced the nostalgic urge to totalize and legitimate itself ... science and philosophy must jettison their grandiose metaphysical claims and view themselves more modestly as just another set of narratives”

Kecenderungan postmodernisme ini diafirmasi dari koleksi Ihab Hasan. Sejalan dengan pola pendekatan postmodernisme yang digambarkan oleh Hasan,  penelitian ini menganut asumsi-asumsi dan gagasan-gagasan utama dari paradigma postmodern. Ihab-Hassan--seorang penulis kelahiran Mesir, dalam 'Postmodern American Fiction: A Norton Anthology' (1998) merangkum perbedaan-perbedaan antara posmodernisme dan modernisme yang antara lain adalah sebagai berikut:

MODERNISM X POSTMODERNISM
bentuk (konjungtif--terbuka) X anti-bentuk (disjungtif--tertutup)
tujuan X bermain
rancangan X kesempatan
hierarki X anarki
objek-seni X proses-seni
keberjarakan X partisipasi
sintesis X antitesis
keberadaan X ketidakberadaan
pemusatan X penyebaran
metafora X metonimia
seleksi X kombinasi
akar/kedalaman X kulit/permukaan
interpretasi X melawan-interpretasi
naratif X anti-naratif
paranoia X skizofrenia

Perbedaan – perbedaan antara Modernisme dan Postmodernisme Menurut Ihab Hasan (David Harvey, 1996:9)
Modernism
Postmodernism
Modernism
Postmodernism
Romanticism/symbolism
Paraphysics
Selection
Combination
Form (conjunctive, closed)
Antiform (disjunctive, open)
Root/dept
Rhizoma/surface
Design
Chance
Signified
Signifer
Hierarchy
Anarchy
Lisible (readerly)
Scriptible (writerly)
Mastery/logos
Exhaustion/silence
Narrative/grande histoire
Anti-narrative/petite histoire
Art object/finished work
Process/performance/happening
Master code
idiolect
Creation/totalization/Synthesis
Decreation/deconstruction/antithesis
Type
Mutant
Presence
Absence
Genital/phallic
Polymorphous/Andro-gynuos
Centring
Dispersal
Paranoia
Schizophrenia
Genre/boundary
Text/intertext
Origin/cause
Difference/trace
Semantics
Rhetoric
God the Father
The Holy Ghost
Paradigm
Syntagm
Methaphysics
Irony
Hypotaxis
Parataxis
Determinacy
Indeterminacy
Metaphor
Metonymy
Transendence
Immanence
Sumber: David Harvey. The Conditions of Postmodernity. Dalam Joice Appleby et al. (eds) Knowledge and Postmodernisme in Historical Perspective. (New York: Routledge, 1996). P. 43.
           
Penelitian Kualitatif postmodernisme mengacu pada pandangan-pandangan  (Michael C. Jacson: 2003) sebagai berikut:
1)      Berakhirnya kekuasaan dari narasi-narasi besar
2)      Sentralitas wacana
3)      Adanya hubungan erat kekuasaan /pengetahuan
4)      Penelitian dilakukan untuk mengungkap ketidakpastian dan mendorong resistensi bukan untuk mempertahankan rasionalitas, prediktabilitas dan keteraturan
5)      Lebih menekankan hubungan-hubungan diskursif daripada penekanan atas bahas sebagai cermin dari realitas
6)      Pengaruh diskursif terhadap individu
7)      Hiper-realitas, simulasi menggantikan dunia nyata dalam tatanan dunia

Dari pembahasan di atas, kita telah melihat bagaimana pergeseran era itu nampaknya berjalan dengan perlahan tapi pasti. Pergeseran modernisme ke postmodernisme memang bukanlah sebuah revolusi yang tiba-tiba, tetapi lebih merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu. Ketidakpuasan terhadap hasil era modern tidak terlalu menonjol sampai adanya ancaman bagi umat manusia yang jelas diketahui bersama, e.g. perang nuklir; sejak itulah modernitas dianggap lebih menghasilkan kecemasan daripada kesejahteraan. Dengan demikian, modernisme jelas bukanlah sebuah idealisme yang dapat diterima secara utuh. Pemikiran pun bergeser ke arah yang dianggap lebih baik dan disinilah postmodernisme mengambil peran utamanya.
Secara rinci, adalah mustahil untuk mendefinisikan postmodernisme secara utuh. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketidaksepahaman pula akan ‘modernitas’ yang digantikan oleh postmodernis. McGrath (1996) kenyataannya, kata postmodern sendiri sulit untuk dimengerti secara tepat. Kata ‘modern’ sendiri berarti ‘terbaru, barusan, mutakhir’; sedangkan kata ‘post’ (pasca) berarti ‘sesudah’.  Jadi secara harafiah sesungguhnya pengertian postmodern mengandung makna pengingkaran, maksudnya ‘sesuatu’ itu bukan modern lagi. Jadilah kemudian postmodernisme mengaburkan pengertian modernisme (Harianto GP, 2001)
Postmodernisme secara umum dapat berarti sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Hal ini kemudian membuat jalan bagi pluralisme dan keragaman pemikiran. Pada intinya, postmodern –sebagaimana berulang kali ditekankan oleh Grenz— merupakan reaksi menentang totalisasi Pencerahan. Pada saat modernisme berada pada titik ‘krisis identitas’, Hille (2001). ketika berhadapan dengan banyak masalah, postmodern seakan memberikan sebuah sudut pandang yang lebih realistis. Masyarakat yang sudah lelah dan putus asa pun segera berpaling untuk mendapatkan ‘rekreasi’ dari tekanan dan kefrustrasian yang ditimbulkan oleh modernitas. Dari sini, kita dapat segera menyimpulkan bahwa memang modernisme dan postmodernisme menawarkan perbedaan yang berarti.
Berbicara mengenai kedua filsafat ini secara berdampingan, seringkali banyak orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan titik temu yang tepat. Perbedaan antara kedua era ini sulit dirumuskan karena memang –seperti yang telah dikemukakan di atas— definisi atau pengertian keduanya masih terlalu kabur untuk dirumuskan. Namun, perbedaan umum antara modernisme dengan postmodernisme dapat disimpulkan dalam kontras sebagai berikut  (Hassan, 1982):
MODERNISM
POSTMODERNISM

Purpose (Tujuan)
Play (Permainan)
Design (Rencana)
Chance (Kesempatan)
Hierarchy (Hirarki)
Anarchy (Anarkhi)
Centring (Berpusat)
Dispersal (Tersebar)
Selection (Seleksi)
Combination (Kombinasi)
Sumber: Hasan (1982)

Perhatikan bagaimana kata-kata yang menggambarkan modernisme memiliki nuansa yang kuat akan kemampuan (ability) subyek pemikir untuk menganalisa, menyusun, mengontrol dan menguasai. Sedangkan, yang berada di bawah kategori posmodernisme juga memberikan indikasi kekuatan yang sama akan ketidakmampuan (inability) dari subyek pemikir untuk menguasai atau mengontrol –sehingga mereka harus meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya dalam keberagaman. (Hassan, 1982) dalam hal ini, implikasi perbedaan kedua pemikiran ini sangat terasa dalam aspek religius.
Perdebatan mengenai hakikat peralihan dari modernisme menuju postmodernisme disarati dengan permasalahan-permasalahan filosofis, khususnya masalah epistemologis yang belum terjawab secara memadai, hal ini disebabkan peralihan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik dan kritik terhadap modernitas itu sendiri. Perdebatan yang berkepanjangan antara modernisme dan posmodernisme ini telah melahirkan dua kubu filsafat, yaitu pertama adalah kubu yang bermaksud melawan (against) dan melenyapkan keberadaan filsafat modernisme. Kedua, kubu yang berkehendak mengatasi (overcome) sebagai cacat yang disandang oleh modernitas dengan tetap konsisten pada paham itu (Nugroho, 1999:88).
Meskipun beragamnya aliran pemikiran dalam perdebatan tersebut, kiranya masih dapat diindentifikasi bahkan dikelompokkan. Secara agak kasar yaitu kedalam kelompok kubu “Dekonstruktif” dan kubu “Konstruktif atau Revisioner” (Sugiharto, 1996:16). Kubu pertama disebut sebagai “orang dari luar” modernitas yang oleh Nietzsche dan Heideger, dan dilanjutkan oleh para pemikir posmodern dan post- strukturalis, seperti Foucault, Deleize, Guattari, Lyotard, Bataille, Baudrillard, Kristeva dan Vattimo (dalam Piliang,1992:21). Sementara kubu kedua disebut sebagai “kritik diri” (self-criticism) yang dilakukan oleh kelompok Frankfurt School, seperti Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Hubermas (dalam Piliang, 1999:21).
Munculnya dua kubu dalam perdebatan ini merupakan refleksi atas kekecewaan terhadap modrenitas, dimana para pemikir posmodernisme menganggap bahwa modernitas telah kehilangan kemampuan kritisnya (critical power), sehingga ia tidak mampu lagi menemukan tujuan teleologis dan utopis yang ingin dicapai (Piliang, 1999:15). Perdebatan atau perselisihan modernisme versus postmodernisme, memuncul posisi filosofis, dua posisi diantaranya saling bertabrakan secara diametral sedang yang satu lebih bersifat ambivalen. Posisi pertama dinamakan Hegelian sayap kiri. Ini merupakan posisi dari kaum postmodernisme yang beranggapan bahwa filsafat pencerahan sudah kehabisan spirit sehingga harus ditinggalkan. Posisi kedua adalah Hegelian sayap pembaharu, yang terdiri dari kaum Marxian, Neo Marxian, hingga mazhab Franfurt. Pandangan ini memiliki keyakinan bahwa modernitas merupakan warisan budaya dan cacat-cacat yang terkandung di dalamnya yang perlu mendapat pencerahan. Sedang posisi ketiga adalah kaum ambivalen. Posisi ini dipelopori oleh Adorno dan Horkheimer. Pandangan mereka dianggap satu kaki berdiri pada posisi modernisme dan kaki lain ikut berlari bersama postmodernisme. Ambivalensi seperti ini berakibat pada kebingungan filosofis. (Budiman, 1993:177-232).
Menurut Hubermas (1990), postmoderisme sama artinya dengan modern, yaitu teori-teori sesudah era pencerahan (Nack aufklarung). Spirit postmodernisme adalah “Die Gegenwart der Vergangenheil”, yang artinya mengaburkan tradisi kesejarahan dan menganggap bahwa dirinya merupakan sebuah historisme baru. Pandangan seperti ini dapat dianggap ahistoris.(Nugroho, 1999:90).
Gerakan posmodernisme yang merupakan suatu gerakan pemikiran yang ingin melakukan revisi terhadap paradigma modern dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu pertama adalah pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan itu cenderung kembali ke pola berpikir pramodern; kedua adalah pemikran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik; ketiga dalah segala pemikiran yang hendak merivisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern disana sini (Sugiharto, 1996:30).
Berdasarkan atas beragamnya pemikiran tentang postmodernisme ini sehingga sangat sulit dipahami makna yang sebenarnya, menurut Ahmed, (1996:22), kesulitan dalam memahami konsep postmodernisme adalah bahwa konsep postmodernisme pada tingkat yang paling jelas, ini kurang jelas, dan asal muasalnya pun belum jelas. Apakah ini merupakan periode sejarah (postmodernitas) atau gaya maka kini (postmodernisme) ? apakah ini merupakan kecongkakan sastra, konsep filosofis atau konsep arsitektur? apakah ini merupakan variasi estetis, respon terhadap kecenderungan globalisasi, gaya seni atau fenomena sosial? apakah ini merupakan fenomena eksklusif Eropa, atau dapatkah diterapkan ditempat lain. Karena istilah postmodernisme itu menjukkan kemenduaan atau ironi.
Dipihak lain Bryan Turner (2000:35), menyatakan bahwa konsep posmodernisme pertama kali muncul dalam kontek sastra berkenaan dengan reaksi konservatif dalam modernisme. Istilah tersebut kemudian digunakan dalam hubungannya dengan rangkaian teks dan sensibilitas yang lebih luas, untuk mensifati teks atau narasi yang bersifat afirmatif dan kritis, untuk menilai periode sejarah dan corak estetik, dan untuk menkonsepsikan perbedaan, bentuk khas dari luar yang modern., sebagaimana kesamaan, berbagai varian, yang sebenarnya menjadi batas modernisme.
Berdasarkan pendapat Ahmed dan Turner tersebut, dapat diketahui bahwa diantara para ahli masih belum ada kesamaan dalam memberikan pengertian yang tegas tentang postmodernisme. Bahkan Hubermas dalam (Nugroho,1999:91) menyatakan bahwa postmodernisme sama artinya dengan proses menuju masyarakat modern yang belum selesai. Modernisasi masih meninggalkan sejumlah masalah yang diambil alih oleh postmodern. Jadi faham postmodernisme tidak ubahnya seperti logika dialektika pencerahan. Malcolm Bradbury dalam Ahmed, (1996:24), mengatakan bahwa istilah postmoderninsme pertama kali digunakan tiga puluh tahun lalu, tetapi setelah beberapa dekade istilah tersebut lalu memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.
Berdasarkan pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa postmodernisme hanya akan menjadi sebuah ungkapan yang menarik karena apa sebenarnya postmoderisme itu masih belum jelas artinya, disamping itu juga tidak ada penggambaran fase sejarah baru tentang manusia.
Modernisme hadir sebagai sesuatu yang baru dan fresh dalam dunia desain dengan ide – ide, bentuk dan karakter baru. Revolusi industri menjadi salah satu penanda bagi modernisme untuk tumbuh dan berkembang. Namun dengan segala aturan dan rasionalitas pada modernisme, membuat modern itu sendiri kehilangan jiwa dan sedikit agak kaku.
Maka dari itulah postmodern hasil sebagai sebuah kritik terhadap postmodern yang dianggap terlalu mendewakan fungsi, teknologi serta rasionalitas. Postmodern menjadi sebuah bagi dimana tidak adanya satu pembatas antara satu hal dan sangat menjunjung tinggi pluralism dan serta mengharamkam  kesetaraan.
Pada dasarnya postmodern dan modern hidup berdampingan. Kita juga tidak dapat memisahkan antara modern dan postmodern, karena postmodern hadir sebagai akibat dari adanya modern. Setiap hal memiliki sisi positif dan negatif begitu juga dengan modern dan postmodern. Semua ini kembali kepada diri kita bagaimana harus bersikap dan menyikapi semua pergerakan ini., baik itu design movement, art movement hingga culture movement.
Modernisasi pada awalnya dianggap hal yang biasa dan wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai konsekwensi yang bersifat negatif atau buruk terhadap kehidupan manusia dan alam. Atas dasar segala konsekwensi tersebut, modernisasi telah memicu lahirnya berbagai gerakan postmodernisme yang ingin merivisi paradigma modern dan mempersoalkan kembali nilai-nilaiirasionalitas, tradisionalitas dan menganggap rasionalitas modernisme hanyalah mistifikasi refresif belaka.
Dari uraian di atas dapat kita menarik kesimpulan bahwa, posmodern muncul memberikan koreksi-koreksi sistematis terhadap era modern. Pandangan dunia (weltanschauung) modernisme yang mendewakan rasio, pengabsahan kebenaran tunggal yang diklaim oleh Barat, kemajuan sains dan teknologi yang kadang-kadang justru menyengsarakan manusia serta pandangan antroposentrisme, kesemuanya mulai dipertanyakan. Kini posmodern menawarkan alternatif lain yang selama ini sering diabaikan oleh manusia, yakni nilai-nilai kehidupan yang tidak sepenuhnya tegak di atas landasan rasio, yakni tradisi sosial, adat istiadat dan nilai-nilai keagamaan. Penghargaan terhadap tradisi sosial, adat istiadat dan keagamaan memberikan harapan bagi pengembangan nilai-nilai yang bisa membangun kemanusiaan manusia yang suci. Akan tetapi, keberadaan posmodernisme masih perlu diwaspadai karena berjalan bersama dengan era globalisasi yang memunculnya perbenturan nilai. Antisipasi pendidikan Islam di tengah perbenturan nilai itu, dilakukan dengan pembenahan-pembenahan dalam berbagai segi, baik pada segi pelaksanaan pendidikan Islam, maupun segi teoritik Ilmu Pendidikan Islam.
Dunia terus mengalami sebuah proses yang tiada henti menuju perubahan demi perubahan. Paradigma perubahan selalu diawali dan dipandu oleh ilmu pengetahuan yang merupakan ranah kognitif manusia. Bersumber pada ranah perubahan kognitif selanjutnya menuju tahap perubahan nilai (afeksi) dan pada titik tertentu membentuk sebuah skill (performance) pada diri manusia dalam bentuk perilaku sikap sosial dalam kebudayaannya. Maka pergeseran paradigma kognitif dalam hal ini ilmu pengetahuan secara simultan akan melahirkan pergeseran yang signifikan pada ranah-ranah yang lain. Disinilah secara kasat mata pergeseran kehidupan manusia terus mengalami gelombang yang tiada pernah berhenti, laksana gelombang  peradaban yang terus bergerak nampak tiada bertepi.

Gelombang peradaban yang abadi tersebut dibingkai oleh hasrat manusia yang terus bersemayan dalam diri. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya. Secara teologis, pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme dari dinamisme menuju ke politeisme, dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu pengetahuan, dari teosentris, ke empirisme, dari empiris ke rasionalisme, dari rasionalisme ke positivisme, dari positivisme ke materialisme, dari materialisme ke idealisme dan pada tataran tertentu intuisionisme juga mendapat posisinya sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai simbol telah diciptakan manusia untuk dilekatkan mewakili bahasa manusia dalam menyebut pergeseran paradigma pemikiran dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu (Rosenberg, 2005)

Kerangka pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah freame besar yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio manusia seolah-olah sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia pada sebuah kehidupan yang seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan perkembangan teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan pergeseran paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang cukup signifikan yang merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan permasalahannya. Disinilah  paper ini akan mencoba memberikan paparan yang komprehensip berkaitan dengan Postmodernisme dan kritik ilmu pengetahuan modern.

Referensi:
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer : Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.
Ahmed, Akbar. S. 1996. Posmoderisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Alex  Rosenberg. 2004. Philosophy of Science;A Contemporary Introduction (New Scoot Lash, Sosiologi Postmodernisme. Jakarta:Kanisius  hal 21
Bryan S. Turner. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
C. Brinton. 1953.The Shaping of the Modern Mind. New York: h. 113
Charles Jencks. 1984.  The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed. London: Academy Editions, 1984
Christopher Norris. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida Yogyakarta: Arruss, Hal.7 
David Harvey. 1989. The Condition of Postmodernity. Oxford: Basil Blackwel
Denzin K. Norman, Lincoln S. Yvonna. 2009. Handbook of Qualitatif Research. Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Emmanuel Levinas. 1973. The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology. Northwestern University press, h. 4.
F. Budi Hardiman. 2003. Filsafat Modern;Dari Machiavelli sampai  Nietche. Jakarta: Gramedia hal. 256 – 282
Flaskas, Carmel. 2002. Family Therapy Beyond Postmodernism.: Practice Chalenges Theory.New York: Brunner-routledge
Frans Magnis-Suseno. 1992.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 200-201
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Gergen, K.J. 1991. The Saturated Self: Dilemmas of Identity in Contemporary Life. New York: Basic Book.
Grenz, Stanley. 2001. A Primer on Postmodernism. Yogyakarta: Andi.
Harianto GP. 2001. Postmodernisme dan Konsep Kekristenan. Jurnal:Pelita Zaman
Hille,  Rolf. 2000. From Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology 24/2 . 
Ihab Hassan. 1982. The Dismemberment of Orpheus: Toward a Postmodern Literature New York: Oxford University Press. 267-268
Jean Lyotard. 1984. The Postmodernisme and Condition, A Report on Knowledge. Oxford:Manchester University press,1984) hal.51             
John W. Murphy. 1986. Cultural Manifestation of Postmodernism. dalam Philosophy Today, Vol. xxx, No. 4/4, 1986, h. 348.
Kvale, Steiner. 2006. Psikologi dan Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
McGrath, Alister.1996. A Passion for Truth: The Intellectual Coherence of Evangelical. Downers Grove: InterVarsity, 1996.
Michael C. Jacson. 2003. System Thinking Creative Holism for Manager. West Sussexx: John Willey & Son Ltd.
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper- Realitas, Kebudayaan. Yogyakarta: LKs
Ronald McKinney. 1986. Toward a Resolution of the Modernist/Postmodernist Debate. dalam Philosophy Today, Vol. XXX, No. 3/4, 1986, h. 238.
Soewardi, Herman. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir. Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bhakti Mandiri.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Surya, Kalvin.1998. Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya bagi Kekristenan. dalam [http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html] 1998.
Tradisionalisme Nasr: Exposisi dan Refleksi" (Wawancara) dalam Ulumul Qur'an, No. 4, Vol. IV, 1993, h. 109.
Victor Kraft. 1974. Popper and the Vienna Circle. dalam Paul Arthur Schilpp (ed.), The Philosophy of Karl Popper, Book I (La Salle, Illinois: Open Court, 1974), h. 192.

No comments:

Post a Comment

Keunggulan Geostrategis Indonesia

letak Indonesia berada di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia letak Indonesia berada di antara dua samudra yaitu Samudra ...