- Jelaskan
apa yang membedakan sebuah penelitian kualitatif “modernisme” dan “postmodernisme”?
Jawab:
Sebelum menguraikan tentang perbedaan penelitian
kualitatif tersebut, saya akan menguraikan terlebih dahulu apa itu “modernisme”
dan “postmodernisme”
a
Penelitian
Kualitatif Modernisme
Modernisme bersumber dari revolusi ekonomi, politik
dan filosofis renaisance serta aufklarung abad ke 16 lahir dari akar
ideologis: bebas dari agama (gereja) dan; fisika ditempatkan sebagai paradigma
humaniora (kemanusian). (Mulkhan, 1999:315). Sementara itu Ahmed (1996:22)
menyatakan bahwa modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang
ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan pada
keinginan untuk simetri dan tertib, serta akan keseimbangan dan otoritas yang
juga telah menjadi karakternya. Karakter khas dalam modernisme adalah bahwa ia
selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan (episme, wissenschaff) tentang “apa”nya realitas, dengan cara
kembali ke subyek yang mengetahui itu sendiri atau dipahami secara psikologis maupun transendental (Sugiharto, 1996:33).
Dalam bidang filsafat, modernisme diartikan sebagai
suatu gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan
oleh Descrates, kemudian dikokohkan oleh gerakan pencerahan (Aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga
abad keduapuluh ini melalui dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto,
1996:29). Dalam hubungan ini adalah sangat beralasan jika Garna (1996:183)
menyatakan bahwa modernisasi itu adalah penolakan terhadap sejarah.
Modernisme pada awalnya dianggap sebagai hal yang
biasa dan wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai
konsekwensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Menurut
Soewardi, (1999:346-347) kerusakan lingkungan pada alam dan manusia disebutnya
sebagai akibat dari kesalahan ilmu Barat (sains modern), kerusakan pada alam
berupa “planetory ecological crisis”,
penguasaan sumber daya alam oleh segolongan tertentu, ketimpangan yang semakin
menganga, belum lenyapnya kemiskinan. Pada manusia konsekwensi negatif itu
dapat berupa sifat resah, berlombanya keganasan, ketidaksudian berpikir (dull mindeniss), kecelakaan mobil dan
pesawat udara dan lain-lain.
Sementara menurut Sugiharto (1996:29-30),
konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam
diantaranya: pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan
menjadi subyek dan obyek, spritual-material, manusia dunia, telah mengakatkan
obyektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan semena-mena. Hal ini
menyebabkan krisis ekologi; kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivitas
dan positivitas akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah obyek juga, dan
masyarakat pun direkayasa bagaikan mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa
masyarakat cenderung menjadi tidak manusia; ketiga, dalam modernisme ilmu-ilmu
positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari
hal ini nilai moral dan relegius kehilangan wibawanya; keempat, dalam
materialisme, bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah
yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Meterialisme ontologis ini
didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu hidup pun menjadi keinginan
yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Ada beberapa ciri modernisme yang
menyolok, yaitu
1) Pendewaan Terhadap Rasio. Di awal
munculnya modernisme (abad ke-18), rasio (akal) dipandang sebagai satu-satunya
kekuatan yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan hidup. Di awal
munculnya modernisme itu bahwa agama meskipun penting tetapi agama dipandang
tidak lagi terdapat dalam dogma melalui wahyu. Agama sudah harus ditegakkan di
atas prinsip rasio. Pengganti agama wahyu (openarungreligie)
adalah agama alam (natuurreligie)
yang ditegakkan di atas prinsip rasio. Bukan lagi rahmat dari Tuhan yang
penting tetapi kemampuan akal sebagai “pembebas” jiwa yang penting. Bukan dosa
asal (erfzonde, menurut keyakinan
Kristen) yang memenjarakan manusia tetapi kebodohanlah sebagai pangkal
kesengsaraan. Brinton (1953) menyatakan kehidupan yang ditegakkan atas prinsip
serba rasional itu memunculkan harapan baru ketika itu, bahwa modernisme kelak
akan menjadi “surga” bagi manusia. Rasio pertama kali memberantas
pandangan-pandangan mitologis dan paham-paham irrasional sampai pada mengecilkan
peranan agama dan aplikasi nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia. Di Barat
misalnya, muncul paham agnotisme (yakni, dikatakan beragama, tidak; tidak
dikatakan tidak beragama pun tidak), bahkan sampai pada paham ateisme.
Kepercayaan yang tinggi akan kemampuan rasio kemudian ditunjang oleh pengamatan
empiris (dengan metode observasi dan eksperimen) lebih memperkokoh kedaulatan
rasio-empiri dalam memahami realitas. Kedua instrumen pengetahuan tersebut
menghidupsuburkan sains dan teknologi.
2) Kebenaran Tunggal. Sikap mendewakan
rasio dan menempatkan sebagai sumber pengetahuan tertinggi, sehingga rasio
dipandang mampu menciptakan kebenaran universal. Di era modernisme kebenaran
produk rasio dan empiri sebagai kebenaran tunggal. Kebenaran tunggal lalu
diklaim oleh Barat sebagai pemilik kebenaran tunggal itu. Di luar ilmu Barat
tidak ada yang absah dan di luar peradaban Barat tergolong peradaban inferior
(rendah). Akibatnya ilmu dan peradaban Barat diupayakan untuk diberlakukan
secara universal, akibatnya terjadi imperialisme epistemologis, imperialisme
politik, ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam dan kriteria hak asasi manusia
menurut pandangan Barat.
3) Ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai prestasi gemilang modernisme berhasil membawa
kemajuan bangsa-bangsa di dunia. Ilmu pengetahuan berupaya memperkokoh dirinya
dengan kemampuan internalnya memisahkan diri dari doktrin-doktrin agama. Dengan
metode induktif mengamati alam yang bersifat mekanis dan matematis, pencarian
hukum sebab akibat yang mengatur alam semesta melahirkan paham naturalisme.
Naturalisme melihat alam ini sebagai sebuah mesin raksasa dengan mekanisme
kerja secara kausalitas, menyebabkan sebagian ilmuan tidak lagi melihat alam
ini sebagai ciptaan Tuhan melainkan adalah produk alam itu sendiri. McKinney
(1986), memandang keindahan alam bukan lagi merasakan kebesaran Tuhan melainkan
kekaguman pada alam itu sendiri. Alam menyimpan berbagai rahasia yang berguna
bagi manusia, maka alam pun dieksploitasi yang pada akhirnya merusak ekosistem
yang membawa malapetaka bagi manusia sendiri.
4) Antroposentrisme. Kemampuan manusia
yang demikian tinggi di era modern dibanding era sebelumnya, maka manusia lalu
“membesarkan” diri menjadikan dirinya sebagai sentrum alam semesta dan ukuran
bagi segala sesuatu. Manusia tidak lagi menghiraukan nilai-nilai dari “luar”
dirinya, yakni nilai transenden dari Tuhan, karena memandang dirinya menjadi
ukuran (norma) bagi segalanya.
Ketiga
karakteristik tersebut di atas tentu saja terjadi dalam masyarakat Barat. Namun
dalam perkembangan globalisasi di segala bidang, dikhawatirkan pandangan
semacam itu merasuk ke dalam masyarakat Indonesia.
Ketika
modernisme muncul di abad ke-16, manusia menggantungkan harapan bahwa
modernisme ini kelak akan menjadi "surga" bagi manusia. Betapa tidak,
karena di era modern di mana rasio dan empiri memegang kedaulatan dalam
dinamika hidup manusia telah berhasil menumpas mitologi-mitologi. Tidak hanya
itu, modernisme telah meruntuhkan otoritas gereja dan segala kedaulatan yang
bersumber dari luar diri manusia. Modernisme memunculkan apa yang disebut
humanisme yang mengakui manusia dengan segala kemampuannya merupakan sumber
kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga menyisihkan peranan
dan kedaulatan Tuhan. Agama, kemudian disub-ordinasikan karena dipandang
melemah-kan kreativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam semesta
b
Penelitian
Kualitatif Postmodernisme
Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri,
15 Juli 1972. Ketika pertama kali didirkan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis dianggap sebagai lambang arsitektur modern
yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan
teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia.
Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah
mencurahkan banyak dana untuk merenonovasi bangunan tersebut. Akhirnya, setelah
menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Bangunan berpengaruh itu
akhirnya diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks (1984), yang
dianggap sebagai arsitek postmodern
yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme
dan menandakan kelahiran postmodernisme.
Para ahli saling berdebat untuk mencari
aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernisme. Tetapi mereka telah
mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah
cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis,
universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap hormat
kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan lokal)
serta membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan
ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme
untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme adalah
anti-modern.
Kata “postmodern” mencakup lebih dari sekedar
suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud
dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini, pola
pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur,
seni, dan drama. Postmodern telah merasuk kedalam seluruh masyarakat. Kita
dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai
dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal
seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Dalam situs (http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc),
dijelaskan pula bahwa postmodernisme adalah sebuah term atau istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak bisa
dikatakan mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya
postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal (seperti dalam seni,
arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal
tersebut postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang berbeda.
Walaupun demikian, dengan mengumpulkan berbagai definisi tersebut kita dapat
menemukan inti dari pengertian postmodsernisme.
Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh
sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan
pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles
Jencks, untuk menjelaskan gerakan antimodernisme seperti Pop Art, Concept Art,
dan Postminimalisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah
salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme
sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul
sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dari
modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang mengatakan
bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di
antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju
anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand
theory) menuju teori yang spesifik,
dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari
kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut
mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist. Sedangkan Adian (2006)
menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang
bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang
menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap
modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang
dinamakan postmodernisme. Postmodernisme sendiri memecah dirinya dalam tiga
jalur wacana :
1)
wacana kritis terhadap estetika modern
2)
wacana kritis terhadap arsitektur modern
3)
wacana kritis terhadap filsafat modern
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan
dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah
kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang,
melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor
yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi
bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan
postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap
modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang
meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang
sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme
meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang
sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah
linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme
yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan
linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi,
antihumanisme, dan diskontuinitas.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap
fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era
modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas
–dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki
cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness,
progress dan liberty. Menurut
Surya (1998), semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang
pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat.
Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan
berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu
banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir
ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru
merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini
tidaklah berjalan sesuai harapan.
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah
postmodern muncul dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat
serangan dan kritik sejak Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan
tersebut belum benar-benar diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk
menyingkirkan modernisme secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi
sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran baru dalam filsafat.
Menurut Grenz (2001), dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan awal untuk
menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua
masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil
sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal
ini, menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam
teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks.
Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak
dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang boleh
membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Dalam dunia postmodern, manusia tidak lagi percaya bahwa
pengetahuan itu baik. Untuk menghindari mitos Pencerahan, postmodernisme
menggantikan optimisme dengan pesimisme. Harapan untuk mendapatkan hidup yang
lebih baik di masa depan pun dianggap kebohongan. Tidak heran jika banyak
dikatakan bahwa era postmodern dimulai setelah proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi
lambang arsitektur modern diledakkan dengan sengaja oleh para penghuninya.
Bangunan yang berusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para penghuni
‘rumah-susun’ itu dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan penghuninya secara
utuh. Charles Jencks –seorang arsitektur postmodernis— mengatakan bahwa
peristiwa peledakan Pruitt-Igoe ini menandai kematian modernisme dan kelahiran
postmodernisme.(Jenks,
1984)
Post-Modernisme adalah suatu pandangan yang
berupa penolakan terhadap asumsi-asumsi rasionalitas yang telah tertanam kuat,
epsitimologi Barat tradisional, atau representasi realitas yang dianggap paling
“aman”. Post-modernisme mengarahkan pada mitos tentang subjek yang otonom
transendental, dan konsep tentang praksis yang dimarjinalkan demi mendukung
ketidakpastian retoris dan analisis tekstual terhadap berbagai praktek sosial.
Post-modernisme ini menjadikan gagasan yang menyatakan bahwa makna dibawa oleh
kejenakaan yang terus menerus dari sang penanda (signifer) sebagai titik
tolaknya. (Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln: 2009, 178).
Mengenai beragamnya definisi postmodernisme,
Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah
posmodern, yaitu dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat
dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah
postmodern tersebut yaitu: Postmodernitas yang berkaitan dengan era
post-modern, Post-modernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era
post-modern, dan pemikiran post-modern, atau wacana, yang berkaitan dengan
refleksi filosofis dari era dan budaya post-modern.
Case
Kebudayaan Post-Modernisme Adalah sebuah terma yang dipakai untuk
menjabarkan masyarakat pada era informasi sekarang ini dimana secara sosial
dipenuhi oleh bentuk-bentuk representasi/sajian yang terus meningkat, seperti
perfilman, fotografi, elektronik, automotif dan sebagainya. Semua ini telah
menimbulkan dampak hebat dalam menciptakan narasi kebudayaan yang membentuk
identitas kita. Drama kehidupan sedemikian sering ditayangkan di televisi
sehingga individu-individu dimana sebagian besar semakin mampu memprediksi
berbagai hasil dan memandang hasil-hasil yang demikian yakini sebagai arah
kehidupan sosial yang "alami” dan "normal." (Gergen, 1991).
Seperti ungkapan kebanyakan analis
post-modernisme, kita telah menjadi pengekor, sebagai konglomerasi imitatif
satu sama lain. Dalam kondisi yang demikian itu kita mendekati kehidupan dengan
sedikit perasaan, dengan perasaan bosan post-modern dan kecemasan yang tak bisa
dimaafkan. Ikatan-ikatan emosional kita terurai seiring dengan serangan
televisi, komputer, handphone, Internet, VCD, dan DVD sehingga kita terharuskan
mengikuti dan memeiliki barang-barang tersebut. terhadap kita dengan berbagai
sajian yang telah membentuk fasilitas kognitif dan afektif kita melalui
cara-cara yang masih belum dipahami dengan memadai. Di bidang politik, kaum
tradisionalis menyekat dan membentengi melalui budaya mereka dan menyingkirkan
kaum khayalan seperti humanis sekuler, liberal ekstrem," dan kaum
utopianis, yang tidak menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan oleh
hiperrealitas post-modern terhadap lembaga-lembaga mereka yang disakralkan.
Keluarga inti, misalnya, telah menurun nilainya bukan karena serbuan "kaum
feminis radikal" namun karena rumah telah didefenisikan kembali melalui
kehadiran berbagai komunikasi elektronik yang dipandang wajar.
Transmisi elektronik menghasilkan formasi-formasi
baru, dimana ruang kebudayaan dan menyusun kembali pengalaman akan waktu. Kita
sering kali terdorong untuk memperdagangkan keanggotaan komunitas demi
kepemilikan semu (pseudobelonging)
dunia media (mediascape).
Dengan memfokuskan pada era kemajuan
informasi ini, dengan kemajuan yang telah diadopsi dan diyakini sebagai arah kehidupan sosial yang alami
dan normal. Pada akhirnya akan berdampak pada bentuk kesadaran individualisme,
kritik dan kebebasan terhadap kapitalisme melalui media dan sistem politik yang
liberal dimana adanya bentuk-bentuk kesadaran terhadap bentuk penipuan yang
dilakukan oleh kemajuan tekhnologi yang hanya mementingkan kelompok
kepentingannya dan juga berpretensi untuk menjadikannya sebagai bentuk-bentuk
penindasan gaya baru.
Posmodernisme : Pembebasan Kedua? Agak sulit
kita identifikasi dari mana dan dari pemikiran siapa yang mendasari kemunculan
postmodernisme. Dan juga apakah postmodernisme merupakan perpanjangan dari
modernisme atau sebagai reaksi terhadap modernisme? Kami berasumsi bahwa
postmodernisme tidak hanya muncul dari satu aliran atau seorang tokoh tertentu.
Postmodernisme dikatakan sebagai perpanjangan dari modernisme karena bibitnya
telah ada dalam pase modernisme dan elemennya telah ada pada pemikiran tokoh
yang mengklaim diri sebagai tokoh modernisme. Tetapi dapat pul dikatakan bahwa
postmodernisme sebagai reaksi terhadap modernisme yang diambil dari segi-segi
tertentu beberapa pemikiran modernisme yang diintegrasikan ke dalam satu pola
pemikiran yang memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan modernisme.
Meskipun memang diakui ada pemikiran yang khas bercorak postmodernisme yang
tidak terdapat elemennya di era modernisme.
Karl R. Popper seorang tokoh modernisme yang
mengakui realitas metafisis sebagai kebenaran obyektif, tunggal dan universal.
Tetapi di sisi lain menolak epistemologi positivistik, (Kraft, 1974) sebagai
anak kandung modernisme. Husserl seorang tokoh fenomenologi mengklaim diri
sebagai modernis dengan metode apochenya (keadaan tidak memihak, netral dalam
epistemologinya) tetapi dalam fenomenologi transendentalnya ia meletakkan
kerangka ilmu-ilmu subyektif sebagai lawan ilmu obyektif dalam modernisme. Ilmu
subyektif Husserl memberikan pamaknaan atas dunia sesuai dengan weltanschauung
yang dianut, menghargai "dunia nilai" sebagai elemen integral dalam
ilmu. Sikap yang sama dianut oleh Jurgen Habermans yang berusaha
mengintegrasikan nilai ke dalam kerangka ilmiah.
Berikut ini dikemukakan beberapa ciri
postmodernisme menurut Natanson (1964) sebagai
berikut:
1)
Kebenaran pluralistik
Kalau diera modernisme yang dimotori oleh epistemologi
positivistik dan strukturalisme memandang kebenaran itu tunggal. Dunia
dipersatukan dalam pengambilan keputusan secara generalis yang membentuk
generative idea menurut positivisme. Kemudian strukturalisme tampil menyatakan
bahwa hukum yang menguasai struktur sebgai keseluruhan atau hukum kesatuan yang
konstan san stabil.
Postmodernisme tampil menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang konstan dan stabil, karena stabilitas hanya bermakna statis dan mandeg. Kebenaran terpecah menjadi majemuk karena selalu berada dalam ruang, waktu dan konteks yang berpengaruh terhadap kebenaran itu. Pemikiran yang relevan dalam hal ini adalah fenomenologi transendental dari Husserl yang menyatakan bahwa: To exist does not mean the same thing in every region".(Levinas, 1973), untuk berada tidak berarti sesuatu itu sama dalam setiap wilayah. "Each region is the object of regional ontology” (Setiap wilayah merupakan obyek ontology regional).
Postmodernisme tampil menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang konstan dan stabil, karena stabilitas hanya bermakna statis dan mandeg. Kebenaran terpecah menjadi majemuk karena selalu berada dalam ruang, waktu dan konteks yang berpengaruh terhadap kebenaran itu. Pemikiran yang relevan dalam hal ini adalah fenomenologi transendental dari Husserl yang menyatakan bahwa: To exist does not mean the same thing in every region".(Levinas, 1973), untuk berada tidak berarti sesuatu itu sama dalam setiap wilayah. "Each region is the object of regional ontology” (Setiap wilayah merupakan obyek ontology regional).
Dengan demikian, kebenaran selalu berada dalam wilayah
tertentu. Atau, menurut Lyotard, pengetahuan manusia terlokasikan sehingga
tidak tunggal dan tidak universal lagi. Murphy (1986) bahwa, terpecahnya
kebenaran dalam kemajemukan bukan saja disebabkan oleh wilayah atau kawasan
tetapi juga oleh pecahnya akal dan subyek manusia. Muldoon menjelaskan bahwa:
"The postmodern moment has been
characterized as a kind of explosion of the modern episteme in which reason and
its subject -- as the source of "unity" and of "whole" are
blown to pieces". Muldoon (Gerakan postmodern dicirikan oleh semacam
ledakan epistemologi modern dimana akal dan subyeknya sebagai sumber
"kesatuan" dan "keseluruhan" terpecah dalam
potongan-potongan). Subyek-cogito
dalam rasionalisme Descartes yang dipandang sebagai realitas otonom, konstan
dan mutlak; dalam pandangan postmodernisme tidak lagi dipandang otonom dan
mutlak. Subyek-cogito sudah harus "mencair" dengan realitas dunia di
luar dirinya, sehingga ia tiada tanpa dunia dan dunia tiada tanpa ia.
Di era postmodernisme tidak ada lagi konstruksi tetapi
dekonstruksi, tidak ada sentral tetapi desentral, terjadi
penyebaran-penyebaran. Atau, menurut Lyotard tidak ada homologi (sistem
tunggal) tetapi paralogi (sistem plural). "Cerita besar" sebagai
grand-narasi yang menjadi meta-narasi mulai pudar digantikan oleh narasi-narasi
lokal. Dengan demikian, kebenaran menjadi konsektual, lokal dan historik.
2)
Peniadaan yang
mutlak
Sebagai kelanjutan dari kebenaran pluralistik adalah
peniadaan kebenaran mutlak, karena kebenaran selalu dalam konteks dan konteks
selalu berubah. Maka postmodernisme meniadakan kebenaran mutlak. Filsafat GWF
Hegel (1770-1831) yang mengakui ada Roh Mutlak yang menjadi sasaran tertinggi
dialektika pemikiran manusia ditolak oleh postmodernisme. Bagi postmodernisme
tidak ada lagi "payung" mutlak yang menaungi segala realitas. Karena,
sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang konstan, tidak berubah dengan perubahan
konteks, atau dapat dikatakan bahwa sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang
"asli", tidak tercemar oleh konteks. Murphy menjelaskan, bahwa:
"... postmodern science cannot
generate pristine facts, but only ones that are context-bound". Murphy
(1986)... ilmu pengetahuan postmodernisme tidak dapat menghasilkan fakta-fakta
asli melainkan fakta yang terikat-konteks). Dengan demikian kemutlakan menjadi
tiada.
3)
Ilmu Tidak
Netral
Postmodernisme cenderung pada pandangan bahwa ilmu
pengetahuan tidak netral melainkan selalu memihak pada nilai, sarat nilai
(value-bound). Pendapat yang relevan dengan hal tersebut adalah pendapat
Frankfurt Jurgen Habermasn seorang tokoh kontemporer mazhab Frankfurt Jerman
yang dikenal sebagai aliran kritik sosial. Menurut Hubermans, ilmu pengetahuan
tidak bebas nilai karena setiap produk ilmu terlebih dahulu ditetapkan secara
normatif. Karena itu, ilmu pengetahuan selalu dibungkus oleh
kepentingan-kepentingan yang dengan sendirinya tidak netral. Tidak ada fakta
yang ditangkap yang benar-benar murni, tetapi selalu dibungkus oleh
kepentingan-kepentingan oleh pengamat fakta itu. (Suseno,1992)
4)
Pencarian Makna-makna: Implikasi Spritualisme
Salah satu lagi ciri postmodernisme adalah tidak menjadikan
rasio sebagai hakim segalanya. Rasio hanya salah satu tangga kebenaran sesudah
empiri. Kebenaran tertinggi ditangkap secara intuitif. Demikian pendapat
seorang tokoh postmodernis, Henri Bergson. Intuisi menangkap makna-makna dunia
yang tidak ditangkap oleh rasio kuantitatif dan eksak. Intuisi menangkap
kaulitas-kualitas hidup. Intuisi memberontak terhadap struktur yang memenjara
dan mematikan kehidupan. Dalam strukturalisme, manusia berpikir, bersikap dan
berkelakuan sesuai apa yang didiktekan oleh struktur terhadapnya. Manusia
akhirnya hidup dalam kejenuhan. rutinitas yang disajikan oleh struktur
menyebabkan manusia menjadi robot hampa, tidak bermakna. Tesis tersebut di atas
mengimplikasikan lahirnya kecenderungan spritualisme. Spritualisme di Barat
telah muncul selama berabad-abad, antara lain dari pemikiran Pascal dan
Montaigne di abad ke-16/17. Di awal abad ke-20 dikembangkan kembali oleh
sejumlah pemikir seperti: Octave Hamelin, Lavelle dan Le Senne dan berbagai
tokoh lainnya. Spritualisme mereka ini mengakui realitas benda material tetapi
dalam taraf rendah. Roh merupakan tujuan tertinggi. Spritualisme dengan konsep
ontologik semacam itu tertekan oleh kemajuan modernisme. Akan tetapi kini
muncul lagi kecenderungan spritualisme itu. Dalam tampilannya dalam masyarakat
Barat, muncul spritualisme tanpa ikatan agama (spriritualism without organized
religion) yang hanya diakarkan pada pandangan filosofis. Jefferson dan Naisbitt
Aburdene melihat peranan agama formal akan menurun dan digantikan oleh
spritualisme. Dengan demikian akan muncul manusia "tak beragama"
tetapi "berkerohanian". Sayyed Hossein Nasr sebaliknya melihat bahwa
spritualitas tanpa agama adalah utopis. Ia melihat bahwa sprotualitas yang
didominasi oleh agama di masa lalu akan tampil di masa akan datang. Jadi, agama
masa akan datang adalah agama masa lalu dan masa kini. Nasr (1993), kecenderungan
seperti di atas perlu diantisipasi oleh generasi muslim masa kini. Hal yang
perlu adalah menampilkan Islam tidak dalam bentuk apologik atau hanya dalam
bentuk formal yang normatif semata, tetapi bagaimana menampilkan Islam sehingga
manusia merasakannya sebagai "air sejuk" untuk penyegar di
tengah-tengah kekeringan spritual.
Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan,
penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme.
Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan
kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme
mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak
menentukan (indeterminacy), dan
sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan
struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua
pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada
kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam
persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
Ditambahkan oleh situs http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc
bahwa salah satu dari elemen utama dari postmodernisme adalah constructedness of reality and hence the
inaccessibility of the Real. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran
adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk
yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi
dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Pada situs
lain, yaitu situs http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektifpsikologisosial.doc
disebutkan bahwa teori postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo”
merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme, contohnya,
menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan
kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri
(Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991, http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektifpsikologisosial.doc).
c
Penelitian
kualitatif “Modernisme” dan “Postmodernisme”
Dalam situs http://www.fni.com/cim/briefing/decon.doc
disebutkan perbedaan mendasar mengenai modernisme dan postmodernisme. Situs
tersebut menyebutkan bahwa modernisme adalah kata lain dari penerangan humanis.
Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode ini dimulai dari
runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan
kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme
adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan
mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena
itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme
menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan
sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak
(atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order
Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme
adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.
Bagi
Lyotard postmodern berarti ketidakpercayaan terhadap narasi-narasi besar
(metanarratives). Postmodernisme merupakan suatu reaksi perlawanan terhadap
paham modernisme universal, yang pada umumny bersipat positivistik,
teknosentrik, rasionalistik (David Harvey, 1996). Modernisme memiliki keyakinan
akan kemajuan yang linear, kebenaran-kebenaran absolut, perencanaan rasional
atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan
produksi.
Kaum
postmodern mengidentifikasi tiga metanarasi dari pencerahan sebagai target
subjek atau agen manusia yang rasional, konsep kemajuan, atau sains dalam arti
luas yaitu mencakup seluruh konstelasi dari pondasi-pondasi filosofis dan
metafisis (Joice Appleby, 1996).
Modernisme
terkenal dengan proyek pencerahan yang dilakukan untuk membebaskan manusia dari
pengetahuan manusia yang bersipat mistis dan sakral. Modernisme melakukan
demistifikasi dan desakralisasi pengetahuan serta organisasi dalam masyarakat.
Ilmu pengetahuan diarahkan untuk menemukan suatu kebenaran yang berlaku
universal dan bersipat final. Terhadap suatu hal, termasuk perilaku manusia dan
masyarakat, modernisme meyakini adanya suatu penjelasan tunggal atau
satu-satunya. Oleh karena itu, pengenalan yang akurat atas faktor yang
menjelaskan perilaku tertentu adalah jalan bagi pengendalian yang penuh.
Dalam
modernisme, kebenaran berkenaan dengan signifikansi fakta. Oleh karena itu,
modernisme bersipat positivistik dan menekankan objektivitas atau imparsialitas
dalam ilmu pengetahuan sebagai jalur penemuan kebenaran. Sekali lagi, modernisme
meyakini adanya satu kebenaran yang tunggal dalam menjelaskan fenomena
tertentu.
Modernisme
merupakan gerakan pemikiran dan gambaran dunia yang dikokohkan oleh gerakan
pencerahan dan mengabadikang dirinya hingg abad kedua puluh melalui dominasi
sains dan kapitalisme. Gambaran dunia ini, dan tataran sosial yang
diakibatkannya, ternyata melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan
manusia dan alam, paling jelas dalam enam bentuk (Bambang Sugiharto, 1996),
yaitu
a. Pandangan dualistiknya yang membagi
seluruh kenyataan menjadi subjek objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan
telah mengakibatkan pengobjekan, pengurasan dan perusakan alam.
b. Pandangannya yang bersipat
objektivitas dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat
sebagai objek dan dapat direkayasa layaknya mesin.
c. Pengacuan pada ilmu-ilmu
positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan
wibawa, dengan konsekuensi, disorientasi nilai-nilai moral religius.
d. Ditetapkannnya materialisme sebagai
kenyataan terdasar (ontologi) mendukung pola hidup yang berorientasi pada
kompetensi (dalam pasar bebas) untuk memperebutkan penguasaan hal-hal material,
dengan konsekuensinya adalah perilaku dominan individu, bangsa dan
perusahaan–perusahaan modern.
e. Kecenderungan pada militerisme,
kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan, untuk mengatur manusia akibat
dilemahkannya norma-norma moral dn religius.
f. Bangkitnya kembali tribalisme.
Mentalitas mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Suatu konsekuensi logis
dari hukum “survival of the fittest”
dan penggunaan kekuasaan koersif.
Postmodernisme,
sebaliknya menekankan heterogenitas dan perbedaan sebagai kekuatan-kekuatan
liberatif dalam mendefinisikan ulang wacana kultural. Pemikiran postmodernisme
ditandai oleh pragmentasi, interdeminasi, dan ketidakpercayaan yang mendalam
atas semua wacana universal (universal or
totalizing discourse). Secara singkat postmodernisme menolak narasi-narasi
besar (metanarratives), yaitu interpretasi teori-teori besar yang mengklaim penerapan
yang universal (David Harvey, 1996).
Eagleton
mendeskripsikan postmodernisme sebagai
berikut
Postmodernism signals the death of such “metanarratives”
whose secretly terroristic function was to ground and legitimate the illusion
of a “universal” human history. We are now in the process of wakening from the
nightmare of modernity, with its manipulative reason and fetish of the
totality, into the laid-back pluralsm of the postmodern, that heterogeneous
range of the lifestyles and languange games which has renounced the nostalgic
urge to totalize and legitimate itself ... science and philosophy must jettison
their grandiose metaphysical claims and view themselves more modestly as just
another set of narratives”
Kecenderungan
postmodernisme ini diafirmasi dari koleksi Ihab Hasan. Sejalan dengan pola
pendekatan postmodernisme yang digambarkan oleh Hasan, penelitian ini menganut asumsi-asumsi dan
gagasan-gagasan utama dari paradigma postmodern. Ihab-Hassan--seorang
penulis kelahiran Mesir, dalam 'Postmodern American Fiction:
A Norton Anthology' (1998) merangkum perbedaan-perbedaan
antara posmodernisme dan modernisme yang antara lain adalah sebagai berikut:
MODERNISM X POSTMODERNISM
bentuk (konjungtif--terbuka)
X anti-bentuk (disjungtif--tertutup)
tujuan X bermain
rancangan X kesempatan
hierarki X anarki
objek-seni X proses-seni
keberjarakan X partisipasi
sintesis X antitesis
keberadaan X ketidakberadaan
pemusatan X penyebaran
metafora X metonimia
seleksi X kombinasi
akar/kedalaman X kulit/permukaan
interpretasi X melawan-interpretasi
naratif X anti-naratif
paranoia X skizofrenia
tujuan X bermain
rancangan X kesempatan
hierarki X anarki
objek-seni X proses-seni
keberjarakan X partisipasi
sintesis X antitesis
keberadaan X ketidakberadaan
pemusatan X penyebaran
metafora X metonimia
seleksi X kombinasi
akar/kedalaman X kulit/permukaan
interpretasi X melawan-interpretasi
naratif X anti-naratif
paranoia X skizofrenia
Perbedaan – perbedaan antara
Modernisme dan Postmodernisme Menurut Ihab Hasan (David Harvey, 1996:9)
Modernism
|
Postmodernism
|
Modernism
|
Postmodernism
|
Romanticism/symbolism
|
Paraphysics
|
Selection
|
Combination
|
Form (conjunctive, closed)
|
Antiform (disjunctive, open)
|
Root/dept
|
Rhizoma/surface
|
Design
|
Chance
|
Signified
|
Signifer
|
Hierarchy
|
Anarchy
|
Lisible (readerly)
|
Scriptible (writerly)
|
Mastery/logos
|
Exhaustion/silence
|
Narrative/grande histoire
|
Anti-narrative/petite histoire
|
Art object/finished work
|
Process/performance/happening
|
Master code
|
idiolect
|
Creation/totalization/Synthesis
|
Decreation/deconstruction/antithesis
|
Type
|
Mutant
|
Presence
|
Absence
|
Genital/phallic
|
Polymorphous/Andro-gynuos
|
Centring
|
Dispersal
|
Paranoia
|
Schizophrenia
|
Genre/boundary
|
Text/intertext
|
Origin/cause
|
Difference/trace
|
Semantics
|
Rhetoric
|
God the Father
|
The Holy Ghost
|
Paradigm
|
Syntagm
|
Methaphysics
|
Irony
|
Hypotaxis
|
Parataxis
|
Determinacy
|
Indeterminacy
|
Metaphor
|
Metonymy
|
Transendence
|
Immanence
|
Sumber:
David Harvey. The Conditions of
Postmodernity. Dalam Joice Appleby et al. (eds) Knowledge and Postmodernisme in
Historical Perspective. (New York: Routledge, 1996). P. 43.
Penelitian Kualitatif postmodernisme mengacu pada
pandangan-pandangan (Michael C. Jacson:
2003) sebagai berikut:
1) Berakhirnya kekuasaan dari
narasi-narasi besar
2) Sentralitas wacana
3) Adanya hubungan erat kekuasaan
/pengetahuan
4) Penelitian dilakukan untuk
mengungkap ketidakpastian dan mendorong resistensi bukan untuk mempertahankan
rasionalitas, prediktabilitas dan keteraturan
5) Lebih menekankan hubungan-hubungan
diskursif daripada penekanan atas bahas sebagai cermin dari realitas
6) Pengaruh diskursif terhadap individu
7) Hiper-realitas, simulasi
menggantikan dunia nyata dalam tatanan dunia
Dari
pembahasan di atas, kita telah melihat bagaimana pergeseran era itu nampaknya
berjalan dengan perlahan tapi pasti. Pergeseran modernisme ke postmodernisme memang
bukanlah sebuah revolusi yang tiba-tiba, tetapi lebih merupakan sebuah proses
yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu. Ketidakpuasan terhadap hasil era
modern tidak terlalu menonjol sampai adanya ancaman bagi umat manusia yang
jelas diketahui bersama, e.g. perang nuklir; sejak itulah modernitas dianggap
lebih menghasilkan kecemasan daripada kesejahteraan. Dengan demikian,
modernisme jelas bukanlah sebuah idealisme yang dapat diterima secara utuh.
Pemikiran pun bergeser ke arah yang dianggap lebih baik dan disinilah
postmodernisme mengambil peran utamanya.
Secara
rinci, adalah mustahil untuk mendefinisikan postmodernisme secara utuh. Hal ini
dikarenakan oleh adanya ketidaksepahaman pula akan ‘modernitas’ yang digantikan
oleh postmodernis. McGrath (1996) kenyataannya, kata postmodern sendiri sulit
untuk dimengerti secara tepat. Kata ‘modern’ sendiri berarti ‘terbaru, barusan,
mutakhir’; sedangkan kata ‘post’
(pasca) berarti ‘sesudah’. Jadi secara harafiah sesungguhnya pengertian
postmodern mengandung makna pengingkaran, maksudnya ‘sesuatu’ itu bukan modern
lagi. Jadilah kemudian postmodernisme mengaburkan pengertian modernisme
(Harianto GP, 2001)
Postmodernisme
secara umum dapat berarti sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Hal ini
kemudian membuat jalan bagi pluralisme dan keragaman pemikiran. Pada intinya,
postmodern –sebagaimana berulang kali ditekankan oleh Grenz— merupakan reaksi
menentang totalisasi Pencerahan. Pada saat modernisme berada pada titik ‘krisis
identitas’, Hille (2001). ketika berhadapan dengan banyak masalah, postmodern
seakan memberikan sebuah sudut pandang yang lebih realistis. Masyarakat yang
sudah lelah dan putus asa pun segera berpaling untuk mendapatkan ‘rekreasi’
dari tekanan dan kefrustrasian yang ditimbulkan oleh modernitas. Dari sini,
kita dapat segera menyimpulkan bahwa memang modernisme dan postmodernisme
menawarkan perbedaan yang berarti.
Berbicara
mengenai kedua filsafat ini secara berdampingan, seringkali banyak orang
mengalami kesulitan untuk mendapatkan titik temu yang tepat. Perbedaan antara
kedua era ini sulit dirumuskan karena memang –seperti yang telah dikemukakan di
atas— definisi atau pengertian keduanya masih terlalu kabur untuk dirumuskan.
Namun, perbedaan umum antara modernisme dengan postmodernisme dapat disimpulkan
dalam kontras sebagai berikut (Hassan,
1982):
MODERNISM
|
POSTMODERNISM
|
Purpose (Tujuan)
|
Play (Permainan)
|
Design (Rencana)
|
Chance (Kesempatan)
|
Hierarchy (Hirarki)
|
Anarchy (Anarkhi)
|
Centring (Berpusat)
|
Dispersal (Tersebar)
|
Selection (Seleksi)
|
Combination (Kombinasi)
|
Sumber:
Hasan (1982)
Perhatikan
bagaimana kata-kata yang menggambarkan modernisme memiliki nuansa yang kuat
akan kemampuan (ability) subyek pemikir untuk menganalisa, menyusun,
mengontrol dan menguasai. Sedangkan, yang berada di bawah kategori
posmodernisme juga memberikan indikasi kekuatan yang sama akan ketidakmampuan (inability)
dari subyek pemikir untuk menguasai atau mengontrol –sehingga mereka harus
meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya dalam keberagaman. (Hassan,
1982) dalam hal ini, implikasi perbedaan kedua pemikiran ini sangat terasa
dalam aspek religius.
Perdebatan mengenai hakikat peralihan dari
modernisme menuju postmodernisme disarati dengan permasalahan-permasalahan
filosofis, khususnya masalah epistemologis yang belum terjawab secara memadai,
hal ini disebabkan peralihan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik dan kritik
terhadap modernitas itu sendiri. Perdebatan yang berkepanjangan antara
modernisme dan posmodernisme ini telah melahirkan dua kubu filsafat, yaitu
pertama adalah kubu yang bermaksud melawan (against)
dan melenyapkan keberadaan filsafat modernisme. Kedua, kubu yang berkehendak
mengatasi (overcome) sebagai cacat
yang disandang oleh modernitas dengan tetap konsisten pada paham itu (Nugroho,
1999:88).
Meskipun beragamnya aliran pemikiran dalam
perdebatan tersebut, kiranya masih dapat diindentifikasi bahkan dikelompokkan.
Secara agak kasar yaitu kedalam kelompok kubu “Dekonstruktif” dan kubu
“Konstruktif atau Revisioner” (Sugiharto, 1996:16). Kubu pertama disebut
sebagai “orang dari luar” modernitas yang oleh Nietzsche dan Heideger, dan
dilanjutkan oleh para pemikir posmodern dan post- strukturalis, seperti
Foucault, Deleize, Guattari, Lyotard, Bataille, Baudrillard, Kristeva dan
Vattimo (dalam Piliang,1992:21). Sementara kubu kedua disebut sebagai “kritik
diri” (self-criticism) yang dilakukan oleh kelompok Frankfurt School, seperti
Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Hubermas (dalam Piliang, 1999:21).
Munculnya dua kubu dalam perdebatan ini merupakan
refleksi atas kekecewaan terhadap modrenitas, dimana para pemikir posmodernisme
menganggap bahwa modernitas telah kehilangan kemampuan kritisnya (critical power), sehingga ia tidak mampu
lagi menemukan tujuan teleologis dan utopis yang ingin dicapai (Piliang,
1999:15). Perdebatan atau perselisihan modernisme versus postmodernisme,
memuncul posisi filosofis, dua posisi diantaranya saling bertabrakan secara
diametral sedang yang satu lebih bersifat ambivalen. Posisi pertama dinamakan Hegelian
sayap kiri. Ini merupakan posisi dari kaum postmodernisme yang beranggapan
bahwa filsafat pencerahan sudah kehabisan spirit sehingga harus ditinggalkan.
Posisi kedua adalah Hegelian sayap pembaharu, yang terdiri dari kaum Marxian,
Neo Marxian, hingga mazhab Franfurt. Pandangan ini memiliki keyakinan bahwa
modernitas merupakan warisan budaya dan cacat-cacat yang terkandung di dalamnya
yang perlu mendapat pencerahan. Sedang posisi ketiga adalah kaum ambivalen.
Posisi ini dipelopori oleh Adorno dan Horkheimer. Pandangan mereka dianggap
satu kaki berdiri pada posisi modernisme dan kaki lain ikut berlari bersama
postmodernisme. Ambivalensi seperti ini berakibat pada kebingungan filosofis.
(Budiman, 1993:177-232).
Menurut Hubermas (1990), postmoderisme sama artinya
dengan modern, yaitu teori-teori sesudah era pencerahan (Nack aufklarung). Spirit postmodernisme adalah “Die Gegenwart der Vergangenheil”, yang
artinya mengaburkan tradisi kesejarahan dan menganggap bahwa dirinya merupakan
sebuah historisme baru. Pandangan seperti ini dapat dianggap
ahistoris.(Nugroho, 1999:90).
Gerakan posmodernisme yang merupakan suatu gerakan
pemikiran yang ingin melakukan revisi terhadap paradigma modern dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu pertama adalah pemikiran-pemikiran
yang dalam rangka merevisi kemodernan itu cenderung kembali ke pola berpikir
pramodern; kedua adalah pemikran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra
dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik; ketiga dalah segala pemikiran
yang hendak merivisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total,
melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern disana sini (Sugiharto,
1996:30).
Berdasarkan atas beragamnya pemikiran tentang
postmodernisme ini sehingga sangat sulit dipahami makna yang sebenarnya,
menurut Ahmed, (1996:22), kesulitan dalam memahami konsep postmodernisme adalah
bahwa konsep postmodernisme pada tingkat yang paling jelas, ini kurang jelas,
dan asal muasalnya pun belum jelas. Apakah ini merupakan periode sejarah
(postmodernitas) atau gaya maka kini (postmodernisme) ? apakah ini merupakan
kecongkakan sastra, konsep filosofis atau konsep arsitektur? apakah ini
merupakan variasi estetis, respon terhadap kecenderungan globalisasi, gaya seni
atau fenomena sosial? apakah ini merupakan fenomena eksklusif Eropa, atau
dapatkah diterapkan ditempat lain. Karena istilah postmodernisme itu menjukkan
kemenduaan atau ironi.
Dipihak lain Bryan Turner (2000:35), menyatakan
bahwa konsep posmodernisme pertama kali muncul dalam kontek sastra berkenaan
dengan reaksi konservatif dalam modernisme. Istilah tersebut kemudian digunakan
dalam hubungannya dengan rangkaian teks dan sensibilitas yang lebih luas, untuk
mensifati teks atau narasi yang bersifat afirmatif dan kritis, untuk menilai
periode sejarah dan corak estetik, dan untuk menkonsepsikan perbedaan, bentuk
khas dari luar yang modern., sebagaimana kesamaan, berbagai varian, yang
sebenarnya menjadi batas modernisme.
Berdasarkan pendapat Ahmed dan Turner tersebut, dapat diketahui bahwa diantara para ahli masih belum ada kesamaan dalam memberikan pengertian yang tegas tentang postmodernisme. Bahkan Hubermas dalam (Nugroho,1999:91) menyatakan bahwa postmodernisme sama artinya dengan proses menuju masyarakat modern yang belum selesai. Modernisasi masih meninggalkan sejumlah masalah yang diambil alih oleh postmodern. Jadi faham postmodernisme tidak ubahnya seperti logika dialektika pencerahan. Malcolm Bradbury dalam Ahmed, (1996:24), mengatakan bahwa istilah postmoderninsme pertama kali digunakan tiga puluh tahun lalu, tetapi setelah beberapa dekade istilah tersebut lalu memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.
Berdasarkan pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa postmodernisme hanya akan menjadi sebuah ungkapan yang menarik karena apa sebenarnya postmoderisme itu masih belum jelas artinya, disamping itu juga tidak ada penggambaran fase sejarah baru tentang manusia.
Berdasarkan pendapat Ahmed dan Turner tersebut, dapat diketahui bahwa diantara para ahli masih belum ada kesamaan dalam memberikan pengertian yang tegas tentang postmodernisme. Bahkan Hubermas dalam (Nugroho,1999:91) menyatakan bahwa postmodernisme sama artinya dengan proses menuju masyarakat modern yang belum selesai. Modernisasi masih meninggalkan sejumlah masalah yang diambil alih oleh postmodern. Jadi faham postmodernisme tidak ubahnya seperti logika dialektika pencerahan. Malcolm Bradbury dalam Ahmed, (1996:24), mengatakan bahwa istilah postmoderninsme pertama kali digunakan tiga puluh tahun lalu, tetapi setelah beberapa dekade istilah tersebut lalu memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.
Berdasarkan pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa postmodernisme hanya akan menjadi sebuah ungkapan yang menarik karena apa sebenarnya postmoderisme itu masih belum jelas artinya, disamping itu juga tidak ada penggambaran fase sejarah baru tentang manusia.
Modernisme hadir sebagai sesuatu yang baru dan fresh
dalam dunia desain dengan ide – ide, bentuk dan karakter baru. Revolusi
industri menjadi salah satu penanda bagi modernisme untuk tumbuh dan
berkembang. Namun dengan segala aturan dan rasionalitas pada modernisme,
membuat modern itu sendiri kehilangan jiwa dan sedikit agak kaku.
Maka dari itulah postmodern hasil sebagai sebuah
kritik terhadap postmodern yang dianggap terlalu mendewakan fungsi, teknologi
serta rasionalitas. Postmodern menjadi sebuah bagi dimana tidak adanya satu
pembatas antara satu hal dan sangat menjunjung tinggi pluralism dan serta
mengharamkam kesetaraan.
Pada dasarnya postmodern dan modern hidup
berdampingan. Kita juga tidak dapat memisahkan antara modern dan postmodern,
karena postmodern hadir sebagai akibat dari adanya modern. Setiap hal memiliki
sisi positif dan negatif begitu juga dengan modern dan postmodern. Semua ini
kembali kepada diri kita bagaimana harus bersikap dan menyikapi semua
pergerakan ini., baik itu design movement, art movement hingga culture
movement.
Modernisasi pada awalnya dianggap hal yang biasa dan
wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai konsekwensi
yang bersifat negatif atau buruk terhadap kehidupan manusia dan alam. Atas
dasar segala konsekwensi tersebut, modernisasi telah memicu lahirnya berbagai
gerakan postmodernisme yang ingin merivisi paradigma modern dan mempersoalkan
kembali nilai-nilaiirasionalitas, tradisionalitas dan menganggap rasionalitas
modernisme hanyalah mistifikasi refresif belaka.
Dari uraian di atas dapat kita menarik kesimpulan
bahwa, posmodern muncul memberikan koreksi-koreksi sistematis terhadap era
modern. Pandangan dunia (weltanschauung)
modernisme yang mendewakan rasio, pengabsahan kebenaran tunggal yang diklaim
oleh Barat, kemajuan sains dan teknologi yang kadang-kadang justru
menyengsarakan manusia serta pandangan antroposentrisme, kesemuanya mulai
dipertanyakan. Kini posmodern menawarkan alternatif lain yang selama ini sering
diabaikan oleh manusia, yakni nilai-nilai kehidupan yang tidak sepenuhnya tegak
di atas landasan rasio, yakni tradisi sosial, adat istiadat dan nilai-nilai
keagamaan. Penghargaan terhadap tradisi sosial, adat istiadat dan keagamaan
memberikan harapan bagi pengembangan nilai-nilai yang bisa membangun
kemanusiaan manusia yang suci. Akan tetapi, keberadaan posmodernisme masih
perlu diwaspadai karena berjalan bersama dengan era globalisasi yang
memunculnya perbenturan nilai. Antisipasi pendidikan Islam di tengah
perbenturan nilai itu, dilakukan dengan pembenahan-pembenahan dalam berbagai
segi, baik pada segi pelaksanaan pendidikan Islam, maupun segi teoritik Ilmu
Pendidikan Islam.
Dunia terus
mengalami sebuah proses yang tiada henti menuju perubahan demi perubahan.
Paradigma perubahan selalu diawali dan dipandu oleh ilmu pengetahuan yang
merupakan ranah kognitif manusia. Bersumber pada ranah perubahan
kognitif selanjutnya menuju tahap perubahan nilai (afeksi) dan pada
titik tertentu membentuk sebuah skill (performance) pada diri manusia
dalam bentuk perilaku sikap sosial dalam kebudayaannya. Maka pergeseran
paradigma kognitif dalam hal ini ilmu pengetahuan secara simultan akan
melahirkan pergeseran yang signifikan pada ranah-ranah yang lain. Disinilah
secara kasat mata pergeseran kehidupan manusia terus mengalami gelombang yang
tiada pernah berhenti, laksana gelombang peradaban yang terus bergerak
nampak tiada bertepi.
Gelombang
peradaban yang abadi tersebut dibingkai oleh hasrat manusia yang terus
bersemayan dalam diri. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat
bertahan dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya.
Secara teologis, pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme dari dinamisme
menuju ke politeisme, dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut
paradigma ilmu pengetahuan, dari teosentris, ke empirisme, dari empiris ke
rasionalisme, dari rasionalisme ke positivisme, dari positivisme ke
materialisme, dari materialisme ke idealisme dan pada tataran tertentu
intuisionisme juga mendapat posisinya sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Berbagai simbol telah diciptakan manusia untuk dilekatkan mewakili bahasa
manusia dalam menyebut pergeseran paradigma pemikiran dan pengetahuan manusia
dari waktu ke waktu
(Rosenberg, 2005)
Kerangka pikir
atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah freame besar
yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara
siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme
manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio
manusia seolah-olah sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia
pada sebuah kehidupan yang seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan
perkembangan teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme
dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah
menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream
pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan
sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan
pergeseran paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang
cukup signifikan yang merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala
lingkup dan permasalahannya. Disinilah paper ini akan mencoba memberikan
paparan yang komprehensip berkaitan dengan Postmodernisme dan kritik ilmu
pengetahuan modern.
Referensi:
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran
Kontemporer : Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta : Jalasutra.
Ahmed, Akbar. S. 1996. Posmoderisme,
Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Alex Rosenberg. 2004. Philosophy of Science;A
Contemporary Introduction (New Scoot Lash, Sosiologi
Postmodernisme. Jakarta:Kanisius hal 21
Bryan S. Turner.
2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas
Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
C. Brinton. 1953.The Shaping of the Modern Mind. New
York: h. 113
Charles Jencks.
1984. The Language of Post-Modern
Architecture, 4th ed. London: Academy
Editions, 1984
Christopher Norris.
2003. Membongkar Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida Yogyakarta: Arruss, Hal.7
David Harvey. 1989.
The Condition of Postmodernity. Oxford: Basil Blackwel
Denzin K. Norman,
Lincoln S. Yvonna. 2009. Handbook of
Qualitatif Research. Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Emmanuel Levinas.
1973. The Theory of Intuition in
Husserl’s Phenomenology. Northwestern University press, h. 4.
F. Budi Hardiman.
2003. Filsafat Modern;Dari Machiavelli
sampai Nietche. Jakarta: Gramedia hal. 256 – 282
Flaskas, Carmel. 2002.
Family Therapy Beyond Postmodernism.: Practice Chalenges Theory.New
York: Brunner-routledge
Frans Magnis-Suseno.
1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.
200-201
Garna, Judistira K.
1996. Ilmu-Ilmu Sosial
Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Gergen, K.J. 1991. The Saturated Self: Dilemmas of Identity in
Contemporary Life. New York: Basic
Book.
Grenz, Stanley. 2001.
A Primer on Postmodernism.
Yogyakarta: Andi.
Harianto GP. 2001. Postmodernisme dan Konsep Kekristenan. Jurnal:Pelita
Zaman
Hille, Rolf.
2000. From Modernity to Post-modernity:
Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology
24/2 .
Ihab Hassan. 1982. The Dismemberment of Orpheus: Toward a
Postmodern Literature New York: Oxford University Press. 267-268
Jean Lyotard. 1984.
The Postmodernisme and Condition, A
Report on Knowledge. Oxford:Manchester University press,1984) hal.51
John
W. Murphy. 1986. Cultural
Manifestation of Postmodernism. dalam Philosophy Today, Vol. xxx, No. 4/4,
1986, h. 348.
Kvale, Steiner. 2006.
Psikologi dan Posmodernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
McGrath,
Alister.1996. A Passion for Truth: The
Intellectual Coherence of Evangelical. Downers Grove: InterVarsity, 1996.
Michael C. Jacson.
2003. System Thinking Creative Holism for
Manager. West Sussexx: John Willey & Son Ltd.
Piliang, Yasraf Amir.
1999. Hiper- Realitas, Kebudayaan.
Yogyakarta: LKs
Ronald McKinney.
1986. Toward a Resolution of the
Modernist/Postmodernist Debate. dalam Philosophy Today, Vol. XXX, No. 3/4,
1986, h. 238.
Soewardi, Herman.
1999. Roda Berputar Dunia Bergulir.
Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bhakti
Mandiri.
Sugiharto, I. Bambang.
1996. Postmodernisme, Tantangan Bagi
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Surya, Kalvin.1998. Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya bagi
Kekristenan. dalam [http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html] 1998.
Tradisionalisme Nasr:
Exposisi dan Refleksi" (Wawancara)
dalam Ulumul Qur'an, No. 4, Vol. IV, 1993, h. 109.
Victor Kraft. 1974. Popper and the Vienna Circle. dalam Paul
Arthur Schilpp (ed.), The Philosophy of Karl Popper, Book I (La Salle,
Illinois: Open Court, 1974), h. 192.
No comments:
Post a Comment